Seorang perempuan berkerudung putih dengan kemeja putih dan celana hitam longgar tengah berjalan menaiki anak tangga. Satu tangannya memeluk sebuah buku dan satu tangan lainnya mengelap keringat yang menetes dari dahi. Sampai di ruangan, ia langsung duduk di mejanya.
"Baru selesai, Am?" tanya Kara, salah satu temannya di tempat kerja, tetapi berbeda bagian.
"Iya nih, cape banget. Lagi banyak masalah di bawah," jawab Kama saraya meraih kipas yang tersimpan rapi di atas meja. Kemudian memulai menggerakkannya berharap rasa gerah itu bisa hilang.
"Memang benangnya lagi jelek! Enggak tahu tuh Pimpinan baru belinya dimana, enggak biasanya."
Kama menghembuskan nafas kasar. "Pantesan. Alamat banyak masalah kalau gitu," keluhnya.
"Sabar aja, kita do'akan saja Pak Raka cepat kembali."
"Emang Pak Raka ke mana? Udah lama juga aku enggak liat dia keliling," tanya Kama penasaran.
"Katanya sih hilang ingatan, tapi kamu jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia," bisik Kara tepat di telinga Kama.
"Hah! Iyakah?" Kama terkejut mendengar ucapan Kara.
Kara mengangguk kemudian menyimpan jari telunjuknya di depan bibir. Mengisyaratkan untuk diam dan tidak membocorkan rahasia. Kama yang tidak mau terkena masalah pun mengangguk.
Perempuan itu memilih kembali bekerja. Meng-input data hasil pemeriksaannya tadi di bawah. Saking banyaknya pekerjaan, membuat Kama tidak menyadari jam pulang kerja telah tiba.
Ia masih asyik meng-input data ketika teman-teman satu ruangannya membubarkan diri. Hingga panggilan Kara membuat ia sadar jika ia belum siap-siap. "Ayo, Kam. Siap-siap, kerjaan kamu lanjut aja besok," ujar Kara mengajak Kamalia pulang.
Kama mendongak, melihat ke arah Kara yang sudah siap dengan tasnya. "Kamu duluan deh, nanggung. Lagian, ini harus aku serahkan ke Pak Kiki hari ini," tutur Kama.
Kara mengangguk. "Ya udah, aku duluan ya. Kamu hati-hati, biasanya kalau sore-sore gini mahkluk halus mulai berkeliaran."
Satu pukulan mendarat di lengan Kara. "Kamu tuh, jangan nakut-nakutin ih." Kama bergidik ngeri, sedangkan Kara malah tergelak.
"Udah sana pulang!" ujar Kama menghentikan tawa Kara.
Kara mengangguk kemudian mulai melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan. Sementara Kama kembali berkutat dengan data-data yang belum selesai diinput. Hingga tidak terasa waktu salat magrib telah tiba.
Kama menyerahkan data yang sudah ia cetak kepada pak Kiki. Setelah itu, ia memilih melaksanakan salat magrib terlebih dahulu. Selesai salat dan membereskan mejanya, ia mulai melangkahkan kakinya menuju parkiran.
Menaiki motor matic yang selalu setia menemaninya, kemudian menghidupkan mesinnya. Hingga motor mulai melaju meninggalkan pabrik. Saat ia melewati jalan industri, tiba-tiba ada seorang lelaki yang menyeberang jalan sembarangan.
Kama mengerem motor mendadak. Sehingga motor yang ia tumpangi tidak seimbang dan jatuh menindih kakinya. "Astaghfirullah," pekik Kama, ketika tubuhnya mencium aspal.
Perempuan itu berusaha menyingkirkan motor yang menindihnya, tetapi kesulitan. Kama mengedarkan pandangan. Dan mendapati jika laki-laki yang menyeberang jalan tengah berjongkok sambil menutupi telinga dengan kedua tangannya.
"Mas ... Mas, tolong."
"Mas!" panggil Kama lagi dengan sedikit meninggikan suaranya karena laki-laki tetap berjongkok.
Mendengar ada yang memanggilnya, laki-laki itu menoleh. Dengan kaki yang bergetar, ia bangkit lalu menghampiri Kama. "Aku bantu," ujarnya seraya menyingkirkan motor dari kaki Kama.
"Terima kasih," ucap Kama.
Laki-laki itu tidak menanggapi dan menunduk lalu membantu Kama berdiri. "Kamu enggak apa-apa, 'kan?" tanyanya.
Kama mendongak karena jarak laki-laki itu cukup jauh lebih tinggi darinya. Ia terkejut melihat laki-laki di depannya. Baru tadi ia membicarakan laki-laki tersebut dengan Kara. Dan sekarang ada di depan mata.
Buru-buru Kama menunduk sopan kepada pemilik perusahaan tempatnya bekerja. "Saya enggak apa-apa, Pak Raka."
"Kamu kenal aku?" tanya Raka dengan mata yang berbinar.
Kama mengangguk. "Saya karyawan Bapak di pabrik."
"Syukurlah, aku tersesat. Kamu bisa antarkan aku pulang?" Raka bernafas lega karena ada orang yang mengenalnya. Tadi ia merasa bosan diam di rumah, akhirnya ia memilih jalan-jalan dengan menggunakan taksi. Namun, ia melupakan alamatnya.
'Apa yang dikatakan Kara tadi itu benar? Kayanya sih benar, Pak Raka terlihat bingung,' gumam Nisa dalam hati.
Kama menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak tahu di mana rumah bosnya itu. "Bapak bawa ponsel?" tanyanya dan Raka menggeleng.
Perempuan itu menghela napas panjang. Bingung harus mengantarkannya kemana, ditinggalkan pun tidak tega. Takut di manfaatkan orang-orang.
Akhirnya Kama memilih menghubungi Kara, menanyakan rumah Raka. Berharap temannya itu mengetahuinya. Karena yang Kama tahu jika Kara memiliki banyak informasi.
"Yang aku tahu sih rumahnya ada di perumahan Kota Baru. Tapi aku enggak tahu tepatnya di blok mana," jawab Kara di sebrang sana.
"Aku anterin ke pabrik aja kali ya, siapa tahu masih ada pimpinan."
"Jangan! Nanti kalau orang-orang di pabrik tahu gimana? Takutnya bocor."
"Duh, aku bingung. Mau ditinggalkan juga enggak tega. Kamu ke sini deh temani aku." Kama menghela napas panjang.
"Enggak bisa! Aku lagi pacaran sama Suami. Lebih baik kamu temani dulu, aku mau minta tolong sama Pak Dimas," ujar Kara memberi saran.
"Pacaran mulu!"
"Yeee, sirik aja kamu."
Akhirnya Kama setuju dengan saran Kara. Ia menghampiri Raka yang sedari tadi memperhatikannya. "Pak Raka tunggu sebentar. Saya sedang meminta tolong sama teman," ujar Kama memberitahu.
"Iya, aku tunggu kamu. Kamu jangan tinggalkan aku," ujar Raka setuju. Ia menatap wajah Kam dengan seksama, membuat Kama merasa tidak nyaman.
Kam memilih berdiri sedikit menjauh dari Raka, sesekali melihat ke layar ponsel berharap Kara segera memberikan kabar. Sementara Raka seolah takut ditnggalkan, ia terus mendekati Kama. Sehingga membuat Kama harus terus bergerak menjauh.
"Kamu jangan menghindar, aku enggak akan macam-macam."
Kama hanya mengangguk seraya mengusap tengkuknya. Tidak lama Kara menelepon, segera ia mengangkatnta. "Assalamu'alaikum, Ra. Gimana?"
"Alhamdulillah aku udah dapat," jawab Kara di sebrang sana.
"Benarkah? Kalau begitu cepat kamu share, ini udah malam. Kasian Meena di rumah," ujar Kama merasa tidak sabaran.
"Iya," ujar Kara kemudian mematikan sambungan teleponnya.
Tidak lama ponsel Kama kembali berbunyi, kini pesan masuk dari Kara. Berisi alamat lengkap rumah Raka di Bandung. Segera Kama menghampiri Raka yang sedari tadi memperhatikannya.
"Jalan kamu pincang, kayanya bengkak." Raka menatap Kama dengan khawatir.
Kama menunduk dalam melihat ke arah kakinya. Kemudian kembali mengangkat kepalanya, lalu tersenyum. "Saya enggak apa-apa, lebih baik kita berangkat. Saya udah tahu alamatnya."
Raka masih diam di tempat, memperhatikan Kama yang sudah menaiki motornya. Terlihat ada goresan di body motor, kaca spionnya pun patah. Ia sungguh merasa bersalah, tetapi tidak tahu harus berbuat apa.
"Ayo!" ajak Kama menyadarkan Raka dari lamunannya.
Dengan ragu Raka menaiki motor matic milik Kama. Ia merasa canggung karena merasa baru pertama kali menaiki motor matic. Apalagi di bonceng seorang perempuan.