Dua hari setelah kepergian kedua orang tuaku ke Korea. Hidupku berjalan seperti biasa, bedanya saat aku pulang kerja tak ada yang menyambut dengan senyum manis di sofa ruang keluarga.
Kali ini aku memang harus benar-benar melakukan semuanya sendiri, kecuali makan dan bersih-bersih rumah yang dibantu oleh bibi Wan. Tak apa, setidaknya aku tidak sendirian di rumah sebesar ini.
Hari ini aku libur bekerja, biasanya aku meluangkan waktu untuk mengunjungi cafe guna melepas penat setelah 1 pekan bertugas di rumah sakit.
Di sinilah aku sekarang, di sebuah cafe milenial milik sahabatku yang terletak di pusat kota Chiang Mai.
"Fiya, aku harus mengatakan ini padamu," ujar Jane heboh.
"Aku bosan mendengarkan setiap ceritamu mengenai film yang kau tonton." aku menyeruput segelas jus alpukat pesananku.
Jane adalah salah satu penggemar berat Oppa-Oppa Korea. Setiap akhir pekan aku berkunjung ke outletnya, dia selalu menceritakan film Korea yang sedang ia tonton. Sebenarnya bukan filmnya tetapi lebih dominan pada aktor yang memerankan karakter film tersebut.
Aku yang tidak paham akan hal itu hanya bisa diam dan mendengarkan saja. Pasalnya aku tidak mengerti akan hal itu, aku lebih menyukai film Inggris bergenre action dan beberapa film fantasi lainnya.
"Tidak. Ini bukan mengenai film Korea, tetapi ini berkaitan dengan Jeff."
Aku menoleh cepat ke arahnya. "Jeff?"
Jane mengangguk semangat. "Ya, kemarin kami melakukan kerjasama dengannya. Group musik yang biasa mengisi acara di sini telah habis kontrak--"
"Kau mengontrak Jeff untuk cafe mu?" potongku cepat.
"Iya. Ini berita yang sangat baik bukan, kalian bisa melanjutkan hubungan yang sempat putus saat SMA dulu."
Aku memijat kepalaku yang tiba-tiba saja pusing. Bisa-bisanya Jane mengatakan itu saat ia sendiri tahu jika hubungan kami bisa dikatakan tidak baik.
Akan ku ceritakan sedikit mengenai masa SMA dulu.
Dulu saat SMA aku masuk ekstrakurikuler Seni musik. Pada saat itu aku masih belum mengenal Jane karena kami bukan teman sekelas. Kebetulan aku memiliki teman bernama Jeff Weiner Nouwarat biasa dipanggil Jeffy, ia juga masuk anggota seni musik dan aku mulai mengenal Jane dari Jeff karena mereka berdua berteman sejak SMP.
Sejak saat itu kami mulai dekat dan menjadi sahabat. Kami melakukan berbagai kegiatan bersama, sehingga banyak waktu yang aku habiskan bersama mereka.
1 tahun, 2 tahun persahabatan kami masih seperti hubungan persahabatan pada umumnya. Hingga saat kami duduk di kelas 12 semester awal, Jeff menyatakan cintanya padaku. Dia mengatakan bahwa ia menyimpan rasa sejak pertama bertemu denganku, namun aku menolaknya lantaran aku tak mau persahabatan kami rusak hanya karena cinta.
Sejak saat itu aku mulai memberi jarak dengannya, hingga sampai saat ini kami tidak pernah berinteraksi, baik melalui media sosial maupun langsung.
"Ini memang berita yang sangat baik untukmu, tetapi tidak untukku. Kau tahu bukan, kami sudah lama tidak bertemu, dan akan sangat canggung jika aku dan Jeff bertemu nanti," kataku seraya mengaduk-aduk asal jus berwarna hijau itu.
"Mau sampai kapan kau akan menghindar seperti ini. Lagipula hal itu terjadi sembilan tahun yang lalu, aku yakin Jeff sudah move on darimu. Atau jangan-jangan kau yang tidak bisa melupakannya?"
"Kau tahu aku tidak menyukainya, lalu apa alasannya aku tidak bisa melupakannya?!"
"Mulutmu bisa saja berbohong, tetapi tidak dengan hatimu." Jane menaik turunkan alisnya dan itu sangat menyebalkan bagiku.
Aku memutar bola mataku jengah seraya mengaduk-aduk minumanku kesal.
"Jane. Kau-- , Fiya?"
Kami menoleh ke arah sumber suara. Tepat setelah itu sedotan yang kupegang terjatuh begitu saja.
Sial. Panjang umur sekali, orang yang sedang kami bicarakan tiba-tiba saja muncul ditengah-tengah obrolan kami.
Ya. Panggilan itu berasal dari Jeff, sahabatku semasa SMA. Laki-laki berkulit putih itu kini tengah berdiri tepat di samping Jane sambil menatapku.
"Jeff, silahkan duduk. Kebetulan sekali kita bertemu dengan anggota yang lengkap, anggap saja sedang reuni akbar," kelakar Jane yang disambut senyum hangat oleh pria itu.
Jeff duduk diantara kami. Mungkin Jeff terlihat biasa saja, tetapi tidak denganku. Aku merasa bersalah karena telah menjauhinya dan juga telah menutup interaksi diantara kami berdua.
"Fiya, bagaimana kabarmu?"
Aku melirik presensi pria yang baru saja menanyakan kabarku.
"Seperti yang kau lihat sekarang, kabarku baik," balasku seadanya.
"Kau tidak pernah berubah dari dulu, kau tetap terlihat cantik, Fiya."
Jeff sialan. Apa maksud dari ucapanmu itu, apakah kau mencoba untuk merayuku?!
"Terimakasih."
"Kalian lanjutkan saja perbincangannya, aku ada urusan sebentar."
Tanpa menunggu jawaban dari kami, Jane pergi begitu saja meninggalkanku bersama Jeff. Jane benar-benar menempatkan ku dalam posisi yang serba salah. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Terkutuklah kau Jane!
"Ku dengar dari Jane, sekarang kau berhasil mencapai cita-citamu?" Jeff berusaha mencari topik agar interaksi kami terus berjalan.
"Jane mengatakan apa saja padamu tentang diriku?" Aku berusaha bersikap senormal mungkin.
Jeff terkekeh kecil. "Tidak banyak, dia hanya menjawab apa yang aku tanyakan saja."
"Kuharap Jane menjawabnya dengan jujur," ucapku berusaha mencairkan suasana.
"Termasuk dengan statusmu?"
Aku mengerutkan keningku bingung atas maksud dari pertanyaan yang dilayangkan Jeff padaku. Status apa yang dia maksud, apakah status pekerjaanku atau status hubunganku. Sepertinya option terakhir yang paling masuk akal.
"Maksudmu?" tanyaku mencoba memastikan dugaanku.
Lagi dan lagi pria itu terkekeh kecil. "Kau masih single?"
"Iya Jeff. Sekarang aku single, mungkin albumnya bulan depan," ucapku yang tentunya di dalam hati.
Benar bukan dugaanku. Apakah tujuan Jeff menanyakan hal itu untuk kembali mendekatiku? Jika iya aku akan menolaknya kembali.
"Sepertinya untuk yang satu ini Jane berbohong padamu," ujarku diakhiri dengan senyum miring.
"Benarkah?"
"Hmm. Memangnya kenapa?"
"Tak apa, aku hanya--"
Suara dering telepon yang berasal dari gawaiku memotong obrolan diantara kami. Kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja guna mengangkat telepon tersebut. Namun kedua alisku nyaris bertaut saat melihat nomor penelepon tersebut tak terdaftar di buku kontakku.
Aku beranjak dari dudukku dan sedikit menjauh dari Jeff agar pria itu tidak mendengar obrolan kami. Menjaga privasi itu penting.
"Halo. Selamat siang."
"Selamat siang. Maaf jika aku mengganggu waktumu, apakah kau bisa datang ke rumahku sekarang?" ujar seseorang dibalik telepon.
"Maaf, dengan siapa di sana?" tanyaku.
"Aku Vegas, Ayah dari Prince." jawabnya
"Ada yang bisa kubantu, Tuan Vegas?"
"Bisakah kau datang ke rumahku sekarang, aku benar-benar membutuhkan bantuanmu."
"Apakah Prince kembali demam?"
"Tidak, bahkan ini lebih buruk dari itu."
"Bisakah kau mengirim alamat rumahmu padaku sekarang?"
"Akan kukirim lewat pesan."
"Baiklah, aku akan segera ke sana."
Sambungan telepon kami pun terputus. Aku buru-buru kembali ke mejaku untuk mengambil tas. Sungguh aku sangat mengkhawatirkan keadaan Prince sekarang.
"Fiya, ada apa. Sepertinya kau terlihat sangat gelisah?" tanya Jeff saat aku datang ke mejanya. Ah tidak, itu mejaku.
"Ada urusan mendadak dan tak bisa aku tinggalkan. Sampai jumpa, Jeff."
Aku berlalu begitu saja. Dengan langkah panjang aku menyusuri bangku demi bangku yang berada di sana. Pikiranku saat ini hanya tertuju pada putra Tuan Vegas.
Sebelum pergi ke rumah Tuan Vegas, aku menyempatkan diri untuk singgah di toko buah segar dan akan kuberikan pada Tuan Vegas sebagai buah tangan.
Setelah dua puluh menit di perjalanan, akhirnya aku pun sampai di depan bangunan megah bak hotel dengan nuansa tempo dulu.
"Apakah benar ini rumah Tuan Vegas?" tanyaku pada salah satu security yang bertugas.
"Benar. Ada yang bisa saya bantu?" ucapnya kembali bertanya.
"Aku Dokter yang menangani putranya. Tuan Vegas menyuruhku untuk datang kemari," jawabku seraya menampilkan isi pesan yang dikirim oleh pemilik rumah tersebut.
"Baiklah, silahkan masuk."
Aku mengangguk seraya membungkuk sejenak, kemudian kembali masuk ke mobilku untuk memarkirkannya di halaman rumah Tuan Vegas.
Bertepatan setelah aku turun dari mobil, Tuan Vegas datang dan menyuruhku untuk segera masuk ke dalam. Sebelum itu aku memberikan satu keranjang buah pada salah satu asisten rumah tangga Tuan Vegas.
Aku sangat terpukau dengan interior rumahnya yang mengarah pada gaya rumah klasik Rusia, semua ini tercermin pada kombinasi antara barang antik, aksesori mewah, dan karya seni yang dipajang. Sungguh luar biasa.
Tuan Vegas membawaku ke lantai atas menuju kamar putranya. Tepat setelah kami sampai di sana, kami langsung disambut oleh suara tangis bayi yang kuyakini jika itu adalah tangisan milik Prince.
Dengan perasaan cemas, aku mengikuti langkah Tuan Vegas yang membimbingku masuk ke dalam kamar putranya.
Kutaruh asal tas dan juga boneka gajah yang kubawa dan segera menghampiri bayi mungil yang tengah digendong oleh seorang perempuan paruh baya yang mengenakan setelah baju baby sitter.
"Izinkan aku untuk menggendongnya," ucapku pada perempuan itu.
Sebelumnya perempuan itu melirik sebentar ke arah Tuan Vegas, kemudian membiarkan aku menggendong Prince setelah mendapat persetujuan darinya.
"Hei, Prince. Aku membawakan bubu untukmu," ucapku berusaha menenangkannya seraya mengayunkan badanku pelan.
Prince masih tetap menangis dalam gendonganku. Aku meletakkan punggung tanganku tepat di dahinya, namun yang kurasakan bahwa suhu tubuhnya normal. Lalu apa yang membuatnya menangis sekencang ini.
"Tuan Vegas, apakah dia sudah meminum susu?" tanyaku pada pria muda yang tengah berdiri tak jauh dariku.
"Sejak semalam dia menolak meminum susu dan sampai sekarang belum ada yang masuk ke dalam perutnya," jawabnya.
"Mengapa kau membiarkan itu terjadi, putramu akan kelaparan!" sewotku padanya.
"Semua sudah kulakukan, tetapi dia tetap menolaknya!"
Aku kembali mengalihkan atensiku pada bayi malang yang tengah menangis seraya menepuk pelan pantatnya.
"Prince, aku akan membuatkan mu makanan, tunggu sebentar ya." ucapku pada Prince meskipun tak dihiraukannya.
"Tuan Vegas, tolong gendong putramu sebentar, aku akan membuatkannya makanan."
Setelah Prince berada di gendongan Ayahnya, aku pun pergi ke dapur ditemani oleh Bibi Sara, selaku baby sitter Prince.
Tiga puluh menit kemudian aku kembali tanpa Bibi Sara dengan membawa semangkuk kecil MPASI buatanku. Hanya menggunakan bahan yang tersedia saja, seperti nasi, wortel, dan daging ayam yang aku haluskan, tetapi untuk wortel dan ayam aku rebus terlebih dahulu agar teksturnya lebih lembut.
Aku mengambil kembali Prince dari gendongan Ayahnya. Aku memasangkan celemek makan di leher Prince dengan bantuan Vegas, kemudian mendudukkannya dipangkuanku.
"Prince, lihatlah. Aku membuatkanmu MPASI yang lezat, aku yakin kau pasti menyukainya." monologku seraya mengaduk-aduk bubur tersebut.
Satu sendok berhasil masuk ke dalam mulutnya dibarengi dengan tangis yang sedikit mereda.
"Rasanya lezat bukan?" aku tersenyum senang kala tangis Prince mulai mereda.
"Iya sayang, kau sangat lapar rupanya. Makan yang banyak agar berat badanmu stabil," ucapku yang menirukan suara anak kecil.
Aku cukup bangga dengan pencapaianku yang berhasil menenangkan Prince. Bayi mungil itu juga ternyata sangat menyukai MPASI buatanku, dilihat dari bagaimana ia begitu lahap memakannya. Luar biasa Fiya.
"Setelah makan, kau bisa bermain dengan Baba. Apakah kau merindukan Baba, hmm?"
Prince merespon ucapanku dengan celotehan kecil yang tak bisa kupahami, tapi yang jelas bayi itu berusaha mengatakan sesuatu yang mungkin saja maksudnya adalah dia juga merindukan boneka gajah milikku.
"Kau memang pintar, Prince." Aku memberinya beberapa sendok air sebagai penutup, kemudian mengusap sedikit bekas bubur yang menempel dibeberapa titik wajahnya.
Satu mangkuk kecil MPASI itu tandas tak tersisa. Aku cukup senang karena Prince sudah tidak menangis lagi.
"Uh. Bajumu basah, kau akan sakit jika tidak menggantinya."
Aku membaringkan Prince diatas tempat tidur, kemudian aku mulai melepas satu-persatu pakaian yang membalut tubuh mungilnya.
"Tuan, bisakah kau membantuku mengambilkan pakaian untuk bayi tampan ini?" aku menjamah gemas hidung mancungnya tanpa memperhatikan apa yang dilakukan Tuan Vegas di sana.
Satu setel pakaian yang dibawakan oleh Tuan Vegas atas permintaanku pun langsung kukenakan pada Prince. Bayi yang sebelumnya menangis tersedu-sedu itu kini mulai tertawa menanggapi candaanku yang mungkin menurut orang dewasa seperti Tuan Vegas akan terdengar begitu aneh.
Biarlah Tuan Vegas memandangku bagaimana, aku tidak peduli. Yang terpenting adalah bagaimana caranya aku mengembalikan tawa Prince.
Tepat pukul dua siang aku pamit pulang. hampir setengah hari aku berada di sana dan itu bukanlah hal buruk bagiku, hanya saja aku tak enak hati pada keluarga Tuan Vegas jika terlalu lama berada di kediamannya. Lagipula Prince sudah tertidur, jadi tidak ada alasan lain untukku tetap berada di sana.
"Terimakasih, kau telah bersedia kurepotkan," ucap tuan Vegas seraya mengantarku sampai halaman rumahnya.
"Tidak masalah, kau bisa menghubungiku jika membutuhkan sesuatu. Aku sudah menuliskan resep MPASI yang kuletakkan diatas nakas kamar Prince, Kau bisa meminta istrimu untuk membuatnya setiap hari di jam-jam tertentu," jelasku.
"Istriku sudah tiada."
Tiga kata yang terangkum dalam satu kalimat itu berhasil membuatku menghentikan langkah lantaran sangat terkejut dengan sebuah fakta bahwa Tuan Vegas adalah seorang duda.
"M-maafkan aku Tuan Vegas, aku tidak bermaksud untuk--"
"Tidak masalah."
Aku sedikit canggung sekarang. Perubahan raut wajahnya terlihat begitu kentara. Aku tidak tahu pasti maksud dari kata 'tiada' yang diucapkan oleh Tuan Vegas seperti apa, tetapi yang jelas aku yakini bahwa ia sangat sedih atas kepergian istri yang dicintainya.
"Terimakasih untuk hari ini, Dokter Liana," katanya tulus.
Apa aku tidak salah dengar? Tuan Vegas memanggilku dengan nama tengah bukan nama depanku seperti orang-orang pada umumnya? Itu terdengar sangat asing, tetapi aku menyukainya.
Maksudku, aku menyukai panggilan yang Tuan Vegas berikan padaku.
Aku mengangguk kecil, kemudian membungkuk padanya sebagai interaksi terakhir kami sebelum aku benar-benar pergi dari sana.
Hari ini berlalu dengan sangat menyenangkan, meskipun sedikit melelahkan, tetapi bagiku bukan sebuah masalah yang besar. Aku Dokter yang menangani putra Tuan Vegas, sudah menjadi kewajiban ku untuk membantunya sembuh dari sakit yang dideritanya. Lagipula aku pun merasa sangat senang bisa bertemu dengan bayi mungil nan menggemaskan seperti Prince, dan aku mulai tertarik padanya.
Aku harap kita akan bertemu kembali Prince.