Daniel ke kamar Jace, akan tetapi di hentikan oleh para bodyguard yang berjaga di depan pintu. "Maaf, Sir. Anda tidak di izinkan masuk."
"Di mana, Mr. Jace?"
"Mr. Jace, ada di dalam."
"Kalau, Miss Lilia?"
"Miss Lilia, ada di dalam bersama, Mr. Jace."
Daniel memaksa masuk. Namun, para bodyguard sigap menghadang.
"Apa kalian tidak tahu siapa saya, hah?" Bentaknya.
"Sorry, Sir. Kami hanya menjalankan perintah. Malam ini, Mr. Jace, tidak menerima tamu termasuk Anda."
Sorot mata menggelap. "Masuklah dan katakan pada Tuan mu bahwa aku ada di sini, mencarinya."
Bodyguard tersebut bergeming.
"Apalagi yang kalian tunggu, hah?"
"Sorry, Sir. Kami hanya tunduk pada perintah, Mr. Jace."
"Baiklah, kalau begitu saya akan kembali lagi besok."
"Ya, silakan."
Belum ada selangkah meninggalkan tempat tersebut. Daniel berbalik, memukul kepala bodyguard. Dan serangan yang secara mendadak tersebut membuat tubuh kekar membentur pintu dengan sangat keras.
"Sir, jangan memaksa kami bertindak di luar batas." Bentak salah satu bodyguard.
"Untuk itu, jangan mengabaikan perintahku."
"Sekali lagi, saya katakan. Mr. Jace, sedang bersama Miss Lilia. Silakan Anda datang lagi besok."
Daniel mematung. Dia mendengar Lilia menangis.
Bodyguard tersebut murka. "Apalagi yang Anda tunggu, hah? Pergi!" Mendorong kasar tubuh Daniel.
Daniel pergi.
Sesampainya di lantai lobby. Dia teringat kembali dengan Lilia. "Jika Lilia sampai menangis. Itu artinya Jace menyakitinya." Gumamnya dengan mengepalkan kedua tangan. "Ini tidak bisa di biarkan."
Dia masuk kembali ke dalam lift yang membawanya naik pada lantai di mana kamar Jace berada.
Ting.
Pintu lift terbuka sempurna.
Daniel melebarkan langkah menuju kamar Jace.
Para bodyguard langsung sigap. "Sudah saya katakan bahwa Mr. Jace tidak mau di ganggu."
Suara isak tangis terdengar memilukan. Daniel tidak tahan lagi. Dia memaksa masuk.
Para bodyguard mengambil tindakan tegas dan baku hantam pun terjadi.
Keributan yang terjadi di luar kamar terdengar sampai ke telinga Jace. "Shittt, siapa yang membuat keributan?" Geramnya dengan melebarkan langkah menuju pintu.
Betapa terkejutnya Jace. Daniel sedang terlibat baku hantam.
"Hentikan."
Para bodyguard membungkuk. "Maafkan atas keributan yang terjadi, Sir."
Mengabaikan para bodyguard nya. Tatapannya menajam pada Daniel. "Apa yang kau lakukan di sini?" Suaranya menyirat rasa tak suka. Pun dengan sorot mata.
Memicing pada penampilan Jace yang kacau. "Apa yang terjadi? Tidak biasanya kau-"
"Bukan urusanmu. Ada perlu apa mencariku?"
Daniel memilih bungkam.
Ekor mata Jace menajam pada kepala bodyguard. Paham dengan perintah yang menggeliat dari sorot mata. Dia bersama anak buahnya membungkuk lalu pergi.
Tatapan Daniel mengunci pada manik dark brown. "Di mana Lilia?"
"Dari kemarin terus saja mencari Lilia, Lilia, Lilia. Apa kau menyukai Lilia, hah?"
Daniel tidak berkeinginan mengeluarkan satu patah kata pun. Dia memilih bungkam dengan sorot mata tak kalah tajam. Dan kebungkamannya itulah penyebab mengikisnya kesabaran yang coba Jace redam sedari tadi. "Jawab, bodoh!" Bentaknya.
Suara bentakannya memekak telinga hingga ke dalam kamar. Apa Lilia mendengarnya? Tentu saja, hanya saja ia tenggelam dalam kesedihan sehingga tidak tertarik pada hal lain.
"Kau sendiri yang mengatakan padaku. Kau sudah bosan dengan Lilia. Apa salahnya kalau aku mencarinya?" Sudut bibir terangkat, tatapan mencemooh. "Cemburu, huh?"
Sepasang manik dark brown menggelap. "Kau bertanya apakah aku cemburu? Tidak. Aku tidak cemburu." Penuh penekanan pada setiap kata.
Daniel tahu Jace cemburu. Hal tersebut terlihat dari raut wajahnya.
Sejujurnya, Jace tidak cemburu. Emosinya pada Michael Qisling belum mereda. Kini, ditamah dengan kehadiran Daniel. Baginya, ini memuakkan.
"Lihat dirimu, Jace. Kalau tidak cemburu apa namanya, huh? Sikap mu ini sudah menunjukkan bahwa-" jeda sejenak. Daniel mencondongkan wajahnya ke depan. "You are jealous?" Mengangkat sudut bibirnya.
Jace semakin di bakar amarah. Akal sehatnya mengikis, yang ada hanyalah letupan emosi.
Apakah Daniel takut menghadapi kemarahan Jace? Sama sekali tidak. Justru dia senang mempermainkan emosinya. Terlebih jika itu berkaitan dengan seorang wanita. Dia ingin Jace merasakan dan menerima apa itu ... cinta.
Daniel semakin yakin bahwa Jace cemburu hanya saja sahabat masa kecilnya itu terlalu dingin, terlalu pintar menyembunyikan perasaannya sehingga tidak kentara.
Sebagai seseorang yang mengenal Jace dengan sangat baik. Tentu Daniel sangat paham apa alasan Jace tidak mau mempercayai wanita.
Jace membangun benteng tinggi-tinggi. Kehidupannya lekat pada ambisi, pencapaian, kesuksesan. Namun, tidak dengan percintaannya. Dia membenci satu kata itu.
Semua ini berawal dari mesa kelam yang mengharuskannya hidup dengan ibu kandung, yang menyeretnya memasuki Dunia kegelapan berselimut duri pesakitan.
Sebelum di temukan oleh pengacara terkenal-Mr. Deril Montana-ayah kandung Jace. Jace terpaksa di pekerjakan sebagai pelayan yang harus melayani wanita seusia ibu nya di usianya yang baru menginjak 10 tahun.
Pesakitan demi pesakitan menjadi teman setia hingga usianya menginjak remaja.
Dia tinggal di lingkungan yang tidak layak. Mentalnya terbentuk secara keras. Sudah sepantasnya dia tumbuh menjadi lelaki super kejam dan tanpa ampun.
Daniel menatap lekat Jace. Rahangnya yang tegas, sorot mata menggelap. Menjadi bukti nyata betapa kelamnya kehidupan yang melekat kuat dalam dirinya.
"Apalagi yang kau tunggu, hah? Pergilah."
"Aku tidak akan pergi sebelum menemukan jawaban dari pertanyaanku."
Jace murka. Tangannya bergetar menahan letupan emosi. Namun, dia sadar betul. Tak memungkinkan baginya melampiaskannya kepada Daniel.
"Aku tidak mau menghajarmu sampai meregang nyawa, Daniel. Pergilah."
Ancaman Jace tak membuat Daniel takut. Dia tetap pada posisi semula. "Aku tidak akan beranjak dari sini sebelum kau menjawab pertanyaanku."
"Pertanyaan apa, hah?"
"Beritahu aku. Kau cemburu pada Lilia, kan?"
"Aku tidak pernah cemburu Daniel, apalagi untuk wanita murahan seperti Lilia yang dengan suka rela melemparkan tubuhnya pada lelaki lain."
"Apa maksudmu Lilia melemparkan tubuhnya pada lelaki lain?"
Mengabaikan pertanyaan Daniel. Jace memilih berlalu dari sana, akan tetapi baru beberapa langkah ia berbalik. "Kau mencari Lilia, kan? Dia ada di dalam. Temui dia, sepertinya pelukan mu bisa menenangkan tangisannya yang sangat menjijikkan itu."
--
Jace sedang di balkon, seorang diri.
Dia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dengan mata terpejam. Pikirannya melayang memikirkan ucapan Daniel. "Kau cemburu Jace. Akui saja."
Dengan segera membuka mata, bibirnya mengukir senyum sinis. "Bagaimana bisa aku cemburu jika perasaanku saja sudah terenggut semenjak aku masih kecil."
Ingatannya berpusat pada kejadian beberapa tahun silam. Rasa trauma dari masa lalunya itu tidak akan pernah bisa di sembuhkan oleh apa pun. Dan yang harus bertanggung jawab atas semua ini adalah wanita hina yang sudah melahirkannya ke Dunia yaitu ibu kandungnya sendiri.
Wanita tidak tahu diri itulah yang telah memenjarakannya di antara racun mematikan.
Jace tumbuh menjadi lelaki yang kejam, tidak berperasaan, tidak berhati nurani, tidak tersentuh, dan juga tidak berbelas kasih. Iblis Lucifer pun kalah kejam jika di bandingkan dengan kekejaman seorang Jace Montana.
Jace bisa melakukan apa pun dengan uangnya. Siapa pun bisa meminta apa pun darinya terkecuali satu hal, jangan sekali - kali bicara soal perasaan dengannya karena ia tidak akan pernah bisa memberikannya. Jace Montana, tidak mengenal satu kata itu. Baginya, perasaan dan cinta adalah 2 kata yang sangat menjijikkan.