Chereads / Tangent / Chapter 2 - Pertemuan Pertama denganmu

Chapter 2 - Pertemuan Pertama denganmu

"Tidak bisakah kalian tetap di sini?!" tanyaku sedikit kesal.

"Jika kami tetap di sini, bagaimana dengan pembangunan rumah sakit ku di sana?!"

Aku memutar bola mataku jengah. Bukankah teknologi di zaman sekarang sudah sangat canggih? Bisa saja mereka mengawasi dari jauh karena aku yakin semua alat elektronik pribadi kedua orang tuaku jauh lebih modern dari pada milikku.

"Kalian bisa mengawasinya dari sini, aku yakin ponsel barumu jauh lebih canggih dari pada milikku." aku menunjuk gawai Ibuku yang tergeletak diatas nakas menggunakan dagu.

"Itu berbeda, Fiya. Kami juga perlu meninjau perkembangan pembangunannya secara langsung, apa yang kurang dan yang perlu ditambahkan di sana!"

Ibuku sibuk mengemasi pakaiannya ke dalam koper, sampai aku ikut mondar-mandir hanya untuk memberi pendapat yang lebih mengarah pada pencegahan atas kepergiannya.

Sungguh aku belum biasa ditinggal pergi selama itu oleh Ayah dan Ibuku. Biasanya mereka akan pergi setidaknya paling lama setengah hari, dan akan kembali di sore hari.

Dan alasan paling utama adalah aku takut sendirian di rumah.

"Berapa lama kalian pergi?" aku mendudukkan diri di tepi ranjang tidurnya.

"Kami tidak bisa memprediksi kapan kami akan pulang, dan bisa saja kami akan menetap di sana."

"Lalu bagaimana dengan diriku? Tega sekali kalian meninggalkan ku sendirian di sini." aku memberenggut sedih.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana kehidupanku ke depannya saat mereka tak ada di sini. 27 tahun aku hidup, semuanya selalu ada campur tangan kedua orang tuaku. Wajar saja aku sedikit takut mengenai pola hidupku nanti.

"Fiya, kau sudah bukan anak remaja yang harus selalu ku awasi setiap saat. Belajarlah mandiri tanpa kami, sudah cukup kami ikut campur dalam urusan hidupmu. Sekarang giliran mu untuk menatanya sendiri." Ibu menepuk pundakku singkat diiringi senyum manis seolah-olah ia merasa yakin dengan ucapannya.

"Apakah aku akan tinggal sendiri di rumah ini? Aku harap kalian tidak melupakan sesuatu." Aku menunduk seraya menggesekkan telapak kakiku di lantai.

Ibu duduk di sampingku, kemudian menggenggam tanganku seraya memfokuskan atensinya padaku.

Kalau sudah seperti ini, rasanya aku ingin menangis kencang dan memilih ikut bersama mereka.

"Aku tau kau takut sendirian, maka dari itu aku mempekerjakan bibi Wan untuk mengurus rumah dan menemanimu," ucapnya berusaha meyakinkan ku.

Aku menghela nafas berat. Seharusnya aku menyadari bahwa memiliki Ibu sebagai wanita karir bukanlah suatu hal yang mudah. Waktunya terbagi untuk mengurus rumah juga suami dan anaknya, belum lagi jika jam kerja masuk maka waktunya semakin sedikit untuk kami kumpul bersama.

Ibuku juga seorang dokter spesialis, hanya saja beliau memilih menjadi dokter spesialis kecantikan. Ia ingin memberikan bantuan pada orang-orang yang memiliki masalah pada kulit bahkan wajahnya sehingga timbullah keinginan untuk membuka rumah sakit.

Bukan. Bukan rumah sakit untuk operasi plastik, ini khusus untuk orang-orang yang ingin memiliki kulit yang sehat.

"Mom," lirihku hampir terisak.

Ibu membawaku ke dalam dekapannya yang begitu hanya dan penuh kasih.

"Kami akan meluangkan waktu untuk datang ke Chiang Mai setiap tahunnya. Tak perlu khawatir," ucapnya begitu lembut.

Pintu kamar terbuka lebar disusul dengan masuknya Ayah dengan jas yang sudah tanggal.

"Pukul empat sore pesawatnya berangkat, jadi persiapkan mulai dari sekarang apa yang perlu kita bawa. Tepat pukul tiga kita berangkat dari rumah," ujar Ayah santai seraya menghempaskan tubuhnya di sofa.

Korea. Negara yang menjadi salah satu target bisnis kedua orang tuaku. Sejujurnya aku ingin sekali berkunjung ke sana, hanya saja aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku dan melepas tanggung jawabku pada dokter lain hanya demi kepentingan pribadi.

Bisa saja aku ke sana, tetapi aku harus menunggu masa cuti tiba. Jika tak sabar menunggu cuti, aku harus mengurus surat izin yang rumitnya melebihi mengurus buku rekening.Menyebalkan.

"Fiya, kau yakin tidak akan ikut bersama kami?" tanya Ayah untuk yang ke sekian kalinya.

"Hei. Tidak bisakah kau membiarkan anakmu mandiri, dia sudah dewasa. Kau tidak perlu ikut campur, biarkan dia memilih jalannya sendiri," protes Ibu.

"Aku hanya bertanya, apa salahnya?"

"Sudah berapa kali kau menanyakan hal yang serupa, huh?!"

"Sudah. Tidak perlu bertengkar, aku akan baik-baik saja di sini."

Aku memilih pergi dari sana. Malas rasanya mendengarkan perdebatan mereka yang tidak mendasar. Lebih baik aku menonton film yang belum sempat ku selesaikan.

Tepat pukul 3 sore kedua orang tuaku berangkat menuju bandara. Sayangnya aku tidak bisa mengantar mereka ke sana karena terhalang jam kerja.

Dan di sinilah aku sekarang. Ruangan yang di desain semenarik mungkin untuk mengatasi perubahan mood pasienku. Terlihat sangat mencolok dan penuh dengan gambar-gambar lucu memang, tetapi tak apa karena aku juga menyukainya.

Tenggorokanku mulai kering. Sepertinya aku akan meminta bantuan OB untuk memesankan segelas kopi dingin.

"Pak, bisakah kau membantuku?" tanyaku ramah pada salah satu petugas kebersihan yang kutemui.

"Tentu saja, apa yang bisa saya lakukan untuk anda?"

"Tenggorokanku kering, dan jam kerjaku akan segera dimulai beberapa menit lagi. Bisakah aku meminta bantuanmu untuk membelikan ku segelas kopi espresso dingin?"

"Dengan senang hati aku akan membelikannya untukmu."

Aku tersenyum lega. Ku rogoh saku jas ku dan memberinya selembar uang senilai 1000 baht kepadanya.

"Sisanya bisa kau belikan makanan untukmu dan teman-teman mu."

"Tetapi ini terlalu banyak, Dokter."

"Teman mu juga banyak bukan, ku harap ini cukup untuk membeli sepuluh bungkus nasi kotak," kataku.

"Terimakasih, Dokter. Semoga keburuntungan selalu memihakmu."

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Petugas itu membungkukkan badannya, kemudian berlalu meninggalkanku. Aku pun kembali masuk ke dalam ruangan ku sembari menunggu pasien pertama sore ini.

Beberapa menit kemudian pesanan ku datang. Belum sempat aku meneguk es kopi itu, asistenku masuk bersama seorang pria muda yang menggendong anaknya.

"Selamat sore, Dokter," ucap asistenku bernama Gabby.

Aku tersenyum sambil mengangguk.

"Silahkan duduk, Tuan."

Pria muda itu mengangguk dan duduk di kursi yang berseberangan dengan ku.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku ramah.

"Putraku demam tinggi, sudah hampir dua hari panasnya tak kunjung turun," jelasnya.

"Tolong baringkan dia di atas brankar," pintaku yang dipanggil olehnya.

Namun bayi berusia 6 bulan itu justru menangis kencang dan enggan melepaskan pelukannya dari sang ayah.

"Gabby, tolong bantu Tuan ini," ucapku seraya memasang stetoskop.

Gabby berusaha membantunya, namun hasilnya tetap nihil, justru tangisannya semakin menjadi. Alhasil aku lah yang harus turun tangan, mencoba untuk mengambil hatinya agar mau diperiksa.

"Halo. Ayahmu bilang kau sakit panas," kataku seraya mencoba untuk melakukan sentuhan hangat padanya.

Bayi itu masih tetap menangis, tetapi aku tidak putus asa. Aku terus mencoba menenangkannya, tentunya dengan segala cara.

"Aku mempunyai banyak mainan di sini, apakah kau mau melihatnya denganku?"

Percobaan kedua masih tetap gagal. Bayi itu memang sudah tidak menangis sekencang tadi, tetapi ia masih sulit untuk ku periksa.

Aku menghela nafas sejenak. Ku harap percobaan ketiga akan berbuah manis. Semoga saja.

"Aku mempunyai boneka gajah, dia baru saja aku beli beberapa hari yang lalu," ucapku menjeda beberapa saat seraya mengambil boneka gajah berukuran sedang.

Beruntungnya bayi itu mulai mengalihkan atensinya dan menatap boneka serta diriku secara bergantian.

"Aku belum memberikannya nama, maukah kau mencarikan nama yang cocok untuknya?"

"Babababa," cicitnya yang membuatku senang lantaran bayi itu mulai merespon ku.

"Wah. Nama yang bagus, kau memang pandai." Aku mengusap kepalanya lembut, dan tak di sangka bayi itu tersenyum lebar.

"Maukah--" Aku menggantung ucapanku seraya melirik Ayah bayi itu.

"Prince," gumamnya.

"Maukah Prince bermain bersama Baba?" Aku menggerakkan boneka gajah itu seolah-olah gajah itu yang tengah berbicara.

Tanpa di duga, bayi itu merentangkan tangannya, memintaku untuk menggendongnya.

Astaga. Dia benar-benar menggemaskan sekali. Lihatlah wajahnya yang penuh dengan bekas air mata pun hidungnya yang memerah, membuatku ingin sekali mencubitnya.

Aku mengambil bayi itu dari gendongan Ayahnya, kemudian mengayunkan tubuhnya senyaman mungkin seraya mengecek suhu tubuh serta detak jantungnya.

"Prince, kau hanya demam biasa. Mari kita timbang berat badanmu dulu."

Aku membaringkan tubuhnya diatas timbangan khusus untuk bayi dan balita. Lagi dan lagi Prince menangis dan membuat Ayahnya sedikit panik.

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin melihat berat badanmu. Jangan menangis ya," kataku.

Setelahnya aku kembali menggendongnya seperti semula.

"Tuan, berapa usia putramu?" tanyaku pada pria muda yang tengah menatapku.

"Enam bulan," jawabnya singkat.

"Berat badannya masih kurang untuk seusianya. Normalnya bayi usia enam bulan memiliki berat badan Enam sampai sepuluh kilogram, tetapi putramu hanya memiliki berat lima kilogram. Apakah dia hanya meminum ASI saja?"

Pria itu menggeleng. "Dia tidak meminum ASI sejak bayi dan aku menggantinya dengan susu formula."

"Seharusnya usia enam bulan mulai diperkenalkan makanan padat seperti buah dan sayur yang dihaluskan, kemudian dimasak," jelasku seraya menuliskan resep obat.

"Ayah dan Ibunya pun harus memperhatikan pola tidurnya dengan baik. Silahkan tebus obatnya di apotik."

Aku memberikan selembar kertas berisi resep obat yang aku anjurkan. Aku sengaja memberinya obat berupa sirup agar bayi itu bisa meminumnya dengan mudah.

Aku menundukkan kepala guna melihat bayi dalam gendonganku. Ternyata dia tertidur, pantas saja sedari tadi tak ada pergerakan.

"Terimakasih," ucapnya, kemudian beranjak dari duduknya.

Aku menyerahkan Prince pada Ayahnya karena urusan kami sudah selesai. Aku sedikit tidak tega melihat bayi selucu Prince sakit, wajahnya pucat dan sedikit tirus, ingin sekali aku membawanya pulan dan merawatnya sampai sembuh.

"Ini adalah kartu namaku, kau bisa menghubungi nomor di sana jika kau membutuh bantuanku. Aku harap putramu cepat sembuh." Aku mengusap pipi bayi itu sebagai sentuhan terakhir sebelum kami berpisah.

"Sekali lagi saya ucapkan terimakasih. Selamat sore."

Aku mengangguk sebagai respon. Setelah itu pintu ruangan tertutup kembali.