Mataku menangkap sebuah bangunan apartemen lima lantai yang terlihat sederhana, namun cukup bagus. Jika perhatikan, bangunan ini berdiri di tengah kota yang sangat strategi, di samping itu juga cukup tenang dibandingkan apartemen lainnya.
"Apartemen Everdeen! itu'kan nama keluargaku? Apa ada kerabat yang memiliki apartemen di New York ya? Sepertinya tidak!" Batinku sambil mengunyah apel pemberian Nenek Maria.
Aku tidak yakin sewa apartemen satu kamar akan murah jika dilihat dari penampilan apartemen ini. Paling tidak, harga sewa perbulannya pasti 1000 - 2000 Dollar perbulan. Tapi, ini apartemen terakhir yang jaraknya paling dekat dengan supermarket itu. Jika besok aku di mendapat panggilan interview, setidaknya aku tidak harus mengeluarkan ongkos bus atau kereta api.
"P-permisi!" Ujarku mendatangi pusat resepsionis apartemen. Seorang pria paruh baya berkaca mata menatapku dan tersenyum lebar.
"Iya, ada yang bisa saya bantu, Nona?"
"Apa ada apartemen kosong?"
"Untuk satu kamar tidur?"
"Ah iya, satu kamar tidur!"
"Baiklah, saya akan memeriksanya. Mohon tunggu sebentar!"
"Baiklah!"
"Mohon maaf, Nona. Saat ini untuk satu kamar tidur sudah penuh. Hanya tersisa satu apartemen tiga kamar tidur di lantai lima!"
"T-tiga kamar tidur? Berapa biaya sewanya?"
"Biaya sewa perbulan 6000 Dollar lengkap dengan perabotan. Bisa langsung dihuni!"
"Mahal sekali? Kalau untuk satu kamar, biasanya berapa?"
"Satu kamar mulai dari 1200 Dollar perbulan. Ada satu kamar yang akan kosong dalam tiga bulan."
"Tiga bulan? Untuk apa aku menunggu selama itu? Ya sudah, saya permisi dulu!"
Aku berjalan lemas menuju pintu masuk. Rasanya tubuhku sudah lelah karena mendatangi tempat-tempat berbeda dalam tiga hari. Jika aku mencari apartemen lain di dekat sini, apa jangan-jangan ada yang lebih murah?
"Maaf, saat ini semua kamar sudah penuh!"
"Kapan ada kamar yang kosong?"
"Bulan depan ada ruangan dengan dua kamar tidur!"
"Bulan depan? Tapi aku butuh sekarang!"
"Sekarang tidak ada yang kosong, mohon maaf!"
Itu adalah apartemen yang ketiga aku datangi dan lanjut ke apartemen berikutnya. Seperti yang sudah aku duga, tidak ada kamar yang kosong.
"Ada kamar kosong untuk satu orang!"
"Benarkah? Wah...syukurlah!"
"Mau disewa untuk berapa bulan?"
"Ehm... boleh aku lihat kamarnya dulu?"
"Tentu, silahkan!"
Pria itu membawaku memeriksa kamar yang akan aku sewa. Meski awalnya aku sudah senang karena ada kamar kosong dengan harga murah, namun sepertinya aku tidak pernah benar-benar mendapatkan keberuntungan yang aku harapkan.
"Kami akan memanggil petugas untuk memperbaiki toiletnya!" Kata pria itu sambil tersenyum kiku. Aku cukup memahami arti senyumannya itu.
"Berapa lama? Bagaimana caranya aku buang air di toilet mampet seperti itu?"
"Akan segera diperbaiki, Nona! untuk bulan ini, kami akan memberikan potongan harga sewa menjadi 700 Dollar. Bagaimana?"
"B-bagaimana ya? Aku akan memeriksa ruangan yang lain dulu!" Kataku. Pria itu terlihat panik dan itu membuatku semakin curiga. Aku yakin ada yang lebih buruk dari pada toilet mampet.
Cit...cit...cit...
"Kyaaa... ada tikus! Ada tiga ekor tikus keluar dari lemari dapur!" Teriakku panik. Selain kotor, tempat ini berbau lembab. Aku merasa sangat tidak nyaman. Meski aku tidak takut pada tikus, tetap saja akan gawat jika tikus-tikus itu menggigit pakaianku.
"Uang sewanya akan diturunkan menjadi 500 Dollar, Nona!"
"Tidak! Aku tidak mau!" Ujarku sembari melangkah pergi dari tempat mengerikan ini.
"Nona, bagaimana kalau 400?"
"Tidak...!"
"Nona, 300 Dollar? Sudah sangat murah, bukan? Nona tidak akan menemukan apartemen semurah ini di tempat lain!" Ucapnya sambil terus mengikuti dan membujukku.
"Aku bilang, tidak...!"
"Nona...!"
Aku terpaksa berjalan dengan cepat sambil menarik-narik koperku yang sama lelahnya dengan kakiku.
"Ya ampun, kenapa nasibku sial sekali? Kemana aku harus pergi sekarang?" Gumanku.
Aku melewati Apartemen Eveerden, di mataku, tempat itu terlihat sangat tenang dan nyaman. Aku membayangkan bisa tinggal di apartemen itu, setiap pagi aku akan berenang di lantai satu, setelah itu akan membuat roti bakar dan pergi bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji tinggi.
Setiap gajian, aku akan memberi baju, sepatu dan tas baru. Setelah itu akan makan di restoran mewah, pergi ke salon dan spa, mengirimkan uang untuk ibuku dan memberi uang saku untuk Jimmy, Kelly dan dua keponakanku. Setelah itu aku akan menabung untuk membeli mobil dan membeli apartemen mewah. Aku ingin menjalani hidup seperti itu.
Tapi, seperti yang semua orang katakan bahwa orang sepertiku ini tidak akan bisa menjadi orang sukses. Aku akan terus menjadi beban keluargaku. Apa benar akan selalu seperti itu? apa aku ini tidak akan bisa menjalani hidup seperti perempuan lainnya?
Tanpa sadar, aku sudah berdiri di depan pintu masuk dengan semua hanyalan indah di kepalaku. Pria berkacamata tadi menatapku yang kembali datang, dia tersenyum ramah.
"Apa Nona sudah menemukan apartemen yang bagus?"
"Ah... sepertinya saat ini banyak orang yang menyewa apartemen. Jadi, di mana-mana sudah penuh."
"Begitu ya? Mungkin karena banyak pelajar asing dan pekerja dari luar negeri yang mengadu nasib di New York,"
"Ya, mungkin begitu!"
"Maaf, permisi!" Seorang pria bertubuh tinggi yang berdiri di belakangku. Biar aku tebak, sepertinya dia juga mencari kamar kosong. Tapi sebentar lagi dia akan mengetahui kenyataannya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
"Ada apartemen kosong dengan satu kamar?" Tanyanya. Aku meliriknya sejenak sambil menahan senyum.
Pria ini bertubuh tinggi, mungkin sekitar 6,2 kaki dengan tubuh yang kekar dan lengan yang berotot. "Dia tipeku banget!" Batinku. Aku tidak bisa menahan senyumanku yang sangat menyadari bahwa wajahnya sangat taman. Rambutnya berwarna coklat gelap, dengan mata hazel, rahangnya kokoh dan tegas. Raut wajahnya seperti pria Italia atau Perancis, benar-benar tampan.
Setelah mengamati penampilan fisiknya, aku lanjut pada gaya berbusananya yang santai. Dia mengenakan kaus lengan pendek putih dengan celana jeans biru dan sepatu kets berwarna hitam. Wangi parfumnya terasa, harum sekali.
"Hehe... boleh juga untuk cuci mata? Kapan lagi aku bisa lihat pria setampan ini secara langsung? Anggap saja ini sedikit keberuntungan dibalik kesialan yang terus aku hadapi!" Batinku.
"Mohon maaf, Tuan! Untuk saat ini tidak ada apartemen dengan satu kamar yang kosong. Hanya tersisa untuk tiga kamar!"
"Begitu ya? Aku sudah ke apartemen lain, tapi tidak ada yang kosong di daerah ini!"
"Nona ini juga sedang mencari uang satu kamar dan dia juga sudahmencari ke apartemen lain, tapi tidak ada yang kosong,"
"Begitu ya? Kalau begitu, terima kasih banyak!" Ucapnya sembari melangkah pergi. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan sepertinya menghubungi seseorang.
"Padahal aku baru saja ingin cuci mata melihat pria tampan, tapi dia pergi. Ya sudahlah, sepertinya aku juha harus pergi!" Ucapku sembaru melangkah menuju pintu masuk.
Aku benar-benar putus asa, duduk sejenak di tangga masuk sambil memikirkan langkah selanjutnya. Apa aku harus mencari hotel dan pulang ke rumah orangtuaku besok? Atau kembali mencari apartemen lain yan mungkin lebih jauh dari tempat ini.
"Dompet yang aku curi itu bagaimana ya? Apa aku kembalikan saja ke kantor polisi dan berpura-pura menemukannya di pinggir jalan? Atau tetap kusimpan? Tapi, aku belum membuka dompet itu dan melihat isinya. Kira-kira, berapa uang di dalamnya?"
"Hei, permisi!"
"I-iya? Ada apa?" Tanyaku tersadar dari lamunanku saat pria tadi sudah berdiri di depanku.
"Ganteng banget!" Ucapku spontan. Pria itu terkejut mendengar ucapanku yang norak dan itu membuatku sangat malu.
"Boleh aku tanya sesuatu?"
"Ah... tentu saja! M-mau tanya apa?"
"Apa kau sudah menemukan apartemen di sekitar sini?"
"Sebenarnya tadi aku sudah menemukan apartemen kosong dengan harga murah, tapi-"
"Tapi?"
"Tapi tempat itu sangat tidak layak untuk ditinggali. Ada banyak tikus dan toiletnya juga mempet, sebaiknya kau jangan ke tempat itu!"
"Begitu ya? Sepertinya kau sudah mendatangi banyak tempat ya?"
"Tidak juga, hanya lima tempat, termasuk apartemen ini! Sejauh ini, apartemen ini yang paling bagus!"
"Begitu ya? Tadi, pria itu bilang ada satu apartemen kosong dengan tiga kamar tidur. Kalau kau tidak keberatan, bagaimana kalau kita berbagi kamar?"
"Apa? Berbagi kamar? denganmu? Kau bercanda?
***