Saat jam 10.00 pagi, Phoebe akhirnya bisa istirahat setelah selesai beres-beres. Wanita itu merasa bersyukur karena rumah majikannya itu tidak terlalu kotor sehingga mudah dibersihkan dan semua selesai dengan cepat. Dia duduk di tepi ranjang, kemudian menarik bantal untuk digunakannya bersandar.
"Beruntung aku sudah terbiasa membereskan rumah yang luas seperti ini sehingga aku tidak terlalu lelah," gumam Phoebe lalu memijat pundaknya sendiri. "Tapi pundakku sedikit pegal ... Pinggangku juga terasa panas. Dan aku juga sedikit pusing ... Apa ini adalah pengaruh karena aku sedang hamil muda?"
Phoebe meraba perutnya yang masih datar, membayangkan ada janin di sana dari hasil cintanya dengan John. Wanita itu merasa sedih kalau mengingat kisah cintanya yang begitu manis akhirnya berujung pahit dan sekarang sudah di ujung tanduk, hanya menunggu waktu kapan kandas.
"Sayang, apapun yang terjadi, mau makan terus berjuang untuk mempertahankan kamu untuk tetap berada di sisi Mama saat kamu sudah lahir nanti. Mama akan melindungi kamu, tidak akan membiarkan kamu dibawa oleh papa karena dia bukan papa yang baik," ucap Phoebe sembari mengingat sikap John yang manipulatif dan tetap mau putus dari Rachel meskipun tahu bahwa dia sedang hamil.
Drett ... Drett ...
Ponselnya yang terletak di atas meja dekat ranjang berdering dengan nada lagu milik Lana Del Rey yang berjudul Chemtrails over the country club. Dia pun segera mengambil benda canggih itu dan melihat ada panggilan masuk dari Matheo, lalu menjawabnya.
"Hallo, Matheo?"
"Kak, apa kamu baik-baik saja? Bagaimana pekerjaan mu hari ini? Apa bos mu galak sehingga kamu bekerja keras?" Metheo langsung bertanya-tanya.
Phoebe tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja dan majikanku juga sangat baik. Pekerjaan ku tidak terlalu melelahkan karena di rumah ini hanya ada aku, dia dan Alicia dan ada satu satpam," jawabnya.
"Syukurlah kalau begitu aku lega mendengarnya. Sekarang aku sedang mencari pekerjaan baru aku," sahut Matheo.
Phoebe mengerutkan keningnya. "Matheo, sebaiknya kamu lebih hati-hati. Aku khawatir jika John dan orang-orangnya menemukan kamu."
"Kamu tidak perlu khawatir, Kak. Aku akan mencari pekerjaan rumahan. Mungkin menjadi supir atau tukang kebun atau apapun. Aku menghindari tempat umum."
"Itu lebih baik ... Tapi sementara saat kamu sedang mencari pekerjaan seperti ini, kamu harus hati-hati karena aku yakin John dan orang-orangnya sedang mencari kita. Aku benar-benar tidak ingin kembali padanya."
"Kamu tenang saja, Kak. Aku bisa jaga diri. Sekarang aku akan naik bis karena naik taksi akan membuat uangku cepat habis," ucap Matheo.
"Yasudah kalau begitu, hati-hati," sahut Phoebe kemudian sambungan telepon itu terputus.
Terdiam membayangkan Matheo yang sudah terbiasa hidup dalam kemewahan atas fasilitas yang diberikan oleh John, lalu sekarang kembali hidup miskin dan harus mencari pekerjaan,harus selalu waspada, Phoebe meneteskan air mata. Dia merasa gagal sebagai kakak satu-satunya yang harus menjaga adiknya, dia merasa semua jadi berantakan karena dia tidak ingin bertahan dengan John.
"Maafkan aku, Matheo. Semua kesulitan yang kamu dapatkan karena aku," ucapnya sedih.
___
Travis sedang berolahraga di ruang workout yang tersedia di lantai dasar tepatnya berada di dekat teras samping. Pria itu terlihat begitu sexy, memakai celana pendek berwarna hitam dipadu dengan t-shirt putih yang agak basah karena dia sangat sweaty.
Drett ... Drett ...
Travis menghentikan aktivitasnya mengangkat barbel, beralih mengambil ponselnya yang terletak di atas kursi. Dia melihat ada panggilan masuk dari Rachel, lalu menjawabnya.
"Hallo, Sayang."
"Sayang, jangan katakan kalau kamu ke rumah sakit hari ini," seru Rachel terdengar mengintimidasi.
Travis tersenyum simpul. "Tidak, aku tidak ke rumah sakit. Ini hari libur untukku," ucapnya.
"Baiklah kalau begitu, sekarang kamu keluar karena aku sudah di depan rumah," sahut Rachel.
"Benarkah?"
"Hmm, sekarang aku hampir masuk rumah."
Travis segera memutuskan sambungan telepon itu dan bergegas mengelap tubuhnya dengan handuk kecil yang tersedia di sana. Dia melepas t-shirt nya yang agak basah, membuatnu bertelanjang dada lalu berjalan menuju ke arah ruang tamu.
Rachel memasuki ruang tengah, melihat Alicia yang sedang berjalan ke arah kamarnya.
"Alicia, buatkan minuman untukku," serunya datar.
"Okay," sahut Alicia segera berjalan menuju dapur.
Rachel beralih meletakkan tas branded berwarna merahnya ke sofa ruang tengah, lalu menatap Travis yang datang menghampirinya dan langsung mengecup bibirnya.
"I Miss you," ucap Travis.
"I miss you more," sahut Rachel, melingkarkan tangannya ke leher Travis. "Kenapa kamu tidak berpakaian? Apa kamu baru saja workout?" tanyanya.
"Iya, Sayang. Weekend tanpa workout terasa kurang lengkap, dan tanpa kamu juga kurang lengkap," jawab Travis kemudian mencium pipi Rachel yang mulus.
Rachel tersenyum tipis, lalu melepaskan rangkulan tangannya dari leher Travis. Dia menarik kekasihnya itu untuk duduk di sofa.
"Apa yang kamu lakukan kemarin sehingga kamu tidak menghubungi aku samasekali?" tanya Travis.
"Kemarin aku pergi ke rumah temanku untuk membicarakan bisnis online kami. Aku akan mulai menerima endorse dari produknya, itu akan membuat aku sibuk di media sosial untuk mempromosikan produk-produknya," jawab Rachel entah bohong atau tidak.
"Itu bagus, setidaknya kamu punya kegiatan. Tapi ..."
"Tapi apa?" tanya Rachel, menatap Travis yang mendadak resah.
"Jangan menerima untuk melakukan promosi bra, underwear atau apapun yang membuatmu harus terlihat sexy,* jawab Travis dengan tatapan penuh harap, menatap Rachel yang berpenampilan begitu sexy, memakai terusan dress sangat ketat sebatas lutut, tak dapat menyembunyikan dada dan bokongnya yang sexy. "Aku tidak suka kamu berpakaian ketat seperti ini. Seharusnya kamu memakai blazer atau Coat sehingga tidak ada yang melihat keseksian mu," lanjutnya.
Rachel menghembuskan napas kasar, melirik Travis yang mulai mengaturnya. "Ngomong-ngomong ini adalah tubuhku jadi aku untuk melakukan apapun sesuai keinginanku."
"Apa kamu lupa bahwa kamu adalah tunanganku?" tanya Travis.
"Aku tahu, dan aku tidak pernah lupa tentang status itu," jawab Rachel dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi itu bukan berarti kamu berhak mengatur aku. Lagi pula tampil seksi adalah hal yang umum, dan ini seperti aku mengekspresikan rasa bangga terhadap tubuhku. Tolong jangan melarang aku ... Aku milikmu, dan tampil seksi bukan berarti membuat aku terlihat bersedia menjadi milik orang lain."
"Tapi kamu akan dilihat oleh banyak orang, itu berarti tubuh seksimu bukan hal yang spesial untukku lagi karena itu juga sudah biasa dilihat orang," ucap Travis dengan kecewa dan memalingkan wajahnya. "Aku selalu ingin dijadikan pria spesial dalam hidupmu. Itu dalam artian hanya aku yang boleh melihat keseksian mu," lanjutnya.
Rachel menghembuskan napas kasar, menatap Travis yang sungguh berbeda dari John yang selalu memberinya kebebasan.
Travis terus menerus terdiam, entah kenapa dia teringat pada Phoebe yang begitu cantik dengan pakaian yang sederhana dan tidak sexy. Dia kembali melirik Rachel, membayangkan jika dia berpakaian sopan dan sederhana mungkin akan terlihat sangat anggun dan terhormat, sangat cocok bersama dia yang berprofesi sebagai seorang dokter.
'Bahkan aku melihat dia berpenampilan seperti bitch,' batinnya.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyesal memiliki tunangan yang berpenampilan seksi tidak sesuai dengan keinginanmu?" tanya Rachel dengan ketus.
"Tidak," jawab Travis dengan tersenyum tipis selalu merangkul Rachel dari samping. "Lebih baik kita bicarakan hal lain saja. Dan mungkin benar aku belum berhak mengaturmu karena kita belum menikah," lanjutnya.
Rachel hanya diam, bosan dengan sikap Travis yang baginya penuh drama. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa menghabiskan waktu seharian bersama pria itu sedangkan sekarang saja sudah tidak nyaman.
'Andai aku belum terlanjur bertunangan dengan dia, mungkin semuanya tidak akan terasa sulit. Mungkin aku hanya perlu meninggalkan dia lalu aku kembali pada John. Dan aku tidak akan membiarkan John mengetahui bahwa aku sudah bertunangan dengan Travis, Karena aku tidak ingin dia kecewa dan meninggalkan aku,' batinnya.