"Maaf Pak, pegangannya ke belakang aja." Kama merasa gugup dan kurang nyaman karena Raka memegang pundaknya.
"Maaf," ucap Raka. Ia menarik lengannya dari pundak Kama, kemudian menaruhnya di pegangan yang ada di belakang jok.
"Iya, Pak." Kama kembali fokus mengendarai motornya. Hari sudah malam, ia harus fokus karena memilih jalan alternatif agar cepat sampai.
"Tadi aku ngerasa enggak masuk pemukiman warga," ujar Raka merasa aneh. "Kamu enggak lagi nyulik aku 'kan?" tanyanya mulai waspada.
Nisa tersenyum mendengar kecurigaan Raka. Wajar karena ia membawa motornya ke pemukiman warga dengan gang sempit. "Enggak akan berani, Pak. Bapak tenang aja, ini jalan alternatif biar cepat sampai."
"Aku coba percaya."
"Kalau enggak percaya, Bapak bisa turun sekarang."
"Enggak! Aku enggak tahu jalan," tukas Raka dengan cepat.
Kama mengulum senyum lalu kembali fokus ke depan. Kebetulan mereka harus melewai turunan yang cukup terjal. Raka memejamkan mata, merasa ngeri harus melewati jembatan kecil kemudian tanjakan yang cukup menukik.
"Udah enggak apa-apa, Pak. Bapak bisa membuka mata," ujar Kama.
Raka membuka sebelah matanya. Setelah merasa yakin, ia membuka keduanya. "Syukurlah, kamu jangan pernah lagi jalan sana. Walaupun lewat jalan raya lebih lama, tapi itu aman."
"Maaf Pak," ucap Kama merasa bersalah.
Motor mulai memasuki jalanan perumahan yang sangat bersih. Jalannya cukup lenggang membuat Kama sedikit menaikan kecepatannya. "Jangan kencang-kencang bawa motornya," ujar Raka memberitahu.
"Maaf Pak, buru-buru. Ini sudah malam, anak saya di rumah pasti sudah menunggu."
Refleks Raka menoleh ke arah Kama, ia mencondongkan tubuhnya demi melihat wajah Kama dari samping. "Kamu udah nikah?" tanya Raka merasa tidak percaya. Entahlah, tiba-tiba ia merasakan perasaan aneh.
Untuk beberapa waktu Kama merasa gugup. Namun, segera ia menutupi kegugupan. "Iya Pak," jawab Kama.
Tercetak tipis raut wajah Raka yang kecewa. "Aku kira kamu masih singgel," ucapannya dengan lirih.
Kama hanya menanggapi dengan tersenyum, ia tidak lagi menanggapi ucapan Raka. Takut, takut laki-laki itu menanyakan hal-hal lain. Motor terus melaju, kemudian berhenti sebentar untuk melihat alamatnya. Setelah merasa yakin, Kama kembali melanjutkan perjalanannya.
Motor berhenti di depan gerbang cukup tinggi, hingga menutupi sebagian bangunan di dalamnya. Di sana sudah ada mommy dan daddy Raka, juga beberapa perawat laki-laki. Nisa tahu dengan orang tua Raka karena beberapakali pernah melihat saat berkunjung ke pabrik.
"Oh ya ampun, Sayang. Mommy sangat khawatir kepadamu. Syukurlah kamu enggak apa-apa," ujar Diana sambil memeluk Raka. Ia memeriksa seluruh tubuh anaknya, takut ada yang terluka.
"Aku enggak apa-apa, Mom."
"Kamu dari mana saja? Daddy cari-cari enggak ketemu." Bima menghampiri anak semata wayangnya.
"Maaf, Dad. Tadi aku merasa bosan."
"Tidak apa-apa, yang penting kamu selamat. Apa kamu yang mengantarkan Raka?" Bima mengalihkan atensinya kepada Kama.
Nisa mengangguk. "Iya Pak, kalau begitu saya pamit." Nisa kembali menyalakan mesin motornya.
Namun, Diana mencegah. "Kamu masuk dulu, saya belum berterim kasih dengan layak."
"Tidak perlu repot-repot, Bu. Kebetulan saya harus segera pulang." Kama menolak dengan sopan. "Saya pamit. Assalamualaikum," ucap Kama kemudian memutar gas hingga motor melaju.
Diana dan Bima memandang kepergian Kama, kemudian mengajak Raka masuk ke dalam rumah. Mereka menyuruh Raka duduk terlebih dahulu di sofa ruang tamu. Meminta Raka untuk menjelaskan semuanya, dari awal sampai akhir.
"Kok bisa kamu di anterin perempuan? Terus kamu udah hafal alamat rumah?" tanya Diana dengan lembut. Ia mengusap-usap pundak Raka yang menundukkan kepalanya dalam.
"Kamu enggak usah takut, Daddy enggak akan marah."
Perlahan Raka menegakkan kepalanya, melihat ke arah sang mommy dan daddy secara bergantian. Ia menarik nafas panjang kemudian membuangnya kasar, sebelum angkat suara. "Maaf, Mom, Dad. Aku pergi tidak meminta izin," ucap Raka penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, kami cuman khawatir saja. Sekarang kamu ceritakan ya."
"Tadi siang aku merasa bosan, jadi berniat menyusul kalian ke pabrik dengan menggunakan taksi. Tapi, aku lupa nama pabriknya apa, jadi aku minta diturunkan di pinggir jalan," ujar Raka mengingat-ingat kejadian yang di alaminya tadi.
Raka memang masih sangat kesulitan untuk mengingat kejadian yang ia alami, walaupun itu kejadian yang baru saja terjadi. Selamat dari maut saat kapal pesiar yang ia tumpangi menabrak bongkahan karang di laut, membuat Diana dan Bima bersyukur. Karena hampir semua penumpang tidak selamat, hanya beberapa saja. Dan di antaranya Raka.
"Aku hampir saja tertabrak oleh motor karena menyebrang jalan sembarangan," sambung Raka.
Diana dan Bima melebarkan matanya saat mendengar penuturan Raka. Mereka terkejut bukan main. Segera Diana memeriksa tubuh Raka karena takut ada luka, padahal tadi saat di luar pun ia sudah memeriksanya.
"Aku tidak apa-apa, Mom. Justru perempuan itu yang terluka. Dia berjalan dengan pincang. Tapi, saat aku akan memeriksanya dia menolak."
"Apa perempuan yang hampir menabrakmu itu perempuan yang mengantarkanmu juga?" tanya Diana, dan Raka mengangguk.
"Seharusnya tadi kita memberikannya uang untuk berobat, dan mengganti bensin karena sudah mengantarkan Raka," ujar Bima menyesali.
"Kamu benar, tapi dia terlihat buru-buru." Diana menyayangkan tindakan Bima tadi. "Kamu belum jawab pertanyaan Mommy, apa kamu sudah hapal dengan alamat rumah?"
Raka menggeleng. "Aku tidak ingat, makanya tersesat. Tadi perempuan itu juga menanyakan alamat rumah, tapi aku jawab enggak tahu. Lalu dia menghubungi temannya, setelah itu dia mengantarkan aku."
"Siapa yang perempuan itu hubungi? Duh, Mommy jadi takut dia membocorkan keadaan kamu," tanya Diana khawatir.
"Katanya dia mengenalku karena aku bosnya."
Diana dan Bima saling pandang, kini mereka tahu siapa perempuannya yang mengantarkan Raka.
"Itu artinya dia karyawan di pabrik! Kita harus segera memberikan uang padanya agar tutup mulut," ujar Bima langsung berpikir dengan cepat.
"Aku setuju," sahut Diana menyetujui usulan sang suami. Sebenernya ia paling anti dalam suap menyuap, tetapi karena ini demi anak dan perusahaan, ia setuju.
****
Sementara Kama, ia tengah melewati jalanan yang di apit oleh sawah. Ia mengendari motor dengan kecepatan tinggi, berharap bisa segera sampai di rumah. Hingga motor itu berhenti di halaman luas tanpa pagar. Nisa mematikan mesin motornya kemudian di dorong masuk ke dalam rumah.
"Buna!" panggil Seorang anak perempuan yang mengenakan pakaian tidur. Ia berlari menghampiri Nisa, kemudian memeluk kakinya.
Nisa berjongkok, menyejajarkan diri dengan Meena. Ia membalas pelukan Meena kemudian memberikan kecupan di seluruh wajah sang anak. Rasa lelah seharian bekerja terbayar saat melihat senyum ceria dari sang anak.