Pagi hari di lalui Kama seperti biasa. Sebelum berangkat bekerja ia membantu Meena mandi terlebih dahulu. Kemudian mendadaninya setelah itu menyuapi sang anak. "Bunda berangkat bekerja dulu ya, kamu jangan nakal kasian Enin."
"Iya, Buna," jawab Meena dengan riang.
"Anak pintar, sini Bunda cium dulu. Eemm ... wanginya anak Bunda," ujar Kama sambil meraih tubuh sang anak agar mendekat, kemudian menciumi pipi Meena. Setalah itu ia menghirup dalam aroma tubuh anaknya.
"Kan Ina kaya Buna, pintal." Anak tiga tahun itu sudah pandai menjawab. Membuat Kama semakin gemas.
"Ya sudah, salim dulu sama Bunda. Bunda mau berangkat sekarang," ujar Kama sambil mengangkat tangannya ke depan Meena. Segera Meena raih kemudian mencium punggung tangannya.
Setelah berpamitan kepada Meena dan kedua orang tuanya. Kama berangkat dengan menggunakan motor sang Kaka. Karena motor miliknya harus masuk bengkel akibat kejadian tidak terduga kemarin malam.
Kama memiliki dua Kakak laki-laki. Langit dan Bumi. Langit adalah Kakak tertua Kama, ia sudah berkeluarga. Namun, belum memiliki anak. Ia memiliki usaha sendiri sebagai petani sayur dan buah hidroponik. Sedangkan Bumi belum menikah, ia juga memiliki usaha sendiri sebagai peternak bebek pedaging.
***
Sampai di pabrik, Kama sudah di sambut dengan pertanyaan dari Kara. "Kam, ceritain dong awalnya gimana bisa ketemu sama Pak Raka?" tanya Kara dengan suara yang ia rendahkan, agar orang-orang yang ada di ruangan tidak mendengar.
"Aku tuh enggak sengaja mau nabrak Pak Raka saat dia mau menyeberang," jawab Kama dengan suara tidak kalau rendah.
"Kok bisa? Memangnya dia mau ke mana?"
Kam mengangkat lalu menurunkan bahunya. "Mana aku tahu!"
"Yeeee, biasa aja kali! Enggak usah ngegas," ujar Kara. "Kamu ngobrol enggak sama dia, saat di perjalanan?" tanya Kara lagi. Ia masih kurang puas dengan jawaban dari Kama.
"Enggak ada sih, orang canggung juga ngebonceng Pak Bos."
"Pak Bos siapa?" tanya Pak Kiki yang tiba-tiba sudah ada di antara Kama dan Kara.
"Astaghfirullah," ucap Kama dan Kara bersamaan. Mereka memegang dadanya karena merasa kaget.
"Pak Kiki ngagetin aja!" protes Kara.
"Habisnya kalian bisik-bisik tetangga gitu. Ayo kerja-kerja, jangan ngerumpi terus." Pak Kiki memerintahkan keduanya bubar.
Menurut, keduanya bubar. Kara kembali ke mejanya, sedangkan Kama memilih turun kebawah. Ia keluar dari ruangan kemudian menuruni anak tangga. Terdengar dengan jelas suara dari macam-macam mesin yang ada di lapangan.
Kama masuk ke bagian DF atau dyeing finishing. Deyeing finishing merupakan proses akhir di industri pembuatan kain. Mengelola kain mentah melalu dyeing atau pencelupan untuk menghasilkan produk tekstil. Kama ke sana untuk menanyakan sampel kain untuk di cek.
"Udah selesai sampelnya?" tanya Kama kepada kepala shif.
"Sudah, Bu. Tinggal dicek," jawab Kepala shif.
"Saya minta tolong dibawakan ke tempat saya ya, Pak."
"Baik, Bu."
***
Cukup lama Kama di bawah karena sampel yang begitu banyak. Apalagi dengan benang yang bermasalah membuat hasil pada kain pun jelek. Ia pun melaporkannya kepada ketua bagian.
"Am, lagi banyak masalah ya?" tanya Kevin. Seorang kepada bagian.
"Iya, Pak," jawab Nisa singkat.
Kama masih fokus pada kerjaannya. Hingga jam makan siang pun tiba. Kama membereskan alat tulisnya kemudian berjalan menaiki anak tangga untuk sampai ke ruangannya.
"Udah selesai, Kam?" tanya Kara ketika melihat Kama sudah duduk bersandar di kursinya.
Kama menggeleng kemudian menghela nafas panjang. "Banyak banget masalahnya, jadi harus perbaikan juga."
"Sabar aja, Kam. Demi tanggal satu," ujar Kara sambil mengacungkan jari telunjuknya.
Kama mengangguk kemudian pamit untuk ke mushola terlebih dahulu. Setelah melaksanakan salat dzuhur, ia berjalan ke kantin. Mengambil kotak makan siang yang sudah di sediakan kemudian berjalan menghampiri Kara yang susah makan terlebih dahulu.
Mereka menikmati makan siang sambil berbincang-bincang. Tidak hanya ada Nisa dan Kara di meja itu, tetapi dengan karyawan lain yang satu ruangan dengan mereka. Sehingga membuat nuansa makan siang itu begitu rame.
"Kama, kamu kaya cape gitu! Lagi banyak masalah?" tanya Tina, salah satu teman Kama.
Kama mengangguk mengiyakan. Pipinya ia kembungkan kemudian membuang nafas kasar. "Cape banget, mana harus perbaikan lagi."
"Duh kasian, yang sabar ya. Siapa tahu nanti dapat bonus," ujar Tina sambil menaik turunkan alisnya secara bergantian.
"Enggak mungkinlah! Emangnya lembur." Kama mendelik kemudian mulai melahap makanan yang ada di dalam kotak.
Selesai makan siang, mereka membubarkan diri masuk ke dalam ruangan masing-masing karena jam istirahat telah usai. Semua kembali berkutat dengan pekerjaannya, termasuk Kama. Ia kembali ke bawah karena masih ada sampel yang belum di periksa.
***
Waktu begitu cepat berlalu, waktu salat ashar pun telah tiba. Dan Kama memilih melaksankan salat terlebih dahulu kemudian melanjutkan pekerjaan sampai waktu pulang tiba. Kali ini Kama bisa pulang tepat waktu karena semua pekerjaannya telah di selesaikan.
Dengan mengendarai motor milik kakaknya, Kama kembali melewati jalan yang ia lalui kemarin malam. Ia menghiraukan ucapan sang bos waktu kemarin, lagi pula untuk apa menuruti perintahnya? Walaupun Raka seorang pimpinan tetapi itu diluar pekerjaan.
Sampai di rumah Kama langsung di sambut dengan senyum ceria dari sang putri. Segera ia berjongkok kemudian menggendong Meena, membawanya masuk ke dalam rumah.
"Eem udah wangi, udah cantik putrinya Bunda." Kama mencium pipi gembul Meena.
Meena terkikik kerena merasa geli. "Udah. Buna, udah. Ina geli," ujarnya dengan suara cadel.
"Meena mandi sama siapa?"
"Cama Enin."
Kama mengangguk. "Ya udah, Meena nonton TV lagi ya. Bunda mau mandi dulu," ujarnya.
Meena mengangguk mengiyakan kemudian berjalan ke arah ruang keluarga. Ia duduk di sofa, menonton film kartun. Sementara Kama masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil pakaian, setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Kama mandi, karena kini ia sudah siap dengan setelah rumahan.
Kama memilih ke dapur, membantu ibunya masak untuk makan malam nanti. "Enggak lembur lagi Am" tanya Rima.
"Enggak, Bu. Alhamdulillah bisa selesai tepat waktu." Kama mengambil kol, kemudian mengiris-ngirisnya untuk dijadikan bakwan.
"Am, tadi ada yang ke rumah," ujar Rima memberitahu.
"Siapa, Bun?" tanyq Kama penasaran.
"Anaknya Pak Lurah, mau melamar kamu. Kamu mau ya?" ujar Rima penuh harap.
Kama tidak menanggapi dan malah bengong hingga tanpa sengaja, pisau mengenai lengannya. "Argh!" pekiknya.