Chereads / Persimpangan Cinta / Chapter 3 - Bab 3. Kairo

Chapter 3 - Bab 3. Kairo

Kama mengajak Meena masuk ke dalam kamar, kemudian menyuruhnya menunggu di atas ranjang. Sementara ia masuk ke dalam kamar mandi untuk bersih-bersih dan mengganti pakaian. Setelah itu, Kamaikut berbaring di samping Meena. 

Terlihat mata belo Meena sudah sayu, mulutnya beberapa kali menguap. Anak kecil itu juga sudah beberapakali menggosok matanya. Menandakan jika ia sudah sangat mengantuk. 

"Sekarang baca do'a dulu sebelum tidur. Meena udah hafal 'kan?" Kama meraih tubuh kecil itu ke dalam dekapannya. 

Meena mengangguk kemudian mulai merapalkan do'a sebelum tidur. "Bismikallaahuma ahyaa wa bismika amuut." Meena mengucapkannya dengan cadel. 

"Sekarang matanya merem," ujar Kama. Ia menepuk-nepuk bokong Meena supaya sang anak segera masuk ke dalam mimpi. 

Tidak perlu menunggu lama, Meena sudah tertidur pulas. Kama mengecup kening Meena beberapa kali kemudian mengusap rambutnya. "Maafin Bunda, Sayang. Kamu pasti sudah sangat mengantuk karena menunggu Bunda terlalu lama," ujar Kama dengan sendu.  

Kama membuang napas secara kasar, kemudian beranjak dari tempat tidur. Ia masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil wudhu, setelah itu ia menunaikan salat isya. Selesai salat Kama keluar dalam kamar, berjalan menghampiri ibu dan bapaknya yang kini tengah menonton siaran televisi. 

"Lembur lagi, Am?" tanya Rima, ibunya Nisa. 

"Iya,Bu. Di pabrik lagi banyak masalah." Kama ikut duduk di samping Rima. 

"Makan dulu, Am. Jangan membiarkan perut kosong," ujar Dani, bapaknya Nisa.

"Iya, Pak," jawab Nisa patuh.

Kama bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke arah dapur, mengambil piring di rak lalu mengisinya dengan nasi dan lauk pauk yang sudah di masak Rima. Setelah itu, ia kembali duduk di samping ibunya. 

Nisa makan sambil menonton berita yang merupakan acara kesukaan Dani.

Deg!

Mata Kama melebar, dengan mulut menganga. Jantungnya berdegup kencang saat melihat laki-laki yang ada di dalam layar televisi. "Hebat si Naren, masih muda udah jadi Hafizh Qur'an."

Rima menatap kagum laki-laki yang ada di dalam layar tersebut. "Ibu bakal senang kalau punya menantu kayak dia," ujar ibu lagi sambil menoleh ke arah Kama.

Kama hanya tersenyum untuk menutupi luka di hatinya. Buru-buru ia menghabiskan semua makanan yang ada di atas piring. Setelah itu, ia pamit kepada kedua orang tuanya untuk masuk ke dalam kamar.

Rima dan Dani yang tidak curiga dengan apapun hanya bengong melihat anaknya yang terlihat buru-buru. Di dalam kamar, Kama merebahkan diri di sisi Meena.

Ia menatap dalam wajah polos sang anak, kemudian mengusap-usap pipi Meena dengan jari telunjukny lembut. "Maafkan Bunda, Nak. Karena sudah membawamu ke dalam dunia yang kejam ini. Menjadikanmu bahan ejekan orang-orang."

"Lalu bagaimana jika suatu hari kamu tahu dengan yang sebenarnya? Kamu pasti akan merasa sangat sedih," gumam Kama lirih. 

Butira air mata sudah berjatuhan dari mata yang kini terlihat sendu. "Maafkan Bunda karena kamu tumbuh di rahim wanita penuh dosa, andai saat itu Bunda tidak kuliah di Jakarta, mungkin semua ini tidak akan terjadi menimpamu."

Kama sudah menangis sesegukkan. Ia membekap mulut agar tangisnya tidak terdengar oleh Meena. Setelah puas menangis, meratapi nasib yang menimpa dirinya. Nisa mulai terlelap karena lelah.

***

Sementara di sudut kamar lainnya, Naren tengah berbincang dengan kerabatnya melalui sambungan telepon. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk. Segera ia berjalan ke arah pintu kemudian membuka pintu. Terlihat Sifa, mamanya Naren.

"Ada apa, Ma?" tanya Naren sopan.

"Ayah sedang menunggu kamu di ruang kerjanya," jawab Sifa. 

Naren menaikan satu alisnya merasa bingung. Tidak biasanya sang ayah meminta bertemu di malam hari. Namun, walaupun bingung ia tetap mengiyakan permintaan ayahnya.

"Iya, Ma."

Naren meminta izin terlebih dahulu untuk memutuskan telponnya dengan seseorang di sebrang sana. Dan mama menyetujui itu, ia segera turun ke bawah menemui sang suami. Sementara Naren kembali masuk ke dalam kamar, kemudian menempelkan kembali ponsel ke telinga.

"Halo, Yan. Mohon maaf, aku tutup dulu teleponnya. Aku ada keperluan mendadak."

"Iya enggak apa-apa, ya sudah sana temui Ayahmu dulu," jawab seseorang di sebrang sana.

"Iya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah sambungan terputus, Naren turun ke bawah. Menyusul sang mama yang sudah terlebih dahulu kembali ke bawah. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu saat sampai di depan ruang kerja ayahnya.

"Masuk," ucap Ayah mempersilahkan. 

Setelah mendengar izin dari sang ayah, Naren masuk ke dalam kemudian duduk di sebrang mama. Ia diam menunggu sang ayah membuka suara. Dika, ayah Naren menyimpan beberapa map di atas meja.

Membuat Naren menaikkan satu alisnya merasa bingung. Ayah yang mengerti dengan kebingungan anak semata wayangnya itu, ia pun angkat suara. "Bukalah, itu beberapa CV. Kamu pilihlah salah satu."

Naren menghela napas kasar. "Maaf, Ayah. Aku tidak bisa," ucapnya penuh penyesalan. 

"Kenapa?" tanya Mama. 

"Kalian tahu sendiri, aku sedang mencari perempuan itu. Aku harus tanggung jawab atas kesalahanku di masa lalu," ujar Naren memberi pengertian. 

"Tapi mana? Sampai saat ini kamu belum menemukan pentunjuk sama sekali," tanya Ayah penuh penekanan. 

"Aku masih berusaha, Ayah. Maka dari itu aku meminta do'anya dari kalian. Agar pencarianku membuahkan hasil," ujar Naren dengan suara rendah. 

"Kami selalu mendoakanmu, Nak. Namun, bagaimana jika perempuan itu sudah memiliki keluarga? Kamu juga harus berumah tangga, kemudian memberikan Mama cucu." 

"Jika dia sudah menikah ya sudah. Setidaknya aku tahu dulu keadaannya. Aku tidak akan menikah sampai menemukan perempuan itu. Lagi pula bagaimana jika perempuan itu mengandung? Itu artinya Mama sudah memiliki cucu darinya." 

"Kalaupun dia hamil, maka nasabnya bukan atas namamu. Tapi nasab ibunya, lalu kepada siapa kamu akan mewariskan hartamu?" 

"Walaupun bukan nasabku, tetapi ia tetap darah dagingku. Cucu Mama juga!"

Ayah menghela napas melihat perdebatan anak dan istrinya. "Sudah-sudah jangan berdebat. Karena Naren yang menjalaninya, maka biarkan Naren mengambil keputusan sendiri."

"Tapi, Yah ...,"

"Sudah, kamu diam," ujar Dika kepada Sifa. Kemudian ia menoleh ke arah Naren. "Ayah bangga karena kamu mau bertanggung jawab. Namun, tidak ada salahnya kamu membaca dulu CV-nya."

"Mungkin saja, di antara mereka ada yang membuat hatimu bergetar. Jikapun tidak ada, Ayah tidak akan memaksa. Walaupun begitu, Ayah tetap berharap kamu segera menikah. Memberikan keturunan untuk keluarga kita." 

"Terima kasih, Ayah. Karena sudah mau mengerti, aku akan membacanya di kamar. Seusai dengan apa yang Ayah minta," ucap Naren kepada sang ayah. Kemudian ia menoleh ke arah Mamanya. "Ma, maafkan Naren yang sudah membuatmu sakit. Maaf karena sudah berbicara dengan nada tinggi, Naren salah."

Sifa bangkit, kemudian memeluk Naren. "Tidak, Nak. Mama yang salah karena sudah memaksakan kehendak. Apapun pilihan kamu, selama itu masih di jalan Allah SWT. Maka, Mama akan selalu mendukungmu."

Naren membalas pelukan sang mama. Hingga persiteganggan itu menghilang, berganti dengan canda dan tawa.