Akhirnya pagi itu, Adler berkata jujur kepada neneknya. Adler merasa jauh lebih lega setelah mengutarakan isi hatinya pada sang Nenek. Namun, untuk mengatakan tentang Genevieve, Alder belum berani.
Ia baru berani menyatakan kepada Nenek bahwa sebenarnya waktu itu ia hanya membawa Elma bertemu ayahnya yang sedang sekarat karena ia tidak ingin ayahnya menghembuskan napas terakhir dengan kuatir karena Adler masih belum mau menambatkan hati kepada wanita mana pun.
Sayangnya setelah ayahnya meninggal Adler belum sempat memberikan kejelasan kepada Elma karena kemudian neneknya terlihat menyukai gadis itu.
Kini, setelah ia memberanikan diri menceritakan isi hatinya kepada nenek, Adler merasa ia masih membutuhkan waktu untuk bisa menceritakan tentang perasaannya kepada Genevieve.
Ia tidak ingin neneknya mengira sikapnya kepada Elma berubah dan cintanya hilang karena ia bertemu gadis baru. Tidak sama sekali. Dari awal ia memang tidak mencintai Emma.
Sementara terhadap Genevieve…
Well… ia tidak tahu pasti apakah yang dirasakannya ini cinta, tetapi ia belum pernah merasa seperti ini dengan wanita lain sebelumnya.
Nenek Rosie akhirnya menarik napas dan mengangguk paham. Walaupun ia sangat ingin menimang cicit, tetapi pada akhirnya, kebahagiaan Adlerlah yang terpenting.
"Baiklah, Cucuku tersayang. Kau bebas menentukan dengan siapa kau menambatkan pilihan." Nenek menepuk pundak Adler setelah mereka mengobrol cukup lama.
Sejak kematian menantu perempuannya, Neneklah yang merawat Adler hingga dewasa. Walau akhirnya sang putra memilih untuk menikah lagi, wanita sepuh itu tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya dari cucunya dan memutuskan untuk tetap mengambil peran besar dalam membesarkan Adler.
Nenek Rosie merasa Franka bukanlah ibu tiri yang baik. Ia sama sekali tidak terlihat menyayangi Adler seperti anaknya sendiri. Jika bukan karena permintaan sang putra, Mark Wirtz, sudah lama sang Nenek melempar keluar menantu penggantinya yang angkuh itu.
"Jadi kau sudah pulang?" Suara angkuh dan dingin itu menghentikan obrolan ringan di antara Adler dan neneknya.
"Ya. Aku hanya terlalu sibuk di kantor sampai lupa pada hari penting itu." Adler mengedikkan bahu, tampak tak peduli.
"Nenek, Ad, makanan sudah siap." Elma memecah suasana dingin di antara mereka.
Gadis itu langsung mengambil posisi di sebelah Franka Wirtz, ibu tiri Adler. Gadis itu tersenyum ramah.
"Ayo, Sayangku. Kita harus makan sesuatu untuk merayakan ulang tahunmu." Nenek menggamit lengan Adler.
Adler menggandeng lengan sang Nenek. Sesekali terdengar tawa ringan di bibir wanita sepuh itu. Walau sudah berusia lanjut, tetapi kondisi fisik sang Nenek masih tampak prima.
"Nenek, apa ingin berlibur berdua bersamaku?" tanya Adler tiba-tiba.
"Ah, tubuh tua ini tidak terlalu bisa diajak bepergian jauh, Nak. Aku sudah cukup puas dengan taman penuh bunga di areal rumah kita."
"Jangan katakan hal itu, Nek. Nenek masih sama. Tetap sehat dan kuat seperti yang aku tau." Adler mengusap lembut lengan sang Nenek.
Elma dan Friska hanya diam mengamati tingkah nenek dan cucunya itu. Elma memang sudah lama masuk dan berbaur di keluarga besar Wirtz. Semua karena Friska.
Elma menoleh ke arah calon ibu mertuanya. Seakan-akan baru kemarin mereka bertemu dan saling mengenal. Ketika Elma baru selesai melenggak-lenggok di catwalk.
Wanita paruh baya berwajah tegas itu langsung mendatangi ruang ganti dan berbincang serius. Sikap angkuh tak lepas ditunjukkan oleh istri pengganti Mark Wirtz itu. Karena ia tidak punya anak sendiri, ia kehilangan kesempatan untuk menguasai harta keluarga Wirtz. Karena itulah ia memutuskan untuk mencari gadis yang bisa ia manfaatkan untuk menjadi istri Adler yang dapat ia kendalikan.
Elma yang materialistis tentu saja tidak ingin membuang kesempatan untuk masuk ke keluarga terhormat. Terlebih sejak ayahnya, Bobby Glade, bangkrut dan Tak dapat menyokong gaya hidupnya yang mahal. Setelah ia pensiun sebagai supermodel, praktis Elma harus bersusah payah untuk mempertahankan statusnya sebagai seorang sosialita.
Saat itulah Franka hadir membawa kesempatan bagi Elma untuk masuk dalam kehidupan mewah keluarga Wirtz. Saat itu ayah Adler sedang sekarat dan sangat ingin melihat anak lelaki satu-satunya itu menikah.
Elma lalu dibawa sebagai gadis baik-baik yang dijodohkan Franka kepada Adler untuk membuat ayahnya senang. Lalu hingga kini, dua tahun kemudian, Elma sudah masuk ke dalam keluarga Wirtz dengan terlalu dalam.
Franka sudah memperlakukannya seperti menantu, dan Nenek Rosie juga sangat menyayanginya, Elma sudah diterima di rumah ini seperti anggota keluarga dan ia bebas keluar masuk.
"Jangan melamun, Elma! Kau harus fokus." Franka berbisik sembari menepuk paha Elma.
Tindakan Franka menyentak kesadaran Elma. Lamunannya buyar. Seulas senyuman manis terukir di bibir Elma. Ia sedang memikirkan sikap Adler yang dingin dan kekuatirannya bahw Adler ingin mencampakkannya.
"Maaf," kata Elma pelan. "Aku tidak enak badan."
Usai acara makan, Adler masih saja menyibukkan diri bersama sang Nenek. Franka dan Elma terabaikan begitu saja.
"Tante Franka, apa yang harus aku lakukan?" tanya Elma dengan risau. "Sudah dua tahun dan Adler masih belum mau membicarakan pernikahan. Akhir-akhir ini ia juga terlihat semakin sibuk."
Franka memutar matanya kesal. "Kau ini bagaimana sih? Apa saja yang kau lakukan selama ini? Kalau Adler sibuk, justru kau harus menggunakan itu sebagai alasan untuk mendesaknya menikah. Bilang bahwa kau kuatir dengan kesehatannya kalau ia terlalu sibuk. Kau ingin ada di sampingnya setiap hari dan memastikan ia makan dan tidur dengan baik, agar tetap sehat."
Elma menggigit bibir. Rasanya memang bicara itu sangat mudah, tetapi praktiknya sangat sulit.
"Maafkan aku," katanya pelan.
Franka menarik tangan Elma dan berkata, "Aku akan mencoba membahas tentang pertunangan kalian. Kau hanya perlu diam. Ayo, ikut aku!"
Ketukan hak tinggi sepatu keduanya menggema di ruangan yang sangat luas. Kedua perempuan itu sampai di bagian belakang rumah, tempat di mana semua bunga ditanam dengan indahnya.
Bagi Franka, tempat ini sakral. Karena taman ini mengingatkan Franka pada nyonya rumah yang sebenarnya. Franka tidak punya hak apa-apa jika bukan karena statusnya sebagai nyonya Mark Wirtz.
Bagi Nenek, tempat ini selalu mengingatkannya pada sosok ibu Adler. Wanita lembut yang mampu mencuri hati semua orang di rumah megah ini. Menjadikan tiap sudut rumah hidup dan hangat karena sentuhan tangannya.
Sejak kematiannya, suasana rumah berubah tanpa bisa dicegah. Apalagi dengan kehadiran sosok pengganti, perempuan yang selalu memasang wajah datar dan angkuh bernama Franka. Semua tak lagi sama.
"Ada hal penting apa sampai-sampai kalian repot mendatangi tempat ini?" Nenek mengernyit heran.
Adler yang sedang asyik menyiram tanaman pun langsung menoleh. Lelaki itu berusaha menyimpan ketidaksukaannya pada dua perempuan yang berdiri bersisian itu.
"Kita harus bicara, Ibu."
Sebenarnya, sang ibu mertua sangat benci dipanggil dengan sebutan itu. Karena selalu saja wajah cantik nan anggun milik menantu perempuan pertama yang membayang setiap kali ia mendengar panggilan 'ibu'.
Walau sudah berusaha, tetap saja wanita lanjut usia itu tidak bisa mengganti sudut pandang tentang sosok menantu ideal. Sering kali sang Nenek mendoakan kelak Adler akan menikah dengan perempuan berhati lembut seperti menantu pertamanya, bukan seperti Franka.
"Kita duduk di sana." Nenek menunjuk meja bulat yang ada di depan taman. "Ayo, Ad."
Mereka berempat duduk berhadapan. Wajah cantik Elma tampak tegang, berbeda dengan Franka. Raut wajahnya tetap dingin dan datar.
"Ad, ayolah beri kepastian, kapan kau akan menikahi Elma?" Franka tak ingin berbelit-belit. "Apa kau tidak malu menggantung anak gadis orang selama bertahun-tahun?"
Elma tampak terkejut dengan sikap to the point calon ibu mertuanya itu. Karena gugup, Elma meremas ujung gaun di bawah meja.
"Tidak bisakah aku meminta waktu sedikit lagi?" Alder berusaha berucap dengan nada tenang.
"Ya. Adler sudah merancang semua." Nenek mengambil alih. "Bisnis keluarga kita menjadi prioritas utama. Toh, selama ini, Elma tidak pernah diabaikan. Bukan begitu, calon cucu menantu?"
"I-iya, Nenek." Elma mengangguk malu-malu.
"Apa kau tidak bisa memberi sedikit waktu lebih lama, Elma Sayangku?" tanya Nenek.
Elma tampak terkejut ketika sang Nenek langsung menembaknya dengan permintaan yang tak mungkin sanggup ditolak mentah-mentah.
"Tapi, Ibu, mereka sudah bertunangan sangat lama. Tidakkah Ibu ingin kehadiran bayi di antara mereka?" Franka bertanya dengan nada sentimentil.
Jika tidak bisa memakai kekerasan, maka jalan lembut dan menyentuh hati adalah pilihan yang Franka ambil.
Benar. Taktik itu berhasil. Wajah tua ibu mertuanya tampak meredup. Franka sampai harus menahan diri agar tak menyeringai lebar.
"Adler Sayangku, tidakkah kau bisa menjalani pernikahan sembari mengembangkan usaha milik keluarga Wirtz?" Nenek menatap penuh harap.
Adler merasa terdesak. Terlebih ketika ketiga perempuan lintas generasi itu serempak menatap tajam ke arahnya.
"Bagaimana kalau aku ingin semuanya disudahi saja?" tanya Adler yang merasa terpojok.