Di sudut yang lain, pertempuran dua saudara perguruan juga telah menanjak makin tinggi. Putut Ancar menggunakan kelincahannya menerjang dada Jalak Ireng yang terbuka. Namun lawannya itu dengan gesit mendoyongkan tubuhnya kebelakang serta dengan bertumpu menggunakan kedua tangannya, telah mengangkat kedua kakinya untuk menyerang dagu kakak seperguruannya itu.
Kini giliran Putut Ancar yang mendapat serangan, dengan gerakan naluri kakinya menotol tanah membuat badannya tergerak ke belakang.
Mendapati serangannya dapat dihindari, Jalak Ireng yang telah bertumpu kembali dengan kakinya lantas meloncat serta menendang kepala kakaknya itu. Sekejap kaki itu akan mengenai kepala, tangan berotot Putut Ancar menangkap serta membanting tubuh adik seperguruannya. Namun dengan gesitnya Jalak Ireng memutar tubuhnya yang masih di udara dan menendang menggunakan kaki kirinya. Serangan itu membuat Putut Ancar melepaskan cengkeramannya, serta membuat Jalak Ireng terhindar dari cedera.
"Ternyata kau tidak berada jauh diatasku kakang." Ucap Jalak Ireng, yang menyunggingkan senyum di bibirnya. Namun saat dia melihat Wilis yang berdiri bebas, hatinya telah mengerut.
"Kurang ajar, setan itu mampu mengalahkan kakang Suro Adikoro. Bila dia turun kemari aku akan binasa." Desis Jalak Ireng dalam hati.
"Jangan khawatir, adi Jalak Ireng. Ini akan menjadi pertarungan kita berdua." Kata Putut Ancar, yang mampu membaca pikiran Jalak Ireng." Kisanak itu biarlah menjadi penonton yang baik."
"Hahaha biar dia turun gelanggang. Aku tidak akan gentar. Malahan, sekali tepuk 2 lalat ku dapat." Kata Jalak Ireng, menutupi kegelisahannya.
Mendengar perkataan itu, Putut Ancar maupun Wilis tersenyum dalam hati.
Sementara itu keadaan yang parah sudah di derita oleh Ki Werdi. Kekalahan dari pemimpinnya Ki Boyo Putih membuat dia lengah untuk sesaat dan yang sesaat itulah yang mengakibatkan sebuah tusukan dari senjata Ki Demang Wilangan, telah mengantarkan nyawanya ke alam kelanggengan.
"Terpaksa aku membunuhnya." Desis ki Demang, dengan nada penyesalan.
"Sudahlah, Ki Demang. Jika Ki Demang tidak berbuat begitu mungkin kitalah yang menutup mata selamanya." Sahut Ki Aran yang berjongkok dan mengobati luka pada lengannya.
Pada sisi yang lain pertempuran angkatan tua pun telah merambah aji pamungkasnya. Ki Menak Kayup dengan sikap sempurna telah memusatkan nalar serta budinya. Aji yang selama ini terus diasah sudah manjing dan menyeruak kepermukaan. Tangannya yang menguncup di depan dada sudah bergetar hebat.
Sebuah angin kecil yang tiba-tiba muncul dari ubun-ubunnya dan bergerak ke depan, makin mengembang dan meninggi setinggi pohon kelapa serta terus berputar.
"Aji Cleret Tahun." Desis Wilis, yang berdiri agak jauh dari tempat itu.
Sementara pemimpin pedepokan Kali Bening Kiai Bergota, juga dengan mantap mengungkap aji pamungkasnya, sebuah aji yang berintikan tenaga api. Telapak tangan orang tua itu bercahaya merah membara.
Dengan teriakan dari keduanya, hentakan tenaga itu saling berbenturan. Aji Cleret Tahun setinggi pohon kelapa yang mengangkat segala apa yang ada didepannya serta seleret warna merah membara dari Aji Tapak Geni, saling mendesak.
Dan sekali lagi Alas Saradan telah bergetar hebat. Debu daun serta ranting telah berhamburan ke segala penjuru.
Selesainya asap debu itu perlahan lahan mulai menipis, sebuah pemandangan yang sangat mengerikan terlihat. Ki Menak Kayup yang masih berdiri dengan kulit terkelupas akibat luka bakar serta mata melotot yang hampir keluar dari rongga matanya, memandang Kiai Bergota yang jatuh bertelekan kedua tangannya.
"Akhirnya kau berlutut di depanku Kidang Gumelar, hahaha....." Tetapi kemudian tubuh itu pun ambruk dan tidak berdiri untuk selamanya.
"Bagaimana keadaan, kiai.?" Ucap Wilis, yang telah berada di samping Kiai Bergota dan membantunya duduk.
"Tidak apa, ngger. Hanya sesak melanda dadaku." Jawab Kiai Bergota, yang segera bersila serta memusatkan akal dan budinya untuk mengatur pernapasannya.
Kekalahan Ki Menak Kayup, membuat kegelisahan di dada Ki Jalak Ireng, oleh sebab itu dia dengan ganas serta membabi buta menyerang Putut Ancar.dan saat yang dirasa menguntungkan, Jalak Ireng mencabut pisau yang terselip di sabuk pinggangnya. Pisau demi pisau tercabut dan dilemparkan ke arah kakak seperguruannya, sampai membuat lawannya itu menghindar terus menerus. Di waktu yang tepat itulah maka Jalak Ireng dengan sebuah loncatan panjang berusaha kabur dari tempat itu serta menyelinap di lebatnya semak belukar.
Mengetahui bahwa Jalak Ireng melarikan diri, Putut Ancar bergerak mengejar adik seperguruannya itu.
"Tidak usah kau kejar, Ancar." Suara Kiai Bergota menghentikan langkah Putut Ancar.
Dengan patuhnya murid tertua asal pedepokan Kali Bening itu berjalan kembali di mana gurunya berdiri di samping Wilis. Begitu pula dengan Ki Demang Wilangan serta para pengiringnya, berjalan mendekati para penolongnya.
"Terima kasih kisanak semuanya yana sudah melepaskan kami dari maut yang hampir menerkam nyawa kami." Ucap ki Demang, sambil menunduk hormat.
"Itu berkat anak muda ini, Ki Demang." Sahut Kiai Bergota, yang tersenyum kearah Ki Wilis.
Merasa dijadikan perhatian banyak orang, Ki Wilis dengan menunduk hormat lantas membalas.
"Ah tetapi Jika kiai tidak datang, mungkin aku akan di hempaskan oleh Aji Cleret Tahun milik Ki Menak Kayup."
"Sudahlah, jikalau begitu dengan amat sangat aku ingin mempersilahkan kisanak semua singgah di padepokanku yang tidak begitu jauh dari tempat ini." Pinta Kiai Bergota, "Tentunya sesudah menyelenggarakan mereka yang tewas."
Maka rombongan Ki Demang Wilangan dan Ki Wilis menyetujui permintaan Kiai Bergota, setelah menguburkan mayat Ki Menak Kayup serta ki Suro Adikoro, Ki Werdi dan tiga anak buahnya. Sedangkan kawanan perampok yang masih hidup serta tidak berdaya ikut dibawa ke pedepokan Kali Bening.
Malam sudah menyelimuti luasnya mega, kegelapan telah muncul dihiasi indahnya kerlip-kerlip bintang. Para cantrik pedepokan Kali Bening dengan sigap menyalakan obor di samping regol dan beberapa bangunan juga mulai terang dengan adanya diyan asal getah biji jeda. Pada bangunan utama pedepokan, Kiai Bergota sudah menjamu para tamunya itu.
"Jadi angger sudah berhadapan dengan Jalak Ireng.?"
"Iya, kiai. Saat itu di barat tepian kali berantas tanpa sengaja kami bersitegang karena dia membuat onar." Kata ki Wilis.
"Anak itu dulunya seorang anak yang baik, tetapi semenjak pamannya yang datang dari Blambangan menemuinya, perubahan itu makin nyata. Serta baru saat terakhirlah aku mengetahui bahwa pamannya ternyata Ki Menak Kayup." Terang Kiai Bergota.
Sementara itu Ki Demang Wilangan menggeser tempat duduknya serta menghadap Ki Wilis.
"Angger jikalau boleh mengetahui, ke manakah tujuanmu.?"
"Aku ingin mengunjungi kerabat yang berada di Kadipaten Prana Raga." Jawab Ki Wilis.
"Benarkah itu.? Jika begitu kita satu tujuan, dan alangkah menyenangkan bila angger Wilis berjalan bersama kami." Raut wajah Ki Demang terlihat cerah.
"Bila Ki Demang dan kakang Aran menghendaki begitu, dengan senang hati aku menerima ajakan Ki Demang." Kata Ki Wilis.
"Baiklah, besok kita akan berangkat bersama."
"Tetapi bila kalian pulang lewat sini, kalian wajib mampir di gubuk kecil ini." Pinta Kiai Bergota.
Perkataan Kiai Bergota membuat semua orang yang berada di ruang bangunan utama itu, tertawa renyah dan lepas.
Dan malam pun makin larut, sang candra pun beranjak kebarat mengikuti perputaran waktu. Maka Kiai Bergota dengan tulus menyilahkan tamunya untuk beristirahat di gandok sebelah kanan.
Sang waktu pun terus berjalan sesuai kodratnya, gelapnya malam sekarang sudah digantikan oleh sinar matahari yang memancar dari langit timur. Pagi yang cerah telah datang, para penghuni pedepokanpun sudah terbangun lebih awal dan dengan giat telah bekerja sesuai perannya masing-masing.
Ki Demang beserta rombongannya yang akan melanjutkan perjalanan, sejak pagi telah selesai berbersih diri dan berkumpul di bangunan utama pedepokan.
"Oh kalian telah bersiapkah.?" Suara Kiai Bergota, memecah kesunyian," Tetapi marilah sarapan dahulu, kasihan para mentrik telah menghidangkan hidangan di ruang dalam."
Karena tidak ingin mengecewakan Kiai Bergota serta para penghuni pedepokan, maka Ki Demang serta yang lainnya menerima ajakan Kiai Bergota.
Dan setelah selesai menyantap sarapan di pagi hari itu, Ki Demang pun pamit undur diri bersama ki Wilis, Ki Aran dan dua pengiringnya kepada penghuni pedepokan.
Dengan di antar Kiai Bergota dan Putut Ancar sampai depan regol pedepokan, maka lima orang yang akan menuju ke kadipaten Prana Raga itu membedal kuda tunggangan mereka.