Aku panik, berusaha mencari tempat bersembunyi. Entah karena sudah terbiasa bersembunyi setiap kali hampir terpergok mencuri, itu membuat reflekku sangat bagus. Karena itu dari pada bersembunyi, alangkah lebih baiknya jika aku bersikap wajar seolah tidak melakukan perbuatan tercela seperti mengintip pria yang sedang mandi.
"Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan? Aku bahkan hampir mengintipnya! Tapi setidaknya biarkan aku melihatnya sedikit saja!" Batinku. Tanganku membuka kulkas yang di penuhi bahan makanan yang tersusun rapi. Bahkan botol-botol jus dan susu juga disusun persis seperti di supermarket.
"Pria ini pasti tipe orang yang rapi dan disiplin, gawat juga!" Kuambil sekaleng jus dan kuminum tepat saat pintu itu terbuka dan memunculkan seorang pria dengan tubuh sexy bertelanjang dada, rambut yang setengah basah dan handuk putih yang terlilit di pinggulnya.
Mataku melirik pemandangan yang begitu memanjakan mata dan membuat rahim para wanita terasa hangat. Sungguh indah sampai bisa kurasakan ada darah yang keluar dari hidungku.
"Oh wow!" Gumamku keceplosan. "Uhuk!" Aku tersedak saat dia menatapku dingin, namun justru membuatnya terlihat semakin panas.
Dia hanya menatapku sekilas, kemudian langsung pergi ke kamarnya. Padahal aku berharap dia mengatakan sesuatu walau sekedar berbasa-basi agar aku bisa sedikit lebih lama melihat otot perutnya yang sixpack itu.
"Agh...jantungku! Jantungku! Berbahaya sekali untuk kesehatan jantung! Agh... kenapa aku jadi seperti om om cabul?" Teriakku frustasi. Rasanya, iblis dan malaikat dalam diriku selalu bertempur setiap waktu.
Aku masuk ke dalam kamar mandi yang baru saja Jacob pakai dan aroma dari sabun mandinya masih tercium, aroma lemon dan daun mint yang segar. Tiba-tiba, jantungku berdegup kencang, pikiran kotor mulai masuk ke dalam otakku.
"Bagaimana jika seandainya kami mandi bersama dan berendam di dalam bak mandi, p-pasti pasti akan, agh... tidak! Kenapa aku memikirkan hal seperti itu lagi? Bagaimana ini? Tapi seru juga!"
Aku membuka lemari, mengambil perlengkapan mandi milik Jacob seolah itu adalah milikku. Ya, karena kami tinggal bersama, jadi tidak ada salahnya jika aku memakai barang-barangnya'kan?
"Love me like you do! Love me like you do! Touch me like you do-" Aku bersenandung gembira seperti kebiasaanku saat mandi. Karena saat ini suasana hatiku sedang baik, lagu ini sangat mewakilkan perasaanku.
"Jangan-jangan, aku sedang terjebak dalam cerita romantis seperti di film-film itu? Seorang gadis lemah tak berdaya dan diusur keluarganya dan harus bertahan hidup sendirian. Suatu saat bertemu dengan seorang pria tampan dan kaya yang memintanya menjadi istri. Apa benar akan jadi seperti itu? Tapi, apa pekerjaan Jacob? Jika dia orang kaya, seharusnya dia tinggal di penthouse atau mansion mewah'kan? Mana mungkin tinggal di apartemen 6000 Dollar perbulan! Atau dia hanya pria biasa yang kebetulan berwajah tampan? Kalau begitu, pertama-tama yang harus aku lakukan adalah mencari tahu apa pekerjaannya!"
***
"Lapar! Apa ada yang bisa di makan?"
Karena merasa lapar, aku keluar untuk mencari sesuatu yang bisa di makan di dapur. Aku membuka kulkas dan mengambil apel, pisang dan susu. Suara pintu terbuka, sepertinya Jacob juga ingin makan sesuatu.
"Yes, mungkin akhirnya kami bisa mengobrol lebih dekat!" Batinku.
Jacob menatapku, aku langsung tersenyum dan yang membuatku sedikit kesal, dia sama sekali tidak membalas senyumanku dan malah menatap dingin. Apa dia masih mengingat perbuatanku yang kentut sembarangan di dalam lift?
"Boleh aku mengatakan sesuatu?" Tanyanya.
"Ah, tentu saja! Kau ingin mengatakan apa?"
"Kau lihat di situ ada tempat sampah, bukan?"
"Ya, aku lihat! Kenapa?"
"Tadi kau meminum jus dan meninggalkan kalengnya begitu saja di atas meja! Kenapa kau tidak langsung membuangnya ke tempat sampah?"
"Oh itu! Maaf, aku lupa! Maaf ya?"
"Dan satu lagi!" Ucapnya sembari menghela nafas.
"Jangan mengambil makanan di kulkas sembarangan! Kecuali jika itu adalah milikmu, kau mengerti?" Ucapnya sambil berlalu pergi setelah mengambil segelas air.
Aku terdiam, mencoba mencerna kalimat yang baru saja dia ucapkan. Entah perasaanku saja atau tidak, sepertinya dia baru saja menegurku?
"Ah... dasar pelit! Padahal aku hanya makan sedikit saja! Pasti dia bukan pria kaya, pria kaya tidak mungkin kikir seperti itu, apalagi jika wanita cantik sepertiku yang memintanya!"
Suasana hatiku jadi buruk, padahal aku sudah berkhayal terlalu jauh, sekarang hancur seketika. Awalnya aku pikir dia pendiam dan dingin karena masih asing denganku, ternyata memang sifatnya saja yang buruk.
Tok...tok...tok...
"Siapa itu? Pasti itu Jacob. Tapi, kenapa dia mengetuk pintu kamarku? Atau jangan-jangan dia memintaku untuk melakukan itu dengannya? Agh... meskipun aku mau, tapi bukankah itu terlalu cepat?" Gumamku yang langsung berpikir terlalu jauh.
Tok...tok...tok...
"Sebentar!" Sahutku sembari membuka pintu setelah merapikan rambutku.
Jacob berdiri di depan pintu depan raut wajah yang lebih dingin dari sebelumnya. Rasanya tidak mungkin jika dia ingin merayuku dengan wajah seperti itu. Tapi, apa lagi yang aku lakukan? Sepertinya aku tidak melakukan apapun, atau dia tahu kalau tadi aku mencoba mengintipnya mandi?
"Ada apa? Kau butuh sesuatu?"
"Kau memakai sabun dan sampo milikku?"
"Ah...iya, maafkan aku! Ini sudah malam, jadi aku tidak sempat untuk membelinya. Aku benar-benar minta maaf!"
"Dan kau juga memakai sikat gigiku?"
"I-itu aku-"
"Ah sial! Bagaimana ini? Aku lupa meletakkan sikat giginya di tempat semula!" Teriaku dalam hati. Aku gelisah, rasanya aku sedang tertangkap basah melakukan kejahatan.
"Kau, apa kau tidak membawa apa-apa sampai sikat gigi orang lain juga kau gunakan?" Jacob mulai marah, meskipun dia mencoba untuk tetap bersabar. Kalau itu orang lain, aku yakin akan langsung marah-marah dan memaki diriku.
"Aku benar-benar minta maaf! Aku akan mengganti sikat gigimu besok, aku akan membeli yang baru!"
"Ya sudahlah! Kau tidak perlu menggantinya. Aku hanya ingin memberitahumu, jika kau ingin meminjam atau memakan makananku, kau harus meminta izin terlebih dahulu. Bukankah seharusnya begitu? Aku yakin, kau pasti mengetahuinya!"
"Aku minta maaf!"
"Maaf sudah mengganggu tidurmu! Selamat malam?" Jacob melangkah pergi setelah memberi peringatan seolah aku ini adalah bocah yang harus diberitahu. Tapi aku cukup lega karena ternyata dia tidak semarah yang aku pikirkan.
"Capek sekali! Baru tiga hari di New York, tubuh dan jiwaku sudah lelah. Aku mau tidur sekarang!"
***
Entah kenapa hari ini aku merasa kepanasan, padahal seharusnya apartemen ini sangat sejuk. Mungkin karena faktor ada pria dengan tubuh yang sangat panas tinggal bersamaku. Rasanya seperti mimpi, mimpi yang bahkan tak pernah muncul disaat aku tertidur.
Jika ada yang bertanya padaku, apa kegiatan yang paling aku sukai? aku pasti akan menjawab mandi. Untuk wanita yang sembrono dan pemalas sepertiku seharusnya mandi adalah kegiatan yang jarang aku lakukan. Tapi tidak untukku.
Ketika menginap di rumah teman, hal yang pertama aku lihat adalah kamar mandinya dan jenis sabun apa yang dia gunakan. Setelah itu, aku pasti akan mengambil giliran mandi paling terakhir agar aku bisa berlama-lama di dalam bak mandi.
"Mandi memang yang paling menyenangkan!" Aku langsung membuka satu persatu pakaianku di depan cermin kamar mandi sambil menatap diriku dan tubuhku yang menurutku cukup menarik.
"Padahal ukuranku Cup E, kenapa waktu itu Jacob tidak tertarik ya? Apa menurutnya kurang besar? Atau malah dia tidak suka yang besar? Atau jangan-jangan dia tidak suka wanita? Aneh saja ada pria yang bersikap setenang dia saat tinggal bersama wanita seseksi diriku!" Aku meremas-remas milikku sendiri untuk memastikannya.
Aku pikir, Jacob benar-benar rugi jika mengabaikanku. Ini bahk sudah tiga hari sejak kami memutuskan untuk berbagi kamar. Tapi dia tetap bersikap dingin padaku.
Aku memutar keran shower sampai airnya keluar dan membasahi tubuhku. "Benar, mandi memang yang terbaik dibandingkan semuanya!"
Tok...tok...tok...
"Iya! siapa?" Seruku. Aku terkejut saat kulihat bayangan seseorang dari balik pintu kamar mandi. Meski seharusnya aku sudah tahu siapa yang mengetuk, namun tetap saja aku tanyakan.
"Ini aku, Jacob!" Sahutnya dari balik pintu. Jujur saja, dari pada merasa senang karena dia mengetuk pintu kamarku, aku justru merasa khawatir. Otakku terus berpikir, apa lagi kesalahan yang aku perbuat sampai dia mendatangiku disaat aku baru selesai mandi seperti ini.
"Mau apa lagi dia?" Gumamku. Aku mengambil handuk dan melilit tubuhku. Membuka pintu sedikit agar aku bisa melihat wajahnya dari celah-celah.
"Ada apa? Apa aku melakukan kesalahan la-" Pertanyaanku terhenti saat kulihat Jacob berdiri di depan pintu depan hanya mengenakan handuk putih yang menutupi bagian sensitifnya. Sial, dia terlihat sangat tampan. Tapi, mau apa dia ke tempatku dengan penampilan seperti itu?
"Bisa kau buka pintunya?"
"T-tapi, aku sedang mandi! Bisa kau menunggu sampai aku selesai?"
"Aku juga ingin mandi! Bagaimana kalau kita mandi bersama?"
"Apa? M-mandi mandi- " Ada gemuruh di otakku yang membuat mulutku tak mampir bersuara. Apa yang sebenarnya dia pikirkan sampai mengajakku mandi bersama?
"Jangan meminta hal memalukan seperti itu dengan wajah setenang itu dong!" Batinku. Wajahku memerah dan tubuhku yang basah justru merasa kepanasan.
"Buka pintunya!" Pintanya dengan wajah datar yang justru membuat dia terlihat semakin menggairahkan.
"Sial! Demi apa? Dia panas sekali! Bagaimana ini? Jika aku biarkan dia mandi bersamaku, maka hal seperti itu bisa terjadi'kan? T-tapi, di kamar mandi? Bagaimana rasanya ya? Apakah rasanya enak?" Otakku yang mesum ini terus berpikir kotor secara otomatis dan tak bisa aku kendalikan.
"T-tapi, kita-"
"Tidak apa-apa! Percayalah padaku!"
"Bagaimana aku percaya padamu, bodoh? Kau itu pria sedangkan aku wanita!" Teriakku dalam hati.
Karena tak sabar menunggu reaksiku, Jacob mendorong pintu yang memang tidak aku tahan dengan tanganku. Dia masuk dan langsung menutup pintunya. Aku terdiam lemas, mengamati tubuhnya dan gerakannya. Terutama saat tangannya mulai menarik handuk yang melilit pinggulnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, meskipun sebenarnya aku suka. Aku terpaksa melihat pemandangan itu.
"Hei, apa yang kau lakukan? Jangan buka handukmu di depanku!"
"Kenapa?"
"Kau ini sudah gila ya? Bagaimana bisa kau- wow, besar sekali!"
"Apanya yang besar? Kau melihat kemana?"
"I-itu itu punyamu, maksudku punyamu-" Aku merasa darah segar mengucur dari hidungku.
"Kenapa dengan punyaku?" Tanya Jacob. Dia melangkah mendekatku, membuat mimisanku bertambah parah.
"J-jangan mendekat! Itu punyamu-"
"Kau bicara apa? Bukankah kau sangat menginginkannya? Hum?" Jacob mendorong tubuhku hingga punggungku menempel ke dinding. Kedua tangannya yang kekar langsung mendekap tubuhku. Dia benar-benar sudah gila, namun entah mengapa aku menyukai kegilaannya meski aku tidak bisa mengakuinya.
"Jacob, bukankah terlalu cepat untuk itu? Kita bahkan belum berciuman, jadi-"
"Mau ciuman?" Bisiknya dengan lembut. Dia membuat jiwaku menggelora, dia sungguh sempurna.
"Aku mau!" Jawabku pelan. Wajahnya mulai mendekat dan semakin dekat hingga kurasakan bibirnya menyentuh bibirku.
Aku pikir, ini akan menjadi sekedar ciuman biasa. Tapi Jacob melakukan lebih, bahkan dia sangat agresif karena aku bisa merasakan tangannya mulai menarik handuk yang aku kenakan.
"Jacob, jangan buru-buru begitu! Seharusnya kita lakukan foreplay dulu, biarkan aku menikmati sentuhanmu, Jacob, Jack-"
Bruuukkk...
"Agh...sakit...!" Aku meringis saat kurasakan kepalaku terbentur lantai. Aku langsung membuka mata dan tersadar. Cahaya matahari masuk dari celah-celah kamar, itu membuatku terdiam seperti zombie.
"Sial! Ternyata hanya mimpi ya? Kenapa aku bangun disaat yang tidak tepat? Biarkan aku tidur lagi...!'
***