Suasana yang tenang itu menambah pemusatan nalar budi Empu Citrajati dan Resi Chandakara untuk melakukan lelaku khusus dalam langkah memperlancar pembuatan sebuah wesi aji sebagai pusaka untuk menunjang pewaris kitab ilmu Prabu Airlangga.
Sementara itu, di gandok yang sudah dipersiapkan untuk Adigama serta Ki Mahesa Anabrang, segera menjatuhkan tubuh mereka yang letih akibat perjalanan yang mereka tempuh. Sedangkan Ki Wilis serta Ki Ireng, keduanya duduk di ambin dalam biliknya.
"Tidurlah kakang, perjalananmu mungkin lebih lelah serta menguras tenaga kakang." Desis Ki Ireng.
"Nanti saja adi, tubuhku terasa segar sesudah tadi tersiram dinginnya air." Sahut Ki Wilis, sembari menyeruput wedang sere.
"Oh ya kakang, coba kakang ceritakan perjalanan kakang menuju tlatah wengker itu, pasti sangat menyenangkan, bukan.?"
"Hahaha, menyenangkan bagaimana adi.? Hampir saja nyawaku melayang meninggalkan tubuhku di tangan orang tua gerombolan begal ganas Bulak Sepi."
"Gerombolan Begal Bulak Sepi.?" Ulang Ireng.
"Benar, mereka menyebut diri mereka penguasa yang menguasai alas yang berada di daerahnSegaten itu." Kata Wilis.
"Siapakah mereka kakang.?" Tanya Ki Ireng.
"Namanya Ki Boyo Putih yang merupakan anak Ki Menak Kayup dari pedepokan Blambangan." Jawab Wilis, kemudian lanjutnya, "Untungnya aku dibantu oleh pemimpin pedepokan Kali Bening."
"Maksud kakang yang membantu kakang adalah kiai Bergota.?"
"Iya, dengan muridnya yang tertua, Putut Ancar."
Tak terasa ketika mendekati dini hari ...
"Kakang, beristirahatlah walaupun hanya barang sejenak. Aku akan keluar dahulu untuk memastikan pertapaan aman." Ucap Ireng, yang melangkahkan kakinya menuju pintu.
"Baiklah." Jawab Wilis.
Dan bunyi derit pintu terdengar terbuka, serta kembali tertutup sehabis salah satu punakawan resi Puspanaga, keluar berasal bilik itu.
Pagi itu ialah pertama kalinya, Adigama Bayu Chandakara merasakan segarnya udara di lereng Gunung Penanggungan. Pemuda yang masih belia itu dengan sumringah berjalan ke arah pakiwan, dan setelah sampai di pakiwan, segera dia menimba serta menuangkannya ke dalam padasan di pakiwan.
Setelah dirasa penuh maka pemuda itu berniat memasuki pakiwan, tetapi alangkah terkejutnya saat dia mendengar suara air yang diguyur dari dalam pakiwan.
"Hee, siapapun itu jangan kurang ajar.!" Suara seseorang gadis muncul dari dalam pakiwan dengan nada membentak.
"Oh. Maaf... Maaf... Aku tidak tahu apabila ada orang lain di pakiwan sepagi ini." Ucap Adigama yang langsung mengurungkan niatnya ke pakiwan dan melangkah mundur beberapa tindak serta berdiri agak jauh dari pintu pakiwan.
Sesaat kemudian munculah seorang gadis dari dalam pakiwan dengan paras cantik tetapi raut mukanya yang tidak bersahabat.
"Nimas, aku benar-benar tidak tahu jika nimas sedanf berada di dalam pakiwan." Kata Adigama.
"Ah dasar kau laki-laki hidung belang yang suka mencari kesempatan dalam kesempitan." Balas gadis yang keluar dari dalam pakiwan yang tidak lain adalah Ayu Nilamsari.
Tiba-tiba saja, sebuah tamparan dengan cepatnya mengarah ke Adigama. Adigama yang pada dasarnya pemuda yang tidak mengerti ilmu kanuragan, maka dengan polosnya tidak bisa menghindari tamparan dari Ayu Nilamsari. Dan tamparan Ayu Nilamsari dengan tepat mengenai pipinya.
"Aduuh...!" Keluh Adigama.
"Kengapa kau tidak menghindar.?" Tanya Ayu Nilamsari, yang heran serta menyesali perbuatannya yang tidak bisa mengendalikan amarahnya serta setelah melihat tamparannya dengan tepat mengenai wajah pemuda yang berada didepannya itu.
"Bagaimana caranya aku menghindar apabila gerakanmu tiba-tiba dan gerakan tanganmu begitu cepat seperti angin." Sahut Adigama sembari mengusap - usap pipinya yang tampak berbekas tangan dan kemerahan.
"Aku akan bertanya sekali lagi, apa benar kau tidak tahu kalau ada orang sedang berada di pakiwan ??" Tanya Ayu Nilamsari.
"Sungguh dan aku berani bersumpah demi yg Maha Tunggal , Jika aku kedapatan berbohong aku siap nimas tampar sepuas nimas dan diceburkan ke dalam sumur."
"Benar ?. Kau siap serta berani menerima tamparanku dan diceburkan ke dalam sumur…?"
"Hmm... Eh... Eh..." Suara Adigama terdengar gugup dan terputus - putus.
"Dasar laki-laki !, ya lagi pula aku tidak benar-benar serius dengan ucapanku." Ucap Ayu Nilamsari dengan tersenyum.
Adigama merasa lega, mengetahui amarah dan hati gadis itu sedikit melunak. Lalu tanpa mereka duga munculah suara yang sangat mereka kenal.
"Oh kalian sedang berada di sini, apakah kalian telah saling mengenal satu sama lainnya.?" Tegur Resi Chandakara.
Baik Adigama serta Ayu Nilamsari saling menggelengkan kepala mereka.
"Baiklah, biar aku perkenalkan. Adigama ini Ayu Nilamsari putri dari Empu Citrajati." Ucap Resi Chandakara memperkenalkan.
"Dan Nilamsari, pemuda yang sekarang berada di sampingmu adalah Adigama Bayu Chandakara, dia baru saja datang tadi malam bersama ayahnya, Ki Mahesa Anabrang dari Prana Raga." Lanjut Resi Chandakara.
Disaat itu keduanya saling pandang tidak sengaja, namun dengan cepat keduanya menunduk malu.
"Kenapa tiba-tiba kalian tampak malu-malu.?" Tanya Resi Chandakara dengan tersenyum.
"Oh, Tidak ada apa - apa, eyang." Sahut keduanya, secara bersamaan.
"Hahaha..., kalian menjawab dengan serempak, ternyata kalian mudah akrab. Baiklah aku akan pergi kehalaman depan." Kata Resi Chandakara, lalu Resi Chandakara membalikan badan dan melangkah meninggalkan Adigama dan Nilamasari.
Setelah Resi Chandakara sudah tidak nampak, baik Adigama dan Nilamsari masih berdiri mematung.
"Maafkan aku kakang atas perkenalan kita yang di awali dengan salah paham ini." Desis lirih Ayu Nilamsari.
"Tidak nimas, akulah yang bersalah karena aku tidak memeriksa dahulu keadaan di sekitar pakiwan. Aku meminta maaf Nimas." Balas Adigama.
"Baiklah kakang, aku akan masuk dahulu." Ucap Ayu Nilamsari.
"I..iya Nimas."
Ayu Nilamsari lalu segera bergegas beranjak dari pakiwan menuju gandok yang dia tempati. Sementara itu Adigama tanpa sadar masih memandang punggung sosok Ayu Nilamsari, gadis yang sudah menampar pipinya sampai sosok gadis itu tidak tampak.