Elma mendengus. "Ya. Selalu begini. Aku tak pernah menjadi prioritas utama bagimu. Kau begitu mencintai pekerjaanmu."
"Yah, kau sudah tahu dari awal bahwa aku adalah seorang workaholic," kata Adler santai. Ia menarik tubuhnya sedikit menjauh dari Elma dan menepuk bahu gadis itu. "Pulanglah. Aku masih banyak urusan. Nanti aku hubungi lagi."
Elma masih menggelayut manja. Wajahnya tampak sedih, "Hmm, kau selalu begitu. Aku mendapat undangan peluncuran koleksi tas terbaru Miruka. Ini adalah undangan kesekian yang aku harus tolak karena aku malu datang sendirian terus-menerus padahal aku memiliki seorang tunangan. Kau tahu majalah gosip minggu lalu membuat artikel bahwa kita sudah putus."
Sepasang mata indahnya mulai digenangi air mata, "Kau tahu apa yang mereka tulis? Katanya pensiunan model itu pasti sudah dibuang oleh kekasihnya dan diganti dengan daun muda. Aku… dibilang daun tua yang dibuang! Ini pasti karena aku masih belum juga menjadi Nyonya Adler Wirtz setelah kita bertunangan selama dua tahun."
Adler menatap Elma agak lama. Lagi-lagi ia diingatkan bahwa ini semua adalah kesalahannya. Ialah yang waktu itu meminta Elma menikah dengannya tetapi hingga kini ia tidak menepati janjinya.
Pria itu tersenyum lemah dan kemudian berkata, "Maafkan aku. Bagaimana kalau kau tetap datang ke acaramu itu? Kau beli saja apa yang kau inginkan dari koleksi mereka. Kalau ada yang menggosipkan, tunjukkan saja kartu kredit atas nama Adler Wirtz yang membayar semua yang kau beli. Kau masih memegang kartuku, kan?"
Ia memberi kartu itu kepada Elma tahun lalu saat mereka sedang berlibur di Belize dan Elma yang mengurusi semua tetek-bengek selama di sana.
Adler yang tidak suka repot membiarkan Elma menggunakan salah satu kartunya untuk berbagai keperluan. Menurutnya lebih baik seperti itu, karena ia bisa melihat semua transaksi yang dilakukan.
Saat ia hendak meminta kembali kartu itu, ibu tiri dan neneknya mengatakan bahwa sudah sewajarnya jika ia membiarkan calon istrinya memegang kartu ATM atau kartu kreditnya. Karena tidak mau ribut, Adler mengiyakan saja. Toh ia bisa mengatur limit di kartu itu agar Elma tidak berfoya-foya tanpa batas.
Dari berbagai transaksi yang diamatinya selama setahun terakhir ini, Elma banyak menghabiskan uangnya untuk ke salon, butik, dan hang out bersama teman-temannya di restoran kelas atas. Tidak ada yang istimewa.
Elma mengangkat sebelah alisnya saat mendengar kata-kata Adler. "Kau mau menyuapku dengan tas Miruka."
Adler mengangkat bahu dan berkata sekenanya. "Kalau kau tidak mau, tidak apa-apa."
Elma masih cemberut. "Sudah dua tahun, Ad. Mau sampai kapan kau menggantungku seperti ini?"
"Aku memang benar-benar sibuk, Elma," kata Adler lagi.
Elma mendengus. "Baiklah. Tapi aku mau dua tas Miruka. Limit di kartu kreditnya tidak cukup."
Adler menahan napas saat mendengar kata-kata Elma. Ya Tuhan. Limit di kartu itu adalah 30.000 euro, tetapi Elma mau lebih?
"Dua tahun, Ad…" kata Elma lagi. Ia cemberut tetapi ekspresinya justru membuatnya terlihat semakin menggemaskan. Jika saja Adler mencintainya, pria itu akan terpesona dan menariknya untuk dicium mesra. Sayangnya Adler hanya melihat Elma sebagai kekasih pura-pura.
"Baiklah," Adler akhirnya menyerah. "Aku akan mentransfer 20.000 euro ke kartu itu. Kau bisa menggunakannya."
Elma masih berpura-pura mengambek. Ia mendekati Adler dan meremas lengannya. "Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi sendiri ke acara Miruka dan menghibur diri."
Ia hendak mencium bibir Adler, tetapi pria itu menggerakkan kepalanya sedikit di saat terakhir hingga bibir Elma hanya menyentuh pipinya.
"Sampai jumpa, calon suami tersayang," kata Elma dengan suasana hati yang mulai membaik. Ia menepuk lengan Adler dan berjalan ke arah mobilnya untuk pergi.
Adler hanya terdiam di tempatnya dan merenungi hubungannya dengan Elma.
Sudah dua tahun.
Elma benar. Ia tidak boleh terus membiarkan hubungan tanpa cinta ini menjadi semakin dalam dan berakar, terutama di sisi Elma. Gadis itu berhak untuk bersama dengan laki-laki yang mencintainya.
Pikirannya kemudian melayang kepada gadis cantik yang tadi menjatuhkan belanjaannya karena menabrak tubuhnya.
Ia tidak tahu kenapa, saat ia membayangkan wajah cantik Genevieve, rasanya hatinya dipenuhi bunga-bunga.
Perasaan apa ini?
Adler merasa heran sendiri. Ia adalah seorang workaholic yang tidak peduli kepada wanita. Apalagi setelah peristiwa empat tahun lalu…
***
Sudah satu minggu sejak kepindahan mereka, tetapi Genevieve belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. Setiap hari, uang yang disisihkannya dari hasil berjualan kue Lebkuchen, semakin menipis.
Genevieve tidak mungkin mengeluh kepada Beatrice. Gadis itu juga sedang sibuk dengan kuliahnya. Terkadang Beatrice hanya bisa mampir sehabis makan malam, sekadar untuk menyapa Liesel saja.
"Ve, buka pintunya!" Beatrice mengetuk pintu dengan tak sabar.
Genevieve yang sedang menyuapi Liesel mendadak beranjak untuk membukakan pintu. "Ada apa? Kenapa kau tampak panik?"
Beatrice sibuk mengatur napas. "Aku ... hhh ... melihat ada lowongan pekerjaan di swalayan itu. Cepat, kau harus bergegas ke sana."
Genevieve langsung melompat kegirangan. Harapan untuk mendapatkan penghasilan, segera memenuhi kepalanya.
"Apa kau tidak ke kampus?" Genevieve mendadak menyadari sesuatu.
"Tidak. Dosen mendadak membatalkan mata kuliah hari ini. Aku sempat mampir ke supermarket itu dan melihat lowongan pekerjaan."
"Oke. Aku akan segera bersiap setelah selesai menyuapi Lily."
"Biar aku saja. Kau harus bergegas. Jangan sampai peluang itu disambar oleh orang lain."
Genevieve ikut panik setelah mendengar ucapan sahabatnya. "Tapi ... aku tak punya pakaian yang layak untuk melamar pekerjaan."
Beatrice berpikir sejenak. "Tunggulah di sini. Akan aku pinjamkan."
***
Setengah jam kemudian, Genevieve sudah berada di ruangan pihak HRD. Jika bukan karena Beatrice, tidak mungkin dia bisa tampil percaya diri seperti saat ini. Gadis baik hati itu bahkan memoles wajah Genevieve dengan make up tipis tetapi memukau.
"Baik, Nona Genevieve. Sudah cukup semua informasi yang perlu saya ketahui. Kapan Anda bisa mulai bekerja?"
Genevieve terperangah. Dia tak percaya kalau takdir Tuhan seolah-olah berpihak kali ini. Gadis itu bahkan mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan bahwa ini bukan guyonan.
"Kenapa?"
"Tidak, Pak. Apa saya bisa mulai bekerja besok?" Genevieve tersenyum.
"Baik. Kamu diterima. Selamat bergabung di Rossie Supermarket." HRD itu mengulurkan tangan.
Genevieve menyambut uluran tangan itu dengan senyum terkembang sempurna. Mendadak, HRD itu seperti tersihir pesona kecantikan gadis di hadapan. Namun, sikap profesionalitas harus tetap ditonjolkan oleh lelaki itu.
Genevieve pamit. Hatinya benar-benar dipenuhi rasa bahagia. Bagaimana tidak, ini kali pertama dia mendapatkan pekerjaan dengan gaji layak. Genevieve merasa jalan hidupnya akan lebih baik setelah ini.
Adler Wirtz sedang melakukan kunjungan rutin ke cabang supermarket milik keluarganya. Tentu saja para karyawan tidak mengetahui tentang status Adler. Mereka hanya mengira ia hanyalah pengunjung biasa.
Genevieve dan Adler berpapasan di pintu masuk swalayan. Gadis itu tersenyum lebar. Bukan karena merasa mengenal Adler, tetapi karena hati Genevieve sedang bahagia. Hanya Adler yang tertegun melihat senyuman itu.
Mendadak Adler berupaya keras untuk mengingat di mana ia pernah melihat gadis yang sudah berjalan menjauh itu.
"Ah, ya. Dia gadis yang dulu pernah bertabrakan denganku di pintu samping swalayan." Adler mengulum senyum.