Malam itu pun berlalu tanpa ada sesuatu yang membuat curiga dan semuanya berjalan dengan semestinya sampai secercah sinar sang surya muncul di ufuk timur.
Hujan yang turun pada malam itu, membuat pagi hari ini tampak semakin tenteram dipadukuhan itu. Para penghuni padukuhan mulai terbangun dan bekerja seperti hari-hari sebelumnya.
Petani dengan memanggul cangkul serta sebilah arit yang tergenggam ditangan kanan dan tidak lupa tudung yang terbuat dari anyaman bambu sehingga melindungi kepala petani yang berangkat ke sawah-sawah mereka.
Para pedagang dengan barang dagangannya pun mulai meramaikan jalan padukuhan itu.
Bunyi senggot didekat pakiwan berderit dan bunyi ijuk yang di ikat menyatu untuk menyapu pekarangan juga riuh terdengar pada kanan-kiri pemukiman itu.
Pada gardu parondan ki Mahesa Anabrang sudah lama terjaga serta duduk dipinggir parondan.
Begitupun dengan Wilis yang juga sudah terjaga serta menggeliatkan tubuhnya.
"Cerahnya hari ini." Desis Wilis.
"Benar kisanak, dan air hujan malam tadi membuat pagi ini semakin indah.Para petani gembira akan melihat sawahnya yang sudah terisi oleh air hujan semalam." Kata Damar.
"Oh kau sudah bangun angger Damar.?"
"Iya Ki Mahesa, dan aku akan segera melanjutkan perjalananku yang tertunda semalam akibat hujan." Sahut Damar, yang sudah merapikan pakaiannya.
"Mengapa buru-buru angger.?, hari masih terlampau pagi."
"Mumpung masih pagi, Ki Mahesa dan ada sedikit keperluan dipadukuhan depan setelah padukuhuhan ini." Kata Damar.
"Baiklah ngger mudah-mudahan dilain waktu kita bisa bertemu lagi."
Maka Pemuda yang mengaku Damar itu bergerak pergi untuk melanjutkan perjalanannya.
Sebelum kepergian anak muda itu, ki Mahesa Anabrang serta Wilis masih terduduk digardu parondan ujung padukuhan itu. Sementara itu Adigama masih tertidur di balik kain panjangnya.
"Apakah kita berangkat sekarang, Wilis.?" Tanya ki Mahesa Anabrang.
Nanti saja paman, kasihan Adigama, dia tentu sangat kelelahan dengan perjalanan berkuda ini." Jawab Wilis, sembari memperhatikan paras polos Adigama.
Ki Mahesa Anabrang juga memperhatikan anak angkatnya dan sembil tersenyum.
"Anak ini sebenarnya memiliki badan yang baik serta sangat bagus bila mendapat gemblengan olah kanuragan." Ucap Ki Mahesa Anabrang pelan.
"Bukankah paman mampu mengajarinya.?" Kata Wilis sambil mengenyeritkan keningnya.
Orang tua itu menghela napas, kemudian katanya.
"Memang pernah aku mengajarinya, tetapi terdapat satu keganjilan dan keanehan ."
"Maksud paman.?"
Dan Ki Mahesa Anabrang mulai menceritakan bagaimana dia mengajari Adigama dan munculnya kejadian-kejadian aneh itu. Kejadian yang berawal ketika dirinya ingin menuntun Adigama Bayu Shankara dalam ilmu kanuragan untuk bekal hidupnya kelak.
Kala itu di saat pagi hari, Ki Mahesa Anabrang memanggil Adigama dan mengajaknya ke belakang rumahnya yang lapang. Disitu Ki Mahesa Anabrang memperagakan beberapa gerak dasar olah kanuragan dari jalur perguruannya, setelah selesai beliau mendekati Adigama dan bertanya, apakah Adigama tertarik dengan olah kanuragan yang baru saja Ki Mahesa Anabrang peragakan.
Ternyata Adigama kagum dengan apa yang diperagakan oleh ayah angkatnya itu, dan mau untuk diajari. Maka karena itu, pada malamnya Ki Mahesa mengajak Adigama kembali kebelakang rumahnya yang lapang yang berada dipadukuhan Pudak.
Awalnya gerak demi gerak sudah beliau peragakan serta ditiru oleh anak itu. Tapi ketika malam makin larut, tiba-tiba dikesibukan Ki Mahesa Anabrang melatih anak itu, sayup-sayup sebuah desir halus terdengar.
Tetapi Ki Mahesa Anabrang tidak memperdulikan hal itu serta terus melatih Adigama. Hingga sekali lagi desiran halus itu timbul lagi serta semakin jelas.
Dan ketika itu tiba-tiba Adigama jatuh pingsan tidak sadarkan diri. Tentu saja Ki Mahesa Anabrang secara naluri langsung bergerak dengan cepat seperti burung sikatan untuk menangkap tubuh anak angkatnya itu. Tetapi sebuah energi yang tidak terlihat menghempaskan tubuhnya, sampai tubuh orang tua itu terjerembab ditanah.
Didalam rasa terkejutnya, Ki Mahesa Anabrang kembali terbelalak ketika dari ubun-ubun anak muda itu berkelebat sesosok bayangan yang menyerupai hewan bersayap sebesar gajah.
Dan bayangan itu bersuara keras kemudian terbang tinggi dan menghilang menimbulkan angin yang kencang.
"Apakah aku sedang bermimpi.?" Ucap Ki Mahesa Anabrang yang berusaha bangkit berdiri serta berjalan mendekati anak angkatnya dan memeriksa keadaannya.
"Syukurlah dia tidak apa-apa." Kata Ki Mahesa Anabrang, yang kemudian membawa anaknya masuk kedalam rumah.
Pagi harinya sehabis Adigama terbangun, maka Ki Mahesa Anabrang bertanya kejadian tadi malam pada anak itu. Tapi ternyata Adigama. Tidak ingat sedikit pun dan Ki Mahesa Anabrang tidak ingin memaksa anak angkatnya untuk mengingat kembali kejadian semalam.
"Baiklah nanti malam kita akan melanjutkan latihan olah kanuragan seperti yang ayah tunjukan dan ajarkan kemarin."
Hari kembali menjadi malam serta mereka kembali berlatih olah kanuragan. Dan tepat disaat malam mencapai puncaknya. Kembali kejadian malam kemarin terjadi lagi.
Sosok itu semakin terlihat nyata, sebuah burung sebesar gajah serta terdapat mahkota dikepalanya.
Seekor burung garuda menggunakan mahkota terbuat dari permata yang sangat indah. Dengan mata yang memancarkan kewibaaan serta keperkasaan burung ajaib itu mengepakan sepasang sayapnya menghasilkan angin dahsyat yang bisa memporak-porandakan apa pun yang ada dibelakang tempat tinggal Ki Mahesa Anabrang.
sementaraitu Ki Mahesa Anabrang, dengan sekuat tenaga menjaga keseimbangannya agar tidak tersapu oleh angin akibat kibasan sayap yang disebabkan oleh burung itu.
"Kkkwaaaaak..!" Suara mahluk itu telah mengoyak udara dimalam itu.
Suara yang seolah-olah mengandung gelombang Ajian Gelap Ngampar itu membuat jantung Ki Mahesa Anabrang bagaikan akan tanggal dari tangkainya. Dengan sekuat tenaga wadag dan tenaga cadangan orang tua angkat Adigama bertahan serta berusaha menutup segala lubang panca indranya.
Didepan terlihat burung garuda bermahkota permata itu terbang mengangkasa dengan tinggi dua tombak danberputar-putar diatas tubuh Adigama yang tidak sadarkan diri. Tidak beberapa lama ,muncul kabut tipis di sekitar tubuh anak itu ,yang semakin lama menjadi pekat hingga burung garuda itu pun tidak terlihat.
Apa yang terjadi itu telah membuat debar jantung Ki Mahesa Anabrang berdetak makin cepat, dan dengan sangat khawatir mencemaskan keselamatan anak angkatnya.
Tetapi sebuah suara yang berasal dari dalam kabut, membuat hati orang tua itu sedikit lega.
"Tidak perlu kau khawatir dengan keselamatan anak ini. Dan ingatlah, jangan kau ajarkan anak ini dengan ilmu olah kanuragan dari perguruanmu, biarlah dia menerima tuntunan olah kanuragan dan kajiwaan itu dari sebuah kitab yang bernama Kitab Cakra Paksi Jatayu."
"Siapakah kau.?" Tanya Ki Mahesa Anabrang, tanpa dia sadari.
"Aku putra Gunapriya Dharmapatni dan putra dari Sang Ratu Maruhani Sri Dharmodayana Warmadewa." Jawab suara itu yang penuh dengan wibawa.
Mendengar suara itu menyebutkan putra Gunapriya Dharmapatni dan Sang Ratu Maruhani Sri Dharmamodayana, membuat Ki Mahesa Anabrang menjatuhkan dirinya duduk bersila layaknya orang yang sedang melakukan menyembah.
"Mohon ampuni sikap deksura hamba, gusti Prabu." Ucap Ki Mahesa Anabrang.
"Sudahlah, angger. Aku kini bukan seorang raja, dan kini aku hanyalah seoarang hamba yang diciptakan oleh Pencipta yang berada dialam kelanggengan. Ingatlah janganlah kau tuntun dan kau ajari anak itu dengan jalur ilmu dari perguruanmu, walau sebenarnya jalur ilmu perguruanmu juga masih sejalur dari ilmuku. Karena sebenarnya anak ini telah digariskan menerima tuntunan dari Kitab Cakra Paksi Jatayu, yang akan tiba pada waktunya." Kata suara berasal dari dalam kabut itu.
"Kasinggihan dawuh gusti Prabu, tentu hamba akan mematuhi perintah dan sabda gusti Prabu."
"Baiklah, aku percaya padamu ngger, jaga serta rawatlah anak ini dengan baik."
Usai perkataan itu, kabut itu memudar dan sesosok bayangan putih berada diatas punggung garuda yang secepat tatit mengangkasa ke dirgantara.
Setelah kepergian sosok bayangan putih yang mengaku putra Prabu Mahendradatta dari Kerajaan Bedahulu, maka Ki Màhesa Anabrang mendekati putra angkatnya serta membawa tubuh anak itu masuk kedalam rumah.
"Kalau tidak salah, putra Mahendradatta dan Sang Ratu Mahurani Sri Dharmamodayan itu bukankah Prabu Airlangga, paman.?" Tanya Wilis, selesai mendengarkan cerita aneh tentang diri Adigama Bayu Shankara.
"Benar Wilis, walau putra Prabu Mahendradatta ada tiga orang, namun yang memiliki lambang garuda terbang hanya prabu Airlangga atau Resi Gentayu, yang moksa.
"Apakah ini ada hubungannya dengan pesan dari guru, yang meminta paman dan Adigama Bayu Shankara ke Pertapaan Pucangan.?" Desis Wilis. Yang berkata pelan seolah mengatakan pada dirinya sendiri.
"Entahlah."
Tidak lama, Adigama menggeliatkan tubuh dan bangun dari tidurnya.
"Kau sudah bangun, Adigama.?"
"Iya ayah, ah hari sudah begini panasnya, mengapa ayah dan kakang Wilis tidak membangunkanku.?" Ucap anak itu dan dengan polosnya Adigama mengucek ngucek matanya.
"Tidak apa Adigama, kau terlihat lelah serta tidurmu begitu lelap."
"Namun kini aku sudah baikan, ayah. Dan aku telah siap untuk menunggangi Jatayu."
Wilis mengerutkan keningnya. "Jatayu.. ?", Desis Wilis.
"Iya kakang, kuda hitam itu bila dipacu oleh ayah, kencangnya bagai burung garuda kendaraan Batara Wisnu." Kata Adigama.
Ki Mahesa Anabrang hanya tersenyum mendengar ucapan anak angkatnya itu.
"Baiklah nanti kita akan berlomba, apakah benar Jatayu itu lebih cepat dari kudaku Bayu Turangga." Tantang Wilis, yang disambut tawa Ki Mahesa Anabrang.
"Wah nama kudamu begitu mengagumkan, Wilis." Ucap Ki Mahesa Anabrang, yang masih tetap tersenyum.
"Hahaha, paman. Tanpa sadar aku juga memberi nama pada kuda tungganganku dengan nama itu." Sahut Wilis.
Karena hari semakin terang dan matahari semakin tinggi, ketiganya kemudian bergegas merapihkan diri dan beranjak naik ke kuda masing-masing untuk melanjutkan perjalanan.
Dua ekor kuda dengan perlahan menaiki tangkis sungai. Penunggangnya seseorang berperawakan kekar dengan tombak di punggungnya. Sedangkan yang satu, seorang perempuan menggunakan pakaian merah tua serta sebuah pedang panjang yang berada disamping pinggangnya.
Diatas tangkis terlihat bangunan kecil yang terbuat dari bambu kuning menggunakan atap rumbia terlihat tampak sepi.
"Apakah kakang Damar belum kembali.?" Ucap sosok lelaki itu, yang sudah turun dari kudanya.
"Mungkin dia masih dalam perjalanan menuju kesini kakang." Sahut si wanita.
"Jika begitu aku akan ke sungai, badanku penuh dengan debu." Kembali lelaki itu berkata.
"Baiklah kakang, mungkin akan lebih baik apabila aku akan menunggu disini."
Lelaki itu pun lalu berjalan kembali ke arah sungai yang agak berwarna coklat, karena hujan semalam.
Sedangkan si wanita, dengan menyandarkan tubuh ditiang bangunan itu untuk mengurangi rasa lelahnya. Namun wanita itu segera berdiri ketika dari balik pohon, seseorang telah muncul.
"Oh kakang Damar, aku kira siapa." Ucap perempuan itu.
Orang yang disebut Damar itu tersenyum serta duduk pada amben dekat wanita itu.
"Kau sendiri, Sekar.?"
"Tidak kakang, aku bersama kakang Menak Cokro. Dia sedang membersihkan diri disungai." Jawab Sekar.
"Oh ya kakang, bagaimana hasil pengamatan kakang selama di Demak.?" Tanya Sekar.
"Disana telah banyak perubahan setelah sepeninggal Raden Lembu Kenanga, sekarang tampuk pemerintah berada ditangan putra mahkota, Raden Pati Unus."
"Apakah ini waktu yang baik untuk menggerakkan pasukan dari Puger kakang.?"
Sesaat Damar terdiam, sebelum menghela napas maka Damar memandang arah sungai, dimana Menak Cokro berjalan sambil menyeka air yang masih basah dimukanya.
"Ah kakang Damar, sudah lamakah kakang datang.?"
"Baru saja adi Menak Cokro, duduklah."
"Bagaimana kakang, setelah pergi ke Demak.?"
Dan sekali lagi Damar menjelaskan hasil kepergiannya untuk menyelidiki Demak yang merupakan ancaman bagi kadipaten Puger. Terlihat keduanya mengangguk-anggukan kepala mereka selesainya mendengar penjelasan Damar, yang ternyata Damar adalah seorang prajurit telik sandi Kadipaten Puger.
"Apakah kita tidak siap untuk menyerang dan menggempur Demak, kakang.?" Tanya Menak Cokro.
"Sangat sulit adi Menak Cokro, banyak dari kadipaten dan tanah perdikan yang berada didalam kekuasaan Demak.." kata Damar.
"Tetapi kakang Damar, Kanjeng Adipati juga sudah menjalin hubungan kerjasama dengan Kadipaten Penarukan dan Kadipaten Blambangan, kakang.? Dan itu merupakan sebuah penggabungan pasukan segelar sepapan yang sangat besar." Ucap Sekar menambahkan.
"Dan jangan lupa beberapa pedepokan tlatah bang wetan dan juga para bekas pasukan Kediri." lanjut Menak Cokro.
"Memang dengan penggabunggan pasukan, jumlah pasukan itu cukuplah besar, tetapi apakah kalian tidak memandang ke Kadipaten Ujung Galuh dan Kedaton Giri.?, apakah kalian lupa harus memandang Kadipaten Japanan yang merupakan daearah terdepan Demak yang disebut benteng terdepan dari Kerajaan Demak." Ucap Damar.
"Selain itu Terung pun tentu tidak akan tinggal diam begitu saja, Karena Adipati Terung yang juga disebut Raden Kosen itu sudah berada di Demak dan dukungan pemerintahan keturunan kakaknya, Raden Patah atau Raden Lembu Kenanga." Kembali Damar berkata.
"Lalu bagaimana rencana selanjutnya kakang.?"
"Aku akan menetap disini, sekaligus melakukan penyelidikan di Kadipaten ini. Siapa tahu ada peluang untuk membujuk para pembesar serta bangsaawan di kadipaten ini."
"Baiklah kakang, namun ijinkan kali ini aku yang menemani kakang." Ucap Sekar, dengan suara agak bergetar.
Damar memandang wajah wanita itu, dan itumembuat wajah wanita itu bersemu merah dan menunduk.
"Bertanyalah pada kakangmu, apakah dia memperbolehkan jika adiknya yang seorang wanita yang cantik tinggal gubuk reot dan di tempat yang seperti ini."
Mendengar itu, Sekar memandang kakangnya. Tetapi sebelum dia menggerakkan bibirnya, kakangnya ternyata tersenyum serta berkata.
"Tentu saja aku tidak keberatan jika adikku tinggal bersama denganArjunanya..."
Namun sebuah cubitan sudah menempel tepat dipinggangnya dan membuat Menak Cokro menghentikan ucapan yang belum tuntas itu.
"Aduh...sudah Sekar, akukapok..."
Pemandangan itu membuat Damar tersenyum.