Adler tak mampu mengerakkan rahangnya yang menganga ketika melihat sosok Genevieve. Pesona gadis di hadapannya terlihat semakin tinggi.
"Tu-tuan, apakah ini semua tidak berlebihan?" Genevieve bertanya lirih.
Adler langsung mengganti reaksinya. "Tidak. Ini semua pantas, Genevieve. Ayo, kita tidak boleh terlambat."
Genevieve mematung ketika Adler mengisyaratkan permintaan untuk digandeng. Namun, melihat senyuman tulus yang terkembang dari bibir lelaki itu, Genevieve akhirnya memberanikan diri.
Canggung. Tentu saja. Ketika beberapa pasang mata pengunjung butik juga salon menjadikan mereka berdua sebagai titik pusat perhatian. Genevieve diserang rasa gugup.
"Hei, santai saja. Mereka hanya sedang terpukau atas kecantikanmu." Adler tertawa ringan.
Tidak demikian dengan Genevieve. Selama ini, dia bukan orang yang terbiasa dengan sorotan. Segala umpatan dan hinaan sudah kenyang dia terima sejak kehadiran Liesel. Maka sorot lampu panggung bukan milik Genevieve.
Gadis itu malah hampir tersandung. Untung saja, Adler sigap dan meraih pinggang ramping milik Genevieve.
"Maaf."
Genevieve hanya mengangguk. Rasa rendah dirinya benar-benar membuat Genevieve serba salah dan mendadak bingung menentukan sikap. Maka keduanya hanya berdiam diri sepanjang perjalanan menuju tempat yang dirahasiakan oleh Adler.
Lagi-lagi Genevieve dibuat terpana dengan tempat yang mereka datangi. Restoran mewah yang tidak mungkin bisa didatangi oleh kalangan seperti dia.
"Tuan, apa tidak salah tempat?" bisik Genevieve kuatir. "Tempat ini terlihat mahal sekali."
Ia tidak membawa uang untuk makan di tempat semewah ini dan ia juga tidak ingin Adler keluar uang sangat banyak hanya untuk mengajaknya makan.
"Tidak. Untuk hari spesial, aku sedikit menguras tabungan." Adler terpaksa harus berbohong.
Sebenarnya restoran mewah di hadapan mereka adalah salah satu dari usaha milik keluarga Wirtz. Namun, Adler memang terbiasa bekerja di balik layar. Tidak pernah tampil di publik.
Hanya ibu tiri Adler saja yang selalu datang memamerkan status sebagai istri dari Mark Wirtz yang kaya raya.
Genevieve merasa terharu melihat Adler ingin membuat acara makan malam pertama mereka ini istimewa, karena menilik dari penampilannya, Alder tampak seperti lelaki sederhana, bukan dari keluarga konglomerat. Mobil yang dipakainya pun hanya jenis SUV biasa yang sudah berumur beberapa tahun, bukan keluaran terbaru.
Tentu saja Adler sudah merancang semua. Lelaki itu ingin dipandang sebagai sosok biasa. Ia tidak ingin dikejar-kejar wanita karena ia adalah seorang Wirtz.
Jemari lentik Genevieve digenggam oleh Adler. Tak hanya itu, layaknya sikap standar para gentleman, Adler menarik kursi untuk diduduki oleh Genevieve.
"Tuan, saya tidak mengerti harus memesan apa," bisik Genevieve.
Ketimbang memilih menu yang sama sekali belum pernah dia cicipi, Genevieve berpikir lebih baik jujur pada temannya itu.
"Aku akan memesan menu spesial untuk kita malam ini. Tenanglah." Adler menepuk lembut punggung tangan Genevieve.
Ketika pramusaji sudah mencatat pesanan, pelan-pelan Genevieve memindai sekeliling. Berulang kali pula hatinya berdecak kagum. Restoran kalangan atas ini tentu saja tidak sesuai dengan isi kantongnya.
"Saya berterima kasih pada Anda. Bahkan dalam mimpi pun, saya tidak mungkin bisa ada di tempat seperti ini."
Adler makin jatuh hati. Genevieve memang terlalu polos dan tanpa ragu menunjukkan sikap lugunya itu. Sebagai laki-laki, Adler merasa perlu menjadi sosok pelindung bagi gadis beraroma peach itu.
Adler pernah mendapati dirinya terbangun dengan napas terengah-engah. Ia mengalami mimpi buruk tentang malam yang dialami Genevieve dan ia datang terlambat. Tangis dan keterpurukan di mata Genevieve membuatnya tak merasa ngantuk sama sekali.
"Ah, saya hampir lupa. Selamat ulang tahun, Tuan Alder. Tuhan memberkati Anda." Genevieve menangkupkan telapak tangannya.
"Terima kasih. Bolehkah aku berkata jujur?"
"Tentu saja. Silakan."
"Seumur-umur, baru kali ini, aku menjalani hari ulang tahun bersama seorang gadis yang sangat cantik."
Genevieve mencebik. "Anda bisa saja, Tuan."
Gombalan receh yang dilontarkan Alder walau ditampik oleh Genevieve, tetap saja menghadirkan semburat merah di pipi putih mulus miliknya. Lagi, Alder terkesima dengan reaksi alami yang ditunjukkan oleh gadis itu.
Makanan yang datang membuat obrolan mereka terjeda. Adler mempersilakan Genevieve untuk makan.
Di tengah-tengah suapan, Genevieve teringat Liesel. Mendadak, rasa bersalah menyusup ke relung hati Genevieve. Benaknya bertanya apakah gadis kecilnya sudah makan? Apakah Beatrice tidak masalah jika terus-menerus diberi tugas menjadi babysitter untuk Liesel?
"Kenapa? Apa tidak enak?" Adler mengernyit heran.
Genevieve hanya menggeleng seraya tersenyum tipis. "Bukan, Tuan. Hanya mendadak teringat sesuatu."
"Genevieve, bisakah kau berhenti memanggilku dengan sebutan Tuan? Panggil Ad atau Adler saja."
Gadis yang mengenakan gaun hitam bertali spaghetti itu sebenarnya ingin mengemukakan keberatan. Namun, kecamuk di pikiran, membuatnya lebih memilih untuk mengangguk.
Acara makan pun ditutup dengan hidangan penutup. Genevieve merasa bersalah. Di tempat ini, dia tengah menikmati semua hidangan mewah, tetapi di flat, gadis kecil dan sahabatnya mungkin hanya makan seadanya seperti biasa.
Sesekali Alder mencuri pandang ke arah gadis yang memiliki leher jenjang menggoda itu. Adler mengamati perubahan sikap Genevieve dan lagi-lagi menyimpan tanya di kepala.
'Kenapa gadis ini tampak tak lagi menikmati suasana makan malam? Bukannya tadi tawa cerianya terdengar tulus?' Adler menjadi bingung.
"Apa kau bisa berdansa?" tanya Adler memecah keheningan di antara mereka.
Genevieve meletakkan sendok kecil yang dipakai untuk menyuap cake. "Tidak, Tuan."
"Ah, ayolah. Panggil nama saja," pinta Adler.
"Adler."
"Hm, terdengar menyenangkan di telingaku." Adler tertawa kecil. Sungguh, apa pun yang dilakukan oleh Genevieve mampu membuat Adler merasa nyaman.
Obrolan demi obrolan mengalir lancar. Genevieve tak tampak gugup atau pun kurang fokus seperti tadi. Diam-diam Adler merasa kalau inilah saat yang tepat.
"Aku tau ini mungkin terlalu cepat, Genevieve. Tapi kita sudah kenal selama tiga bulan dan sering berinteraksi. Sejujurnya, dalam waktu tiga bulan ini, aku sendiri tidak bisa menepis kenyataan," kata Adler sambil menatap mata Genevieve dalam-dalam.
Jantung Genevieve mendadak berdetak lebih kencang. Hatinya sibuk menebak apa kelanjutan dari ucapan Adler.
"Genevieve, maukah kau menjadi milikku?" Adler menyodorkan kotak beludru berwarna merah yang dikeluarkan dari saku jasnya.
Tubuh Genevieve mengejang menatap kotak itu. Jangankan kekasih, memiliki teman dekat laki-laki saja baru Adler yang pertama.
"Tuan ... eh, Adler. Ini ... ini terlalu cepat dan tidak mungkin." Genevieve akhirnya bisa menjawab setelah sekian menit hanya memandang ke arah kotak beludru cantik itu.
Adler hanya tersenyum melihat keterkejutan Genevieve. Karena seolah-olah sudah mempersiapkan mental sebelumnya, ia tak kaget menerima jawaban Genevieve.
Adler menarik kotak beludru itu lalu membuka isinya. Genevieve menahan napas. Kotak itu berisi gelang yang sangat indah.
"Kenapa Anda membuang banyak uang hari ini, Tuan Adler?" Genevieve menyayangkan sikap boros Adler.
Bagi gadis pekerja sepertinya, mengumpulkan uang itu perlu usaha lebih. Terlalu sayang untuk dibuang-buang hanya untuk sebuah selebrasi berjudul ulang tahun. Terlebih jika sudah berusia dewasa. Kecuali ketika berusia sepantaran Liesel di mana acara ulang tahun perlu diperingati.
"Ini hari khusus bagiku, Genevieve. Dan aku ingin melewati masa pertambahan usia ini bersama orang yang spesial." Adler mendorong kembali kotak itu ke arah Genevieve. "Orang itu adalah kau."
Genevieve hendak menjawab dengan penolakan lagi, tetapi urung karena ponselnya berdering. Beatrice. Genevieve cemas, takut terjadi sesuatu pada putri kecilnya.
"Maaf, Tuan Adler. Saya harus pulang. Sekarang."