Chereads / Tangent / Chapter 4 - Pria yang manis

Chapter 4 - Pria yang manis

Alrm ponselku berbunyi tepat pukul empat pagi. Hari ini aku berniat membuatkan puding buah untuk Prince.

Dua hari yang lalu Tuan Vegas mengatakan padaku jika Prince kembali demam. Setelah jam kerjaku selesai, aku pun bergegas menuju kediaman Tuan Vegas guna mengecek kondisi Prince.

Beruntungnya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Demam yang dialami Prince hanyalah efek samping dari proses pertumbuhan gigi pertamanya. Saat aku mengecek mulutnya, beberapa bagian gusinya bengkak dan memerah. Pada hari itu juga Prince tak mau makan, seringkali menangis, dan jam tidurnya pun terganggu. Alhasil Tuan Vegas memintaku untuk bermalam di sana lantaran ayah muda itu khawatir dengan kondisi putranya.

Tepat pukul lima pagi puding buah buatanku pun selesai, aku hanya tinggal menunggu sampai puding itu mengeras. Aku pun memilih untuk membersihkan diri dan bersiap-siap sebelum pergi bekerja.

Empat puluh menit kemudian penampilanku jauh lebih rapih dari sebelumnya, dan beruntungnya saat aku kembali ke dapur, puding buah buatanku sudah jadi. Aku hanya perlu memasukkannya ke dalam paper bag saja.

"Nona muda, jas dan tas kerjamu sudah siap." Bibi Wan datang dengan senyum cerianya.

Aku mengangguk kecil seraya membalas senyumannya. "Aku membuat puding buah dan menaruhnya di dalam lemari pendingin, kau bisa memakannya kapanpun."

"Terimakasih, Nona."

Aku hendak mengambil jas dan tas kerjaku yang dibawa oleh Bibi Wan, namun perempuan paruh baya itu menolaknya.

"Aku akan membawakannya untukmu, kau cukup membawa paper bag itu saja," katanya.

Aku sangat senang dengan keberadaan Bibi Wan di sini. Perempuan paruh baya dengan segala tingkah ajaibnya itu berhasil menghilangkan rasa kesepian ku setelah ditinggal pergi kedua orang tuaku.

Di umurnya yang sudah tak muda lagi, Bibi Wan masih aktif dan juga kreatif. Setiap pagi aku selalu disambut oleh senyum ceria dan kalimat semangat darinya, dan saat aku pulang pun Bibi Wan menyambutku dengan masakan lezatnya.

"Apakah hari ini kau ingin memakan sesuatu, Nona?" tanyanya.

"Tidak. Aku akan memakan masakan apapun yang kau buat hari ini." Aku menaruh puding itu di kursi belakang, disusul dengan jas dan tas kerjaku di kursi penumpang samping kemudi.

"Baiklah. Tetapi jika kau berubah pikiran, kau bisa menghubungiku kapanpun."

"Tentu. Aku akan berangkat sekarang, jangan lupa untuk menghabiskan pudingnya dan kau bisa membaginya dengan Pak Kasem."

Pak Kasem adalah security yang menjaga keamanan rumahku. Beliau bekerja pada kedua orang tuaku sejak aku masih kecil, jadi sudah tidak aneh lagi jika aku selalu mengingatnya kapanpun.

Pagi ini aku akan singgah sebentar ke rumah Tuan Vegas hanya untuk mengecek kondisi putranya dan juga memberikan puding untuk Prince sebagai pengganti MPASI jika sewaktu-waktu dia masih tidak mau makan.

Sayang seribu sayang, saat aku sampai di sana ternyata Prince masih tidur. Alhasil aku hanya menitipkan puding buah buatanku pada Bibi Sara.

"Puding buah pada tumpukan pertama khusus untuk Prince, dan selebihnya aku buatkan untuk anggota rumah," kataku pada Bibi Sara.

"Terimakasih, Dokter Fiya. Mari masuk, akan kupanggilkan Tuan Vegas."

"Tidak perlu. Aku akan pergi ke rumah sakit sekarang, lagipula Prince masih tidur."

"Apakah itu tidak terlalu cepat, Dokter Fiya? Kau bisa meminum teh atau sarapan terlebih dahulu bersama kami di sini."

"Terimakasih atas tawarannya, aku sangat menghargainya. Hanya saja aku sedang buru-buru, tolong sampaikan saja salamku pada Tuan Vegas. Kalau begitu aku pergi dulu, sampai jumpa Bibi Sara."

Mobilku melaju meninggalkan pekarangan rumah Tuan Vegas diiringi lambaian tangan oleh Bibi Sara. Pagi ini aku cukup kecewa lantaran tak bisa bertemu dengan Prince, namun aku akan kembali siang nanti setelah jam kerjaku selesai.

Sesampainya aku di rumah sakit, Gabby datang dengan raut wajah yang tak bersahabat. Aku pikir dia sedang patah hati, maklum saja diusianya yang masih sangat muda sering kali mengalami patah hati karena cinta.

"Gabby, apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanyaku seraya mengecek beberapa data pasien yang akan melakukan kontrol kesehatan di bulan ini.

"Aku mendengar kabar jika kau akan dipindah tugaskan ke luar kota."

Secara reflek aku menghentikan kegiatanku. Aku memaku di tempat saat kembali mengingat kalimat yang diucapkan petinggi rumah sakit semalam.

Kabar ini memang sangat mengejutkan, bahkan aku saja belum sempat memikirkan jawaban apa yang harus kuberikan. Sejujurnya aku tak mau karena aku sudah sangat nyaman bertugas di sini, tetapi untuk menolak pun aku tidak bisa.

"Kau tahu dari mana?" tanyaku seraya melirik Gabby yang tengah menatapku sendu.

"Pagi tadi Dokter Mook mengatakannya padaku, kau akan digantikan dengannya."

Aku menghela nafas berat. Keputusan memang berada di tanganku, tetapi perintah dari direktur rumah sakit adalah kewajiban bagiku.

"Aku tidak ingin kau digantikan oleh orang lain, aku sudah sangat nyaman menjadi asistenmu," ucap Gabby lirih.

"Kau tak perlu khawatir. Kau masih bisa menjadi asistenku untuk beberapa waktu ke depan, sebelum aku benar-benar pergi." Aku tersenyum hangat kepadanya.

Gabby adalah asisten pertamaku semenjak aku dinyatakan diterima bekerja di rumah sakit ini. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat, aku tahu bagaimana perasaannya sekarang, pasti sangat sedih.

Kami sama-sama anak tunggal. Aku sudah menganggap Gabby sebagai adikku, begitupun sebaliknya. Kami sering berbagi cerita tentang semua hal, dan bisa dikatakan jika aku tau persis bagaimana kisah percintaannya.

"Apakah aku juga bisa ikut bersamamu?"

Aku terkekeh mendengar kalimatnya. "Tidak bisa, jasamu masih sangat dibutuhkan untuk rumah sakit ini. Lagipula kau masih bisa mengabariku lewat pesan ataupun telepon."

"Kakak." Gabby memelukku secara tiba-tiba seraya terisak kecil.

"Jika kau terus seperti ini, relasi pertemananmu tidak akan berkembang." Aku menepuk pelan punggungnya.

"Aku menyayangimu," cicitmu.

"Aku tahu."

...

"Dokter Fiya!"

Langkahku terhenti tepat setelah aku keluar dari ruangan ku.

"Nyonya Natalie." Aku memberikan salam padanya.

Nyonya Natalie adalah Presdir dari Sittichai hospital, rumah sakit tempatku bekerja. Beliau adalah cucu dari pemilik rumah sakit ini, dan Sittichai adalah marganya.

Perempuan paruh baya itu tersenyum seraya mengangguk kecil. "Bagaimana dengan keputusanmu?" tanyanya.

"Bisakah kau memberiku waktu dua bulan lagi untuk tetap bertugas di sini?" aku berusaha untuk bernegosiasi dengannya.

"Tidak perlu buru-buru, aku hanya menanyakan kau siap atau tidak jika dipindah tugaskan ke Bangkok."

"Aku tidak bisa menolak setiap permintaanmu."

"Itu artinya kau menyetujuinya." Nyonya Natalie tersenyum simpul.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Baiklah, kau bisa menghubungiku jika kau sudah siap. Selamat siang." Nyonya Natalie pergi meninggalkanku.

Aku terdiam membisu dengan tatapan yang tertuju pada punggung tegap Perempuan paruh baya itu. Berat rasanya jika meninggalkan kota kelahiranku, tetapi mau bagaimanapun keadaanya aku harus tetap bersikap profesional.

Aku akan memikirkannya lain kali. Sekarang aku akan berkunjung ke rumah Tuan Vegas untuk menemui Prince tentunya.

Perasaanku yang semula kacau kini berubah 180 derajat setelah bertemu dengan Prince. Entahlah, aku selalu merasa bahagia saat berada di dekat Prince.

Bayi yang tengah digendong oleh seorang remaja laki-laki itu bersorak gembira saat melihat kedatanganku. Teriakan serta tepukan tangan kecilnya seolah-olah menyambut kedatanganku.

"Hai, Prince." Aku berjalan menghampirinya.

Kaki Prince menendang-nendang udara dengan semangat, ia juga merentangkan tangannya meminta untuk kugendong.

"Uuuuh. Aku sangat merindukanmu." Aku mengambil Prince dari gendongan remaja yang tak kukenali.

Aku menghirup wangi rambut Prince yang bercampur dengan aroma minyak telon di badannya. Bayi itu selalu saja membuatku candu dengan wangi khasnya.

"Apakah kau Dokter pribadi Prince?" tanya remaja itu yang berhasil mengalihkan perhatianku.

"Ah, Iya. Aku Dokter pribadinya," jawabku.

Remaja itu mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah. Aku menatap tangan itu bingung, namun detik kemudian aku menerima uluran tangannya.

"Namaku Navin Kurt Ratanaporn, kau bisa memanggilku Navin. Aku adik kandung Kakak Vegas sekaligus pamannya Prince," ucapnya panjang lebar.

Aku terpaku beberapa saat. Remaja ini lucu dan juga suka berbicara, tidak seperti Kakaknya yang lebih dingin dan cuek.

"Namaku Fiya, Dokter pribadi Prince." Singkat, padat, dan jelas. Itulah diriku.

"Hanya itu?" tanyanya yang kubalas anggukan kecil.

"Sepertinya kau sama dengan Kakak yang tak suka bertele-tele," gumamnya.

Adik Tuan Vegas ini mulutnya pedas sekali.

"Aku baru melihatmu di sini, apakah sekolahmu jauh dari rumah?" tanyaku mencoba untuk mencairkan suasana.

"Ya! Aku ini mahasiswa semester lima," protesnya.

"Hah?!"

Aku cukup terkejut saat mengetahui laki-laki yang berdiri di depanku dengan wajah bocahnya yang terlihat seperti remaja 18 tahun ini ternyata seorang mahasiswa semester lima. Bagaimana bisa?

Wajahnya masih sangat imut untuk laki-laki seusianya.

"Sepertinya kau tertipu dengan wajahku."laki-laki itu menyeringai dan hal tersebut berhasil membuatku bergidik ngeri.

"M-maafkan aku, aku tidak tahu akan hal itu," ucapku gugup.

"Tidak apa-apa. Semua orang yang baru pertama kali bertemu denganku pasti akan mengatakan hal yang sama sepertimu," katanya yang terdengar santai.

Aku hanya bisa diam seraya tersenyum canggung. Memalukan.

"Dokter Liana."

Tuan Vegas datang dengan setelan rumahannya, terlihat santai tetapi tetap menawan.

Ya. Terlalu naif jika aku tidak mengakui ketampanan dan juga kharisma Tuan Vegas untuk sekelas duda seperti dirinya.

"Selamat siang, Tuan." Aku menyapanya hangat.

"Masuklah." Tuan Vegas berjalan mendahuluiku, kemudian disusul aku dan Navin.

"Mengapa kau tidak memberitahuku jika pagi tadi kau datang," ujar Tuan Vegas seraya mendudukkan diri di sofa ruang tamu.

"Pagi tadi aku sedang buru-buru, aku pikir tidak perlu menghubungimu. Kuharap kalian menyukai puding buah yang kubuat?"

Aku duduk di lantai bersama Prince karena bayi itu aktif sekali, aku takut dia akan terjatuh jika kami duduk di sofa.

"Ouh. Puding mangga itu buatanmu?!" sahut Navin.

"Iya. Apakah rasanya begitu buruk? Aku minta maaf--"

"No. The taste is so delicious, bahkan aku dan kakak sampai berebut untuk mendapatkannya," selanya.

"What a lot of bullshit!" umpat Tuan Vegas dengan pembawaan sampai namun begitu menusuk.

"Apa aku perlu mengundang Bibi Yok untuk menjadi saksi?!" Ujar Navin menantang.

Aku pikir diusia mereka yang bisa dibilang sudah dewasa tak akan pernah terjadi pertengkaran seperti ini, bahkan hanya dengan masalah sepele sekalipun.

"Shut up!" Tuan Vegas menatap nyalang adiknya hingga membuat Navin menutup mulut rapat-rapat.

Diam-diam aku tersenyum. Sekeras apapun Tuan Vegas menutupinya, hal tersebut akan terbuka dengan sendirinya karena ulah sang adik.

Interaksi keduanya terlalu lucu. Mungkin aku pun akan mengalami hal yang sama jika memiliki adik, namun sayangnya itu tak akan pernah terjadi lantaran aku adalah anak tunggal.