Chereads / Tuan CEO, Jangan Cintai Aku! / Chapter 8 - Ulang Tahun Adler

Chapter 8 - Ulang Tahun Adler

"Tuan, saya pasti mendapat masalah setelah ini," keluh Genevieve.

Adler hanya tersenyum lalu menyeruput kopinya. Gadis di hadapannya tampak salah tingkah. Namun, Adler tak peduli.

"Bisakah kau tenang? Aku hanya butuh teman untuk makan siang. Itu saja," katanya.

Genevieve mengatupkan bibirnya. Ia tak berani membantah karena ia ingat laki-laki di hadapan itu pernah menyelamatkan nyawa juga kehormatannya..

"Kau cukup menemani aku makan. Tidak sulit, kan?"

Genevieve hanya diam. Ia mencoba mengalihkan pikiran pada makanan yang tersaji. Menu yang dipesan terlalu banyak untuk disantap berdua.

"Kalau tak suka, boleh pesan yang lain."

Genevieve ingin mengatakan kalau dirinya terbiasa makan apa saja. Tidak pernah pilah-pilih makanan. Karena bisa makan saja, gadis itu sudah sangat bersyukur.

"Tidak, Tuan. Semua ini lebih dari cukup. Terima kasih."

Melihat sikap Genevieve, sifat dasar laki-laki Adler mencuat tinggi. Jiwa penakluk wanita langsung mendominasi pikiran Adler.

Entah mengapa, sikap lugu dan kaku yang dimiliki oleh Genevieve membuat Adler tak mampu mengalihkan pandangan darinya. Sedangkan Genevieve merasa risi terhadap sikap Adler.

'Apa laki-laki ini seorang maniak? Apa itu berarti aku lepas dari mulut singa malah masuk ke mulut buaya?' Genevieve bergumam dalam hati.

Melihat sikap kaku Genevieve yang berbeda dengan pertama kali mereka bertemu, Adler tertegun. Mendadak, hati Adler dipenuhi rasa resah. Ia bertanya-tanya apakah ia terlalu memaksakan kehendak?

"Nona Genevieve," panggil Adler setelah sekian lama mereka larut dalam pikiran masing-masing.

"Ya?"

"Maaf."

Genevieve merasa bingung. Kenapa sikap laki-laki di depannya ini berubah-ubah?

"Aku hanya ingin kita saling kenal. Berteman. Walau perkenalan kita dimulai dari sebuah hal yang tidak menyenangkan." Adler berujar tulus.

Adler tidak ingin melepas kesempatan untuk mengenal Genevieve. Sesuatu dalam diri gadis di hadapan menarik perhatian dan Adler tak mampu menepisnya.

Genevieve mengangguk. Ia merasa berdosa karena sudah sempat berburuk sangka pada sosok lelaki penolong itu. Hatinya mengingatkan, jika tidak ditolong oleh Alder malam itu, belum tentu hari-hari yang dia jalani akan sama lagi.

"Jadi temanku, ya?" Adler tersenyum lebar seraya mengulurkan tangan.

Sudut hati Genevieve tersentuh dengan sikap Alder. Dia pun menyambut uluran tangan itu sembari balas tersenyum.

Setelah Adler meminta maaf dan menunjukkan ketulusannya, Genevieve mulai merasa sedikit lebih relaks. Obrolan ringan pun mengalir dari keduanya. Sampai Adler mengantar Genevieve kembali ke supermarket. Kesan manis sudah membekas di kepala sang gadis bahwa sosok penolong itu bukan seorang lelaki pemaksa.

"Jadi? Siapa sebenarnya laki-laki tadi?" tanya Irmina tiba-tiba mengagetkan Genevieve yang sedang mengenakan kembali apronnya.

"Ah, Nona Mina. Anda mengagetkan saya." Genevieve tertawa kecil. "Tuan Adler itu pernah menyelamatkan nyawa saya."

Irmina bersedekap seraya menatap tajam. "Menyelamatkan nyawa? Apa maksudnya, Ginny?"

Genevieve menarik napas dan menatap Irmina dengan sendu. "Ada kejadian buruk yang saya alami ketika pulang lembur kemarin. Seandainya Tuan Adler tidak ada, saya pasti sudah jadi korban pelecehan."

Irmina membekap mulutnya. Tentu sudah bisa membayangkan bagaimana kengerian yang harus dialami oleh Genevieve. Mendadak, pandangan sinisnya terhadap sosok lelaki asing tadi, berubah menjadi rasa hormat.

Bahkan Irmina berjanji dalam hati, jika diberi kesempatan untuk bertemu lagi, akan ada permintaan maaf yang tulus darinya.

Lagi-lagi, ada sosok yang diam-diam mendengarkan obrolan Genevieve dan Irmina dari balik deretan loker pekerja. Senyum sinis perempuan itu mengembang. Lengkap dengan rencana buruk yang menari-nari di kepalanya.

***

Sejak suasana beku dan kaku di antara Genevieve dan Alder mencair, lelaki itu selalu datang ke supermarket untuk berbelanja. Ia selalu menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan Genevieve dan mencoba mengenal gadis itu dengan lebih baik.

Terkadang, Alder hanya bisa tertawa sendiri ketika melihat di jok belakang mobilnya berderet barang-barang yang berada dalam kantong belanja tersusun rapi. Sudah berbulan-bulan ia melakukan hal ini tanpa sadar.

Ahh… astaga. Ia bahkan kini lebih menyukai menghabiskan setiap waktu luangnya dengan mampir ke supermarket itu daripada bekerja seperti biasanya.

Satu hal yang masih membuat Adler heran. Beberapa kali ia menawarkan jasa mengantar Genevieve pulang, tetapi sama sekali tidak pernah ditawari untuk mampir. Sekali pun hanya basa-basi belaka.

Adler penasaran tentang kehidupan gadis cantik yang sudah mencuri perhatian dan mengisi mimpi malamnya. Namun, seperti ada dinding tak kasat mata yang membentengi diri gadis impian itu.

Tentu saja Adler bisa mengerahkan orang kepercayaan untuk mengorek informasi tentang siapa Genevieve sebenarnya. Hanya saja, Adler takut ibu tirinya mengendus tindakan pemberontakan itu lalu mengacaukan segalanya.

Adler hanya ingin melepaskan diri dari wanita yang menjadi bayang-bayang Elma itu. Ibu tirinya tampak sangat menyukai Elma dan selalu memaksanya untuk segera menikahi gadis itu.

Rasanya Franka, sang ibu tiri dan Elma adalah paket lengkap. Sebenarnya Adler bisa saja menentang ibu tirinya terang-terangan, tetapi sekuat apa pun Alder menjauhi mereka, tetap saja ia harus memikirkan kesehatan neneknya.

***

Adler turun dari mobil setelah melihat sosok Genevieve keluar dari pintu samping khusus karyawan.

"Genevieve."

Genevieve yang sedang berjalan sembari memegang tali ransel kanan kiri itu langsung menoleh. "Tuan? Bukannya tadi sudah belanja? Apa ada yang mau dibeli lagi?"

Adler tertawa. Entah mengapa, Genevieve suka melihat lelaki itu tertawa. Ada rasa hangat yang tercipta ketika mereka beradu pandang.

"Aku ingin membawamu ke sebuah tempat. Boleh?" tanya Adler.

Genevieve memiringkan kepala. "Ke mana?"

"Kejutan. Hari ini aku ulang tahun."

"Benarkah? Tapi ... Saya tidak punya hadiah ulang tahun untuk Anda."

"Dengan menjadi temanku saja, itu sudah lebih dari cukup, Genevieve."

"Benarkah?" Genevieve mengernyitkan kening.

"Ya. Ayo, kita pergi. Aku tidak mau kau pulang terlalu malam."

Genevieve langsung menurut. Seumur-umur, baru kali ini dia punya teman baru yang dengan mudah menarik perhatian. Karena selama ini, Genevieve sengaja memasang wajah dingin dan datar pada lawan jenisnya.

Tanpa disangka, Adler membawa Genevieve ke sebuah butik yang merangkap salon kecantikan. Gadis itu merasa tidak nyaman ketika melihat bangunan yang tampak elegan dan mewah itu. Sudah pasti gajinya tak akan cukup walau hanya untuk sekadar potong rambut saja.

"Kenapa berdiri di situ? Ayo, masuk." Adler menggerakkan leher sebagai isyarat.

"Tu-tuan, gaji ... gaji saya tidak akan cukup dipakai untuk perawatan di sini," kata Genevieve dengan jujur.

Sebenarnya, Alder ingin menertawai kepolosan gadis yang masih mengenakan seragam khas swalayan milik keluarga Wirtz. Namun, tentu saja itu bukanlah hal yang sopan.

"Anggap saja ini hadiah karena kita berteman. Oke?" kata Adler santai. "Karena aku berulang tahun, aku akan mentraktirmu."

Genevieve mengerjap berkali-kali. Bingung memikirkan bagaimana cara membayar semua kebaikan teman barunya itu.

"Ayo. Ada aku. Kau cukup duduk manis saja." Adler sampai harus menggenggam jemari tangan Genevieve.

Genevieve semakin gugup. Terlebih ketika merasakan kehangatan genggaman tangan Adler. Ada rasa nyaman yang mendadak muncul dan dia tak mengerti.

Seumur-umur baru kali ini, Genevieve dimanjakan di salon. Selama ini, prioritas utama dalam hidupnya adalah Liesel. Genevieve tidak mungkin mementingkan perawatan diri sedangkan biaya hidup mereka saja sudah cukup membuatnya harus bekerja serabutan.

Sementara Genevieve melakukan perawatan, Adler sibuk dengan ponselnya dan bekerja. Ada beberapa laporan harus diperiksa untuk disetujui dan ia ingin memanfaatkan waktu ini sambil menunggu Genevieve dengan melakukan hal produktif.

Genevieve menahan napas ketika membuka mata seusai stylist mengatakan make up sudah selesai. Belum usai keterkejutan itu, seorang perempuan membawakan sebuah gaun mewah untuknya.

"Nona, maaf. Bisakah aku minta gaun yang lebih sederhana?" tanya Genevieve.

Dia tadi mengira ajakan Adler untuk merayakan ulang tahunnya hanyalah untuk makan malam biasa. Rasanya gaun yang dibawakan tadi cukup berlebihan.

"Bagaimana kalau Anda ikut denganku? Anda bisa memilih sendiri gaun yang Anda inginkan." Staf butik itu mengangguk sopan.

Genevieve dibawa ke ruangan sebelah yang penuh dengan berbagai gaun cantik dan terlihat mahal. Ia baru menyadari bahwa salon ini berbagi gedung dengan sebuah butik, dan kini sang pegawai salon membawanya untukmemilih gaun sendiri di butik sebelah.

Ada begitub banyak gaun-gaun seksi dan anggun menghiasi manekin dan gantungan di butik itu. Genevieve sampai tertegun di tempat dengan mulut menganga melihat koleksi pakaian di depannya.

"Bagaimana dengan yang ini?" tanya staff butik dengan penuh hormat. Ia mengambil sebuah dress berwarna biru dan menunjukkannya kepada Genevieve.

"Ini… bagus," kata Genevive sambil menelan ludah.