"Ibu, aku mohon tolonglah!" Pintaku dengan sangat. Aku harap setidaknya seorang ibu bisa memahami kesulitan anaknya.
"Tidak! tidak akan! Kenapa kau tidak mengerti juga? Jika kau merasa kesulitan, pulang saja! Untuk apa kau bertahan segala? Dasar kau ini, selalu saja menyusahkan orangtua!" Ucapnya marah-marah dan langsung mengakhiri panggilan.
"Ibu, tunggu jangan dimatikan dulu! Ibu, tolonglah!"
Tit...tit...tit...
Panggilan terputus. Sial, tak kusangka ibu akan sekejam ini padaku. Aku terdiam selama lima detik, duduk sendirian di halte bus dengan wajah menyedihkan. Terus bertanya-tanya dalam hati, apakah begini akhir dalam tekad kuatku saat itu? dengan percaya dirinya aku meninggalkan rumah dan berpikir bahwa aku bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus di New York dan menjadi orang kaya.
Apa yang sebenarnya aku pikirkan? Memangnya siapa diriku ini bisa seyakin itu pada kemampuanku sendiri? Sial, hidupku benar-benar sial. Baru tiga hari di New York, aku sudah menjadi gelandangan.
"Sudah jam dua siang ya? Ah... laparnya! Belum makan sejak pagi, bagaimana ini?" Gumamku. Aku yakin orang-orang yang berlalu lalang di halte terus memandangiku yang duduk selama berjam-jam di halte sambil membawa koper.
Dengan deg-degan, aku mencoba memastikan berapa sisa uang yang aku punya di dalam dompet dan hasilnya, "Tidak...!" Teriakku meratapi seberapa miskinnya diriku ini.
"Hanya tersisa 30 Dollar, bagaimana caranya aku bertahan dengan uang sesedikit ini? Dan kenapa tidak ada satu lamaran kerjaku yang diterima? Oh Tuhan tolonglah hambamu ini!"
"Hei, kau baik-baik saja? Apa kau baru saja dirampok?" Tanya seorang wanita tua yang menatapku dengan iba. Aku tersenyum pahit, aku tidak mungkin mengatakan padanya kalau aku tidak punya uang untuk menyewa hotel atau apartemen dengan 30 Dollar
"Ah, tidak! Saya baik-baik saja!" Ucapku sambil tersenyum kikuk.
"Syukurlah, aku pikir kau baru saja dirampok! karena dari tadi kau duduk di sini dan gelisah!" Wanita tua itu tersenyum lega. Wajahnya sangat lembut, ia mengatakan bahwa dia melihatku duduk di halte ini dengan wajah gelisah? Itu artinya, dia sudah memperhatikanku sejak aku duduk di sini?
"Wajahnya mirip dengan nenek!" batinku. Wanita tua ini mengingatkanku pada nenekku yang meninggal saat aku masih sekolah menengah.
"Boleh aku duduk di sampingmu?"
"Tentu, silahkan!" Ucapku sembari bergeser dan memberinya tempat duduk. Ia duduk perlahan dengan sedikit kesulitan karena menggunakan tongkat. Melihatnya yang sepertinya membutuhkan bantuan, aku langsung membantunya.
"Siapa namamu?"
"S-saya? Nama saya Jennifer!"
"Jennifer ya? Apa kau seorang pelancong?"
"Ehm...tidak juga! Saya mencari pekerjaan di sini, saya datang dari luar kota!"
"Begitu ya? Dari kota apa?"
"Woodstock di Vermont."
"Woodstock ya? Dulu, mendiang suamiku juga berasal dari kota itu. Itu kota yang sangat bagus!" Ucapnya sambil tersenyum.
Entah mengapa aku merasa pembicaraan ini agak sedikit panjang. Aku masih mengingat bagaimana nenekku dulu selalu bercerita panjang lebar padaku, satu-satunya cucunya yang mau mendengarkan kisah masa lalunya atau bisa dibilang, hanya aku satu-satunya cucu yang mempunyai banyak waktu luang.
"Tapi, New York jauh lebih bagus!"
"Ya, mungkin nilainya berbeda-beda. Tapi, setiap tempat pasti memiliki nilai sendiri!"
"Benar! Kalau begitu, apa aku juga boleh tahu nama Nenek?"
"Maria, namaku Mariana Logunova."
"Nenek Maria ya? Apa anda menunggu seseorang, Nek?"
"Tidak! aku berbelanja di supermarket seberang jalan itu dan melihatmu duduk di sini sejak aku masuk ke supermarket itu tiga jam yang lalu. Jadi aku pikir, mungkin kau sedang ada masalah dan tidak ada yang membantumu!"
Jujur saja, aku merasa sangat terharu. Bagaimana bisa orang lain lebih merasa iba dari pada keluargaku sendiri? dunia ini memang aneh. Setelah aku sadari, Nenek Maria membawa satu bungkusan berwarna putih dan sepertinya diisi dengan barang-barang rumah tangga.
Nenek membuka bungkusan plastik itu dan mengeluarkan sebungkus roti, sebotol jus jeruk dan dua buah apel. Ia memberikannya padaku.
"Ini untukmu, kau bisa memakannya!"
"T-terima kasih-"
"Tadi kau bilang sedang mencari pekerjaan, bukan? aku dengar di supermarket itu sedang membuka lowongan pekerjaan sebagai pegawai toko. Kau bisa mencobanya!"
"B-benarkah?"
"Benar!"
"Wah...akhirnya, terima kasih banyak, Nenek!"
"Terima kasih kembali!"
Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan halte, Nenek Maria langsung bangkit saat pria paruh baya berseragam keluar dari mobil itu dan membuka pintu.
"Nyonya, maaf lama menunggu!" Ujar pria itu.
Aku tercengang saat pria itu memanggil Nenek Maria dengan sebutan 'Nyonya' sepertinya Nenek bukan orang sembarangan. Aku membantu Nenek masuk ke dalam mobil dan menyadari satu hal, resleting tasnya terbuka dan aku bisa melihat sebuah dompet berwarna coklat.
"Bagaimana ini? apa aku harus mengambilnya? jika ketahuan bagaimana?" batinku gelisah saat keinginan kuat untuk bertahan hidup membumbung tinggi di udara. Rasanya aku benar-benar tidak punya pilihan.
"Terima kasih, kalau begitu sampai jumpa?" Ucap Nenek sembari melambaikan tangannya sebelum mobil itu melaju.
"Iya, sampai jumpa, Nenek Maria? hati-hati di jalan!"
"Semoga berhasil ya?" Ujarnya saat mobil mulai bergerak maju. Aku terdiam membisu.
"Oh Tuhan, maafkan aku! jika aku sudah mendapatkan pekerjaan dan banyak uang, aku pasti akan mengembalikannya! di dalam dompet ini pasti ada kartu identitasnya'kan?"
Aku langsung menyembunyikan dompet itu di dalam tasku sebelum ada yang menyadarinya, aku harap di tempat ini tidak ada kamera pengintai, kalau tidak, tamatlah riwayatku.
***
"Aku di depan pintu kamarmu? kau bisa keluar sekarang tidak?"
"Baiklah, tunggu sebentar!"
Jimmy keluar dari pintu asrama dengan wajah sinis, sudah kuduga dia akan melihatku seperti itu. Aku tersenyum seperti orang bodoh yang berusaha menarik simpati adikku yang masih kuliah.
"Hai Jimmy, apa kabar? Sepertinya kau sehat ya?"
"Mau apa kau datang kesini?"
"Hei, jangan bicara seperti itu pada kakakmu yang sudah jauh-jauh datang untuk melihat keadaanmu! Ehm... kau tidak mengajakku masuk ke dalam agar kita bisa mengobrol dengan santai?"
"Kenapa kau membawa koper? Kau tinggal di mana?"
"A-aku aku-"
"Aku tahu! Kau pasti menggelandang, iya'kan?"
"Jangan bicara sembarangan! Siapa yang kau sebut gelandangan?"
"Kalau bukan gelandangan, apa lagi? Siapa orang waras yang membawa koper kemana-mana seperti itu?"
"Baiklah, kau benar! Tapi mau bagaimana lagi? Mencari pekerjaan'kan sulit. Apalagi aku hanya lulusan sekolah menengah!"
"Itu salahmu sendiri! Menyia-nyiakan banyak kesempatan dalam hidupmu! sekarang kau tahu rasanya'kan?"
"Sudahlah, jangan menasehatiku! Aku lebih tua tujuh tahun darimu!"
"Mau setua apapun, kalau sikapmu masih kekanak-kanakan seperti ini kau tidak akan sukses! Jadi, menyerah saja dan pulang kampung sana!"
"Jika aku pulang sekarang, apa yang akan terjadi? Aku baru di New York tiga hari dan menyerah begitu saja? Apa yang akan di katakan orang-orang tentangku?"
"Itu salahmu sendiri! Lagi pula semua orang di kota itu sudah tahu orang seperti apa kau ini? Jadi, kenapa baru sekarang memikirkan penilaian orang?"
"Ah sudahlah! Aku tidak mau mendengarnya darimu! Pinjamkan aku uang!" Ucapku sambil mengadahkan tangan.
"Dasar pengemis! Datang ke tempat adiknya yang masih kuliah untuk meminta uang. Kapan kau bisa memberiku uang saku?"
"Nanti saat aku sudah mendapat pekerjaan, aku pasti akan memberimu uang saku. Sekarang pinjamkan aku uang 2000 Dollar, aku mau menyewa apartemen!"
"Apa? 2000 Dollar? Kau sudah gila ya? Mana ada aku uang sebanyak itu! Dasar sinting!"
"Kau mendapat beasiswa dari universitas'kan? Pasti kau mendapat uang saku juga! Ayah dan Ibu juga pasti mengirimmu uang saku, aku yakin itu! jadi, tolong pinjamkan 2000 Dollar!"
"Aku tidak punya uang sebanyak itu! Pergi sana, jangan ganggu aku!" Ucap Jimmy sambil melangkah pergi.
"T-tunggu! Pinjamkan aku uang!" Pintaku sambil memeluk punggung Jimmy dan menahannya agar tidak pergi sebelum memberikanku uang.
"Tidak! Lepaskan aku! Jika kau seperti ini, aku akan berteriak!"
"Teriaklah jika kau berani! Aku akan memukulmu!"
"Dasar wanita gila! Pergilah...!" Teriaknya sambil berusaha melepaskan pelukanku. Tentu saja aku akan kalah dari adikku ini adalah laki-laki yang tenaganya lebih besar. Jimmy mendorongmu menjauh dan langsung masuk ke dalam kamarnya.
"Jimmy...! Jimmy...! Aku mohon padamu! Pinjamkan aku uang! Jiika tidak diberikan aku akan menunggu di depan pintu! Jimmy...!" Teriakku sambil memukul-mukul pintu dengan kuat.
Sementara itu, di dalam kamarnya, Jimmy terlihat sangat tertekan melihat tingkah kakak perempuannya yang gila. Conny, teman sekamarnya bingung karena teriakan wanita yang terus memanggil nama Jimmy seperti penagih hutang.
"Jim, siapa yang berteriak di depan pintu?"
"Orang gila! Abaikan saja!" Ucapnya ketus.
Meskipun kesal, ia juga merasa kasihan. Karena mau bagaimana pun perempuan yang ia sebut gila itu adalah saudara kandungnya. Dengan berat hati, Jimmy mengeluarkan uang dari brangkas pribadinya dan membuka pintu.
"Hei, orang gila! Kau sudah membuat orang merasa terganggu! Ambil ini dan pergilah dari sini!" Ucapnya sembari memberikanku sejumlah uang.
"300, 400, 500, 600, 700, 700 Dollar? hanya 700 Dollar? Mana cukup?" Ucapku protes.
"Aku hanya punya segitu! Kalau tidak mau, kembalikan uangnya!"
"Ya sudahlah, kalau begitu aku pergi dulu!"
"Hei, jangan lupa kembalikan uangnya!"
"Iya, berisik!" Ucapku sambil melangkah pergi dan menarik koperku.
"Sial! Kenapa aku harus punya saudara seperti dia?"
***