"Wow, sepertinya lelaki tadi menyukaimu," ucap Alberto, si pemilik club.
Menoleh ke belakang. "Kau memperhatikan kami, Sir?"
Alberto duduk pada kursi di sebelah Lilia. "Teman kencan Mr. Montana selalu menjadi pusat perhatian. Saya rasa tidak hanya saya yang memperhatikan Anda, Miss Hitson."
"Menjadi pusat perhatian?" Tersenyum masam. "Penilaianmu itu salah, karena yang menjadi pusat perhatian hanya Jace, bukan aku."
"Kami yang menilai, bukan Anda. Dan harus Anda ketahui bahwa-"
Lilia menunggu Alberto melanjutkan kalimatnya. Jujur, ia paling suka di sanjung.
"Para lelaki di luaran sana iri dengan, Mr. Montana."
Matanya berbinar senang. "Kenapa harus iri?"
"Mereka ingin berkencan dengan Anda. Termasuk juga dengan, Mr. Qisling. Benar begitu, kan?" Menunggu jawaban Lilia.
"Bisa saja asalkan berdompet tebal." Jawab Lilia jujur.
"Tapi siapa lelaki yang bisa mengalahkan, Mr. Montana. Dia lelaki paling romantis. Bahkan di setiap pemberitaan keromantisannya pada Anda bisa membuat kami semua meneteskan air liur."
Sekali lagi, menyungging senyum masam. Dalam hati berucap lirih. Kenyataannya tidak seperti itu. Yang terlihat di media hanya kamuflase belaka.
"Siapa yang jadi pusat perhatian?"
Keduanya menoleh ke arah sumber suara.
Lilia terkesiap. "Mike, kenapa kau kembali?"
Mike mencondongkan tubuhnya ke depan, setengah mengungkung tubuh mungil Lilia di antara lengan kekar. "Kunci mobilku ketinggalan, Miss Hitson."
Aroma tubuh Michael membuat Lilia berfantasi liar dan ia menyadarinya. Dengan segera berdeham supaya tidak kentara.
Michael mendekatkan wajahnya berirama bisikan. "Minumanmu sudah kubayar."
Betapa terkejutnya Lilia namun, tetap bersikap tenang. "Sorry, aku tidak bisa menerima barang gratisan."
"Anggap saja itu sebagai salam perkenalan kita, Miss Hitson." Tutur Mike sopan.
"Lord, betapa menakjubkannya lelaki ini." Gumam Lilia.
Semua wanita mendamba lelaki royal. Pun dengan Lilia. Namun, ia tetap bersikap jual mahal. "Sorry, Mike, aku tidak bisa menerimanya."
"Bersenang-senanglah." Matanya berbinar hangat.
"Kalau begitu temani aku minum."
"Terima kasih tawarannya, tapi aku harus pergi. Aku sudah ada janji."
Michael tahu Lilia kecewa. Dia mendekatkan wajahnya. "Kau tahu kan ke mana harus menemuiku. Di sana kita bisa minum dengan lebih privasi." Mengecup lembut daun telinga dengan gerakan sambil lalu. "Pikirkan tawaranku." Menepuk pundak ramping Lilia, lalu pergi.
"Secara terang-terangan, Mr. Qisling, menunjukkan ketertarikannya padamu."
"Aku tahu."
"Dan kau menerima tawaran kencan darinya?"
Mengedikkan bahu acuh tak acuh.
--
Darah Jace mendidih melihat Lilia berinteraksi dengan lelaki lain, sedekat itu.
Kedua tangannya mengepal erat, sorot mata berubah nyalang. Ingin rasanya melenyapkan Mike saat ini juga.
"Jace, baby, kau lihat apa sih?" Tanya Jazlyn, teman kencan Jace.
"Melihat yang seharusnya kulihat."
"Itu kan Alberto, pemilik club ini. Dia sedang berbincang dengan siapa ya?"
"Jalang kecil." Jawab Jace.
Menoleh pada Jace. "Kau mengenal wanita itu?" Lalu beralih kembali pada Lilia yang duduk dalam posisi memunggungi. "Sepertinya dia cantik." Sinisnya.
"Bagiku, semua wanita cantik kecuali wanita murahan yang menjual kemolekan tubuhnya demi lembaran dolar."
"Apakah kau pernah mengencani wanita itu?"
Mengabaikan pertanyaan Jazlyn. Jace sedang mengetikkan sesuatu di layar ponsel, ditujukan ke anak buahnya. Seret Lilia ke hotel!
Jace muak berada di tempat ini dan melihat Lilia masih saja mengobrol dengan Alberto. Pemandangan seperti ini membuat emosinya tak terkontrol.
"Lanjutkan bersenang-senang, tapi aku tidak bisa menemanimu. Sorry, Jazlyn." Mencium bibirnya singkat.
"Kau mau ke mana?"
Jace mengacuhkannya. Dia pergi dari sana namun, teriakan Jazlyn memaksanya berhenti.
Bergegas memutar tubuh dengan tatapan mengancam. "Pelankan suaramu, Jazlyn."
"Kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja, JACE MONTANA!" Bentak Jazlyn kesal.
Jace langsung berbalik lalu mengeluarkan selembar cek. "Ini yang kau mau, kan? Tulis berapa pun jumlah yang kau inginkan."
Jazlyn tertegun.
Jace tahu, bukan hanya uang yang Jazlyn inginkan, tapi juga kencan dan tidak hanya malam ini. "Terima cek itu atau kehilangan ratusan dolar." Menghunjamnya dengan tatapan maut. "Karena Jace Montana, tidak mengencani wanita lebih dari satu kali."
Jazlyn kesal. Super model seperti dirinya tidak pernah di tolak oleh laki-laki mana pun, tapi Jace. Jace menolaknya bahkan sebelum mereka menghabiskan waktu lebih lama. Ingin rasanya mengejar, memeluknya erat tapi siapa yang bisa melakukan itu selain Lilia.
--
Tubuh Lilia di ikat dengan mulut tersumpal sementara Jace duduk di sofa dengan angkuhnya. Tatapannya memicing menatap Lilia dengan sudut bibir terangkat.
Tubuh Lilia menggigil ketakutan. Jace suka itu. Dia mendekat. Menarik penyumpal mulut dengan kasar.
"Auch ... " rintih Lilia kesakitan.
Mencengkeram rahang Lilia mendongakkannya ke atas. "Sakit, hm?"
Manik dark brown terbiasa menatapnya hangat berubah menjadi gelap segelap warna darah.
Ini malapetaka!
Tubuh Lilia semakin menggigil membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia memilih menundukkan wajah, tidak berani beradu tatap dengan sepasang mata elang yang berubah nyalang.
"Angkat wajahmu!"
Lilia bergeming.
Garis bibir membentuk senyum jahat lalu membungkuk mengamati wajah Lilia dari jarak lebih dekat. "Takut, hum?" Tanyanya sembari membelai lembut tulang pipi. "Bagaimana rasanya di belai olehku dan di cium oleh Mike?" Belaian turun ke leher dan dalam hitungan detik. Lilia kesulitan bernapas.
Jace mencengkeramnya kuat sampai bola mata Lilia hampir jatuh ke lantai.
"Memohon ampunlah untuk nyawamu, jalang kecil." Cengkeraman semakin kuat.
Kurang satu detik lagi hembusan napas Lilia putus, detik - detik itulah cengkeramannya terlepas.
Mendapati napas Lilia tersengal dengan wajah memucat tak menyentuh sisi hatinya. Amarahnya semakin memuncak. Darahnya semakin mendidih. Keinginan menyiksa Lilia semakin berkobar.
Jemarinya terulur hendak mencengkeram kembali leher Lilia namun, menjauhkan tangannya ketika Lilia memohon. "Ampuni aku, Jace."
"Kau pikir aku sudi mengampunimu setelah dengan lancangnya kau pergi secara diam - diam dan berbicara dengan pria asing, hah?" Menampar pipi sebelah kiri. "Tidak ada ampunan, karena yang akan kau terima adalah kado spesial."
"Dia yang mengajakku bicara." Bantah Lilia dengan susah payah. Tenggorokannya terasa seperti terbakar.
"Kau sengaja meninggalkan hotel secara diam-diam dan menemuinya. Di belakangku kalian berkencan? Luar biasa, Lilia."
"Kami tidak berkencan. Bahkan tidak saling mengenal sebelumnya. Tiba-tiba dia datang dan menemaniku minum."
"Dan membayar minumanmu."
"Itu tidak benar."
Menyeringai jahat. "Kau pikir aku bodoh, hah?"
"Aku mengatakan yang sebenarnya."
"Di mana kau menyimpan kartu nama pria brengsek itu? Berikan padaku!"
"A-ada dalam tas." Jawab Lilia takut – takut. Pasalnya ia lupa setelah di seret paksa oleh anak buah Jace.
"Geledah tas Lilia!" Perintah Jace pada anak buahnya.
"Maaf, Sir. Kartu nama Mr. Qisling tidak kami temukan dalam tas, Miss Lilia."
Sorot mata Jace berubah gelap. Anak buahnya tahu itu sehingga mereka semua membungkuk lalu pergi.
"Kau sengaja bermain-main denganku, bitch?" Mencengkeram kuat leher Lilia.
Tubuh Lilia menggigil ketakutan merasakan benda dingin menyentuh pelipisnya. Benda tersebut adalah ujung pistol.
Tersenyum jahat. "Jace Montana, tidak memberi ampun pada seorang pengkhianat." Menarik pelatuknya. Ketika kurang 1 cm, Lilia memohon. "Dengarkan penjelasanku dulu, Jace, kumohon."