"B-b-be-berbagi kamar dengamu? Kau serius?" Tanyaku dengan wajah memerah dan hidung berkedut, bisa kurasakan ada aliran darah yang akan keluar dari lubang hidungku.
Pria itu menatapku bingung, dari tatapannya seolah mengatakan bahwa aku terlihat seperti orang mesum yang menjijikkan.
"Sial! Aku tidak bisa mengendalikan pikiranku! Aduh, kenapa aku berpikiran kotor?" Batinku. Sungguh, inilah salah satu alasan mengapa aku benci diriku yang mudah terlena dengan pria tampan.
"Kau baik-baik saja?"
"Ah... ya, aku baik-baik saja! Tapi apa kau yakin untuk berbagai apartemen denganku? Soalnya kita tidak saling mengenal dan-"
"Bukankah seharusnya aku yang bertanya begitu? Kau adalah seorang wanita, jadi aku pikir kau pasti mempertimbangkannya'kan?"
"Benar juga, tapi aku sedang berada dalam fase di mana aku sudah tidak bisa mempertimbangkan apapun. Kau tahu? Seperti hidup di alam liar, kau harus berjuang sekuat tenaga demi bisa bertahan hidup!" Ucapku dengan omong kosong yang memuakkan. Pria ini terdiam, mengamatiku dengan tatapan penuh tanda tanya.
Aku yakin dia sedang berpikir bahwa tidak seharusnya dia terlibat dengan dengan orang aneh sepertiku.
"Aku mengerti! Semua orang pasti pernah berada dalam masa-masa sulit, jadi-"
"Aku mau! M-maksudku, aku menerima tawaranmu!"
"Benarkah? Kau serius?"
"Ya, tentu aku serius! Apa wajahku kurang meyakinkan?"
"Baiklah, kalau begitu berapa uang yang kau punya?"
"U-uang yang aku punya?"
"Maksudku, jika kita akan menyewa apartemen itu bersama, itu artinya kita harus membayarnya bersama, bukan?"
"Ah...iya, kau benar! Kita akan membayarnya bersama, hahaha..." Aku terus tertawa bodoh, berusaha menahan kegugupan dan kebodohan di saat yang sama.
"Pria itu bilang, biaya sewanya 6000 Dollar perbulan. Aku akan memakai dua kamar jika kau tidak keberatan, jadi aku akan membayar 4000 dan sisanya kau, bagaimana?"
"J-jadi, aku harus membayar 2000 Dollar ya? Ehm... 2000 agak terlalu mahal. Apa aku bisa membayarnya lebih sedikit?"
"Baiklah, 1500 Dollar! kau bisa?"
"Lebih sedikit lagi!"
"Baiklah, begini saja! Kau punya uang berapa?" Tanya pria itu. Dia terlihat sangat tenang, benar-benar mengesankan.
"A-aku tidak punya!"
"Kau tidak punya uang?" Dia terkejut dan langsung menarik nafas. Memang benar, untuk apa kami tawar menawar jika pada akhirnya aku berkata bahwa aku tidak punya uang.
"B-bagaimana kalau-"
"Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu! Sampai jumpa?" Ujarnya sambil beranjak pergi.
Aku panik karena satu-satunya kesempatanku untuk memiliki tempat tinggal di kota ini akan segera pergi.
"T-tunggu sebentar!" Teriakku memanggilnya. Dia berhenti melangkah dan menoleh padaku.
Matanya, tatapan matanya yang sangat indah itu menembus ke jantungku. Bagaimana bisa aku melewati kesempatan emas untuk tinggal satu rumah dengan pria seperti dia?
"Kau perlu sesuatu?"
"B-begini, sebenarnya aku hanya punya 700 Dollar di dompetku dan aku sedang mencari pekerjaan di kota ini. Jika aku bisa meminta bantuanmu, apa aku bisa membayar 700 Dollar terlebih dahulu dan sisanya akan segera aku lunaskan. Itu, jika kau tidak keberatan!" Ucapku dengan lembut dan mata berkaca-kaca ala pemeran utama wanita dalam film romantis. Meski aku tidak suka melakukannya, tapi ini satu-satunya cara untuk membuatnya merasa iba.
"Tidak!" Jawaban singkat, padat dan menyakitkan. Kata itu keluar dari mulutnya sebelum dia kembali melangkah menuju pintu masuk apartemen dan meninggalkanku yang terpaku di tempatku.
"Sial! Apa tampangku kurang meyakinkan? Tapi menurutku wajahku cukup cantik. Kenapa dia tidak tergoda? Oh iya, aku melupakan sesuatu!" Batinku.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sesuatu yang sangat penting seperti ini? Wajah cantik saja tidak cukup untuk meluluhkan hati seorang pria dewasa. Aku harus menunjukkan sesuatu yang lebih fan aku percaya diri pada bagian yang satu ini.
Aku membua dua kancing kemeja bagian atas dengan membiarkan belahan dadaku terlihat. Bukankah pria suka melihatnya?
"T-tunggu dulu! Aku belum selesai bicara!" Ucapku tepat sebelum ia masuk ke dalam apartemen.
Aku bersiap-siap, menunggu dia menoleh agar aku bisa menunjukkannya.
"Yes, kali ini dia pasti tidak akan menolak!" Batinku.
"Ada apa? Bukankah aku sudah bilang tidak?"
"I-itu, aku mohon!" Pintaku. Berusaha keras berakting lembut dan menggoda.
Seperti dugaanku, dia mulai memperhatikan sesuatu yang berbeda dariku, dengan begini dia pasti akan tergoda dan membiarkan aku tinggal dengan gratis di apartemen.
"Tidak!"
"A-apa?"
"Oh iya, kancing kemejamu terbuka!" Ujarnya sambil berlalu pergi.
"T-tunggu...!"
Aku terdiam membisu, rasanya ada angin dingin yang berhembus di sekilingku. Terasa sangat dingin hingga membuatku gemetar.
"Hanya begitu reaksinya? Apa ukuranku kurang besar? Ah.... bagaimana ini?"
***
Sudah berapa jam aku di sini? Langit bahkan sudah gelap. Kemana aku harus pergi sekarang? Apa aku benar-benar harus pulang ke rumah besok?
"Aku tidak tidak mau pulang! Mereka semua pasti akan mengatakan kalau aku ini benar-benar tidak berguna!"
Aku berbicara pada diriku sendiri seperti orang gila. Duduk di anak tangga pintu masuk apartemen. Pria tadi juga tidak keluar, pasti akhirnya dia menyewa apartemen dengan tiga kamar.
"Dasar kejam! Apa salahnya dia membiarkan aku menumpang di salah satu kamar? Aku'kan berjanji alan membayarnya! Dasar laki-laki pelit! Dia pasti perhitungan dengan pacarnya. Tidak ada gunanya wajah tampan jika perhitungan dengan wanita!" Aku merutuk kesal. Beberapa orang yang melintas di depan apartemen memandangku sambil berbisik-bisik.
"Masa bodoh! Apa yang kalian lihat? Belum pernah bertemu orang gila ya?" Aku meneriaki mereka yang bahkan hanya berjalan tanpa melakukan apa-apa.
"Kenapa kau berteriak?" Tanya seseorang di belakangku. Aku menoleh dengan wajah masah, mataku menangkap pria yang menawarkan padaku untuk berbagai kamar dengannya empat jam yang lalu.
Dia memandangku, bukan dengan tatapan iba, justru dengan tatapan benci. Jika dia mencoba menghinaku juga, maka aku tidak akam segan melempar wajahnya dengan sepatu yang sudah seharian aku kenakan.
"Kau masih di sini? Apa kau masih belum mendapatkan kamar juga?"
"Aku'kan sudah bilang, aku tidak punya cukup uang. Jika aku menggunakan semua uangku yang tersisa, maka aku tidak akan makan selama berhari-hari. Orang sepertimu mana bisa mengerti!"
"Aku mengerti! Kau boleh memakai satu kamar dan kau bisa membayar saat kau punya uang. Bagaimana?"
"B-benarkah? Kau serius?"
"Ya, aku serius!"
"Wah... syukurlah! Terima kasih, Tuan! Terima kasih! Terima kasih!" Karena terlalu bahagia, aku sampai bersujud dan memeluk kakinya.
Perbuatanku langsung mendapat perhatian dari orang-orang yang disekitar apartemen. Tapi aku tidak peduli karena yang terpenting aku selamat.
"Hei, sudahlah hentikan! Aku akan ke minimarket sebentar, kau bisa tunggu di sini!"
"T-tunggu dulu, Tuan! Ehm... bagaimana kalau aku ikut? Aku bisa membantu membawa barang-barangmu!"
"Tidak usah! Itu tidak perlu!" Ucapnya menolak, berusaha menghindari kontak fisik denganku.
"Tidak apa-apa, Tuan! Aku akan..."
"Tidak! Dan berhentilah memanggilku Tuan. Kau mengerti?" Ujarnya menahan kesal.
"Ok, Tuan!"
***
Percuma saja menghindar dari pengawasanku. Meski dia menolak penawaranku untuk membantu membawakan barang belanjaannya, aku akan terus maju selama itu membuatku terlihat sebagai wanita yang baik di matanya.
"B-Boss, biar aku bawakan! Kau sepertinya kerepotan, hehe..." Maksud hati ingin menjadi partner yang super pengertian, rasanya aku lebih seseorang yang memiliki maksud tersembunyi di setiap kebaikannya.
"Tidak usah! Aku bisa membawa belanjaanku sendiri. Sebaiknya kau pikirkan kopermu yang kau tinggalkan di depan apartemen itu!" Ucapnya sambil berlalu dengan raut wajah dingin yang sulit untuk dimengerti.
"Ah... sial! Aku melupakan koperku!" Teriakku sambil berlari pontang penting menuju koperku yang malang.
Aku langsung membuka dan memeriksa isinya, tidak ada yang hilang, semuanya masih utuh seperti saat aku tinggalkan satu jam yang lalu.
"Ugh... lelahnya! Kakiku sakit sekali karena berjalan kaki terus sepanjang hari. Tapi tidak apa-apa, setidaknya aku punya kesempatan untuk bertahan hidup!" Gumamku dengan semangat berapi-api.
Aku menarik koperku sambil berlari menuju apartemen dan mengikuti pria itu. Dia masuk ke dalam lift, buru-buru aku menyusul sebelum pintu lift tertutup.
"Terima kasih! Huh, sebenarnya aku lelah sekali, tapi aku senang karena akhirnya aku dapat tempat tinggal!" Ujarku yang berusaha mengajaknya mengobrol untuk menghindar suasana canggung, karena hanya kami berdua di dalam lift ini.
Namun dia sama sekali tak bergeming, menghadap ke depan tanpa menunjukkan reaksi. Gara-gara sikapnya itu, aku jadi merasa bodoh karena berbicara sendirian.
"Setidaknya hargai orang yang bicara padamu dong!" Batinku kesal. Jika dia bukan sang malaikat penyelamat yang sudah memberikan secercah harapan padaku untuk bertahan di kota ini, mungkin aku sudah mengusap wajahnya dengan sepatuku.
Kalau sunyi begini, aku pasti tak bisa menahan keinginan untuk buang angin. Tapi, bagaimana aku melakukannya? Setidaknya ada orang yang masuk ke dalam lift agar tak ada yang menyadarinya.
"S-sial, aku tidak tahan! Kenapa tidak ada yang masuk? Di setiap lantai, pintu liftnya terus terbuka. Tapi kenapa tidak ada seorang pun yang masuk?" Suara hatiku meronta-ronta karena dorongan yang terasa semakin kuat di perutku.
Semua orang di dunia ini pasti pernah mengalaminya, saat-saat di mana ada angin yang berhembus di dalam perutmu seolah mencari jalan untuk keluar dan ada dua solusi untuk membebaskan mereka, dengan bersendawa atau kentut.
"Ah... yang manapun itu, aku sudah tidak bisa menahannya!" Batinku. Keringat dingin mulai mengalir di dahiku, mataku terfokus pada angka yang muncul di atas pintu lift.
"Satu lantai lagi! ya, hanya satu lantai lagi dengan begitu aku bisa membebaskan-"
Duuuttt...
Suara angin terdengar cukup pelan, namun tetap bisa didengar dengan jelas. Aku terdiam membeku, tak sanggup melihat reaksi pria itu. Bau tak sedap mulai tercium, bau telur rebus yang aku makan beberapa jam yang lalu. Baunya busuk sekali.
"Ah... lebih baik aku mati saja! bagaimana ini?" Batinku menjerit. Rasanya aku tak akan sanggup melihat wajahnya, dia pasti menyadarinya.
Mataku melirik ke arahnya, ia tetap tenang seolah tak ada yang terjadi atau bau telur busuk yang memenuhi lift ini. Aku tidak tahu, apa dia tidak menyadarinya atau dia hanya berpura-pura agar aku tidak merasa malu.
Tin...
Pintu lift terbuka lebar, pria yang belum aku ketahui namanya ini langsung melangkah keluar sembari membawa bungkusan belanjaannya. Mau tak mau aku harus membiarkan dia berjalan sedikit lebih jauh.
"Huhuhu... bodoh! Apa yang aku lakukan? Dasar tolol! Belum apa-apa sudah memberikan kesan yang sangat memalukan seperti itu!" Sungguh, aku sangat ingin menangis dan terjun bebas sekarang.
"Kau sedang apa? Ini ruangannya!" Serunya yang sudah berdiri di depan pintu apartemen nomor 25.
"B-baik!" Sahutku sambil berjalan menyusulnya.
Aku masuk ke dalam tempat di mana aku akan tinggal. Jujur saja, tempat ini sangat bagus, tak jauh berbeda dengan apa yang terlihat dari luar. Dingin, lantai dan semua perabotan tampak baru. Selain itu aku tidak menyangka kalau apartemen dengan tiga kamar tidur itu cukup luas.
"Wah... bagus sekali! Di mana kamarku?"
"Di sebelah sana! Di dekat dapur. Kau tidak keberatan'kan?"
"Tidak, aku sama sekali tidak keberatan. Aku bisa tidur di mana saja, hehe..."
"Baguslah!"
"Ehm... tapi aku belum tahu siapa namamu! Aku Jenni, Jennifer Everdeen!" Ucapku sembari mengulurkan tangan untuk berjabat.
Dia menatapku sejenak, tanpa ekspresi yang berarti. Namun tampaknya ia enggan berjabat tangan denganku. Apakah aku ini terlihat memuakkan?
"Jacob!" jawabnya singkat.
"Oh... Jacob ya? Kalau begitu, salam kenal! Mohon kerjasamanya!"
"Ya! kalau begitu aku permisi dulu!" Dia melangkah dan masuk ke salah satu kamar yang bersebelahan dengan ruang tamu.
"Baiklah, kalau begitu aku juga harus ke kamarku!"
Aku membuka pintu kamar yang bersebelahan dengan dapur. Kamar ini tidak terlalu besar, tapi sangat bagus dan juga rapi. Ada tempat tidur, lemari dan sebuah meja.
Aku teringat sesuatu, aku tidak tahu ada berapa kamar mandi dan toilet di apartemen ini. Jika hanya ada satu, itu artinya aku harus berbagi kamar mandi dengannya.
"Ah... nyamannya! Akhirnya aku bisa berbaring juga!" Gumamku sembari membaringkan tubuhku di atas ranjang yang empuk dan nyaman.
"Apa aku mandi dulu sebelum tidur? Rasanya badanku berkeringat!"
Aku bangkit dari ranjang, mengambil handuk dan melangkah keluar kamar. Di samping ruang cuci, ada pintu yang aku duga adalah pintu kamar mand dan saat aku mendekat, bisa kudengar suara air dari shower.
"Apa dia sedang mandi?"
Kepalaku mulai memikirkan sesuatu yang aneh. Mengingat tangan Jacob yang kekar, sangat jelas ia memiliki tubuh yang atletis dan sexy. Tanpa sadar, aku celingak-celinguk mengawasi sekitar, berharap tak ada kamera pengawas.
"Yos, aman! Tapi, bagaimana caranya aku mengintip?"
***