Matheo menghentikan mobilnya di tepi jalan depan gedung kantor milik John. Dia menoleh ke arah Phoebe yang langsung melepas seatbelt.
"Kamu akan langsung ke kampus?" tanya Phoebe.
"Iya, aku tidak ingin terlambat," jawab Matheo.
"Yasudah kalau begitu. Jangan terlalu ngebut," seru Phoebe kemudian segera turun dari mobil dengan membawa tas kain berisi menu makan siang dan tas selempang kecilnya. Dia berjalan memasuki halaman perkantoran John, langsung di sambut oleh sang satpam.
Phoebe memasuki gedung, menyusuri koridor menuju lift khusus untuk para petinggi perusahaan. Wanita itu tampak begitu antusias, hingga akhirnya tiba di lift dan menekan tombol menuju lantai nomor 7 di mana ruangan suaminya berada.
Drett ... Drett ...
Phoebe mendengar suara ponselnya yang bergetar pertanda ada pesan masuk. Dia pun segera meraih pendas canggih itu dari dalam tas kecilnya, kemudian melihat ada pesan masuk dari Alicia.
Alicia: Bestie ... Aku sakit. Aku kelelahan ... Akhirnya majikanku menyadari bahwa aku butuh rekan yang akan membantuku melakukan pekerjaan rumah. Aku tidak berdaya sekarang ... Dia memilih untuk melakukan pekerjaan rumah sendiri sambil menunggu aku sembuh karena dia tidak ingin sembarangan menerima maid baru. Ini benar-benar menyebalkan!
Phoebe tersenyum tipis, membayangkan Alicia yang mungkin sedang berbaring di kasur sementara majikannya yang ternyata seorang dokter melakukan pekerjaan rumah.
Tingg ...
Pintu lift terbuka. Phoebe menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas, kemudian berjalan keluar dari lift. Wanita itu menyusuri koridor yang tidak terlalu panjang hingga sampai di lobi dekat dengan ruang sekretaris yang berdekatan dengan ruangan John.
"Nyonya Phoebe," sapa sekretaris.
"Hi, Camille," sahut Phoebe dengan tersenyum ramah pada sekretaris yang memanggilnya. Dia berhenti sebentar, menatap sekertaris suaminya yang menghampirinya itu.
"Nyonya, pak John sedang tidak ingin diganggu. Di melarang siapapun untuk masuk ke ruangannya," ucap Camille dengan gusar.
"Tapi saya istrinya ... Saya yakin dia tidak akan marah ketika saya yang masuk ke ruangannya," sahut Phoebe dengan santai, kemudian lanjut berjalan menuju pintu ruangan John.
Camille yang menyadari bahwa John sedang bersama Rachel yang dia ketahui adalah mantan kekasihnya, segera menghentikan Phoebe dengan menghadangnya.
"Nyonya Phoebe, saya mohon jangan masuk karena saya tidak ingin dihukum. Saya benar-benar harus memegang mandat ini ... Dia benar-benar tidak ingin diganggu oleh siapapun," ucapnya dengan tatapan memohon.
"Kamu tidak akan dihukum karena saya akan mengatakan bahwa saya memaksa masuk," sahut Phoebe dengan mengerutkan keningnya. "Sekarang minggir, saya harus segera masuk karena ada hal penting yang juga harus saya bicarakan dengan suami saya," lanjutnya lebih tegas, membuat Camille minggir dari hadapannya.
"Tapi, Nyonya ..."
Camille tidak bisa mencegah Phoebe tetap lanjut berjalan menuju pintu utama ruangan John. Dia terdiam dengan perasaan kacau, membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
"Ugh, kurasa akan ada perang dunia ketiga," ucapnya lirih, segera kembali ke ruangannya dengan perasaan was-was.
Ceklek
Phoebe membuka pintu ruangan John yang tidak dikunci, lalu segera masuk dan menutupnya kembali. Wanita itu berjalan santai menuju meja kerja suaminya namun langkahnya melambat saat mendengar suara desahan dan suara khas bercinta dari arah sofa.
Terdiam dengan perasaan tidak karuan, gemetar, jantungnya berdegup kencang, hatinya langsung terasa sakit, Phoebe melihat John yang mengungkung di atas tubuh seorang perempuan, bergerak begitu panas sesekali menunduk untuk mencium wanita itu. Dia benar-benar menguak melihat pemandangan ini, merasa kedatangannya untuk memberi kejutan tetapi dia yang malah terkejut.
Hancur, itulah yang dirasakan oleh Phoebe. Dia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya, sementara suaminya masih tidak menyadari kehadirannya.
"Seharusnya kamu mengunci pintu saat akan melakukan hal menjijikkan seperti ini," ucapnya dengan mata berkaca-kaca, dengan tangannya mencengkeram erat tas berisi menu makan siang seakan ingin melemparnya karena merasa sangat geram.
Seketika John menghentikan aktivitasnya, menatap Phoebe yang terdiam menatapnya dengan penuh kebencian. Dia segera beranjak berdiri dan memperbaiki pakaiannya, sementara Rachel juga segera memperbaiki pakaiannya.
"Sayang, aku bisa jelaskan," ucap John sambil mengkancingkan kemejanya.
"Kurasa aku harus pergi," ucap Rachel yang merasa kesal karena kepergok. Dia memperbaiki pakaiannya dengan cepat, tidak berani menatap Phoebe sama sekali.
Phoebe yang merasa muak dengan manusia-manusia di hadapannya yang seperti tidak tahu malu, tidak dapat menahan amarahnya lagi.
"Kalian tidak perlu mengakhiri aktivitas menjijikkan kalian, karena Aku yang akan pergi!" ucapnya kemudian melempar tes berisi menu makan siang itu ke arah John dengan sangat kuat.
"Awhh ...!"
Akhirnya Rachel terkena lemparan itu tepat pada kepalanya sehingga langsung memar, dan rantang berisi menu makan siang itupun berserakan di lantai. John pun langsung menghampiri Rachel, merangkulnya dari samping dan melihat kondisi kepalanya, kemudian beralih melirik Phoebe.
"Kamu keterlaluan!" ucapnya dengan nada tinggi.
"Kamu yang keterlaluan, kamu selingkuh ... Kamu penghianat!" sahut Phoebe dengan tangis yang tak tertahankan. Dia tidak menyangka bahwa John akan lebih peduli pada Rachel yang hanya sedikit terluka, tidak sebanding dengan luka di hatinya.
"Tapi kamu tidak perlu menyakitinya. Aku bisa menjelaskan semuanya!"
"Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku sudah melihat bahwa kalian sangat menjijikkan!" seru Phoebe, tidak tahan lagi berada di sana melihat suaminya yang malah menyalahkannya. Hatinya begitu sakit bagaikan ditikam pedang tajam, membuatnya segera berlari meninggalkan ruangan itu sambil menangis pula.
John membiarkan Phoebe pergi, lalu kembali menatap Rachel yang kesakitan dan keningnya sedikit memar lecet Dia pun mengajak wanita itu untuk duduk kembali di sofa, lalu mengambil kotak P3K yang tersedia di laci lemari tempat dokumen-dokumen tersimpan.
"Rachel, aku benar-benar minta maaf," ucapnya.
"Kamu tidak salah," sahut Rachel dengan kesal, merasa bersalah kala mengingat bagaimana Phoebe menangis karena kecewa. "Istrimu pun tidak salah ... Tapi hubungan kita yang seharusnya tidak pernah terjadi!" lanjutnya kemudian beranjak berdiri.
"Rachel, apa maksudmu? Kita berhak dengan hubungan ini karena kita saling mencintai!"
"Tapi istrimu sudah tau, dan semuanya jadi kacau!" Rachel menegaskan, kemudian mengambil tasnya. "Sekarang aku akan pergi. Kamu temui saja istrimu ... Dia pasti sangat shock!"
"Rachel, jangan pergi. Biarkan aku mengobati kamu!" seru John, meraih tangan Rachel, menatapnya dengan tatapan memohon.
Rachel segera menghentakkan tangannya, membuat John melepas cengkramannya.
"Biarkan aku pergi. Aku bisa mengobati lukaku sendiri!" ucapnya dengan tegas, kemudian segera meninggalkan ruangan dengan langkah cepat.
Melihat Rachel yang pergi, lalu mengingat Phoebe yang sudah mengetahui perselingkuhannya, John pun merasa kesal dan membanting kotak P3K itu. Dia duduk di sofa, tertunduk dan meremas rambutnya dengan frustasi, napasnya memburu karena geram dan emosi hingga pandangannya tertuju pada beda kecil dalam plastik transparan yang terletak di lantai dekar dengan tas kain dan makanan yang berserakan.
John pun meraih plastik itu, lalu mengambil isinya ternyata adalah alat tes kehamilan. Dia terdiam dengan tatapan begitu fokus menatapi alat tes kehamilan itu, melihat dua garis merah yang berarti positif hamil.
"Dia hamil ..," lirih John dengan perasaan tidak karuan, seketika mengingat Phoebe yang menangis setelah memergokinya. Pria itu mendadak merasa bersalah, membayangkan istrinya yang datang mungkin untuk memberikan kejutan ini namun dia malah menyakitinya.
Merasa bersalah, merasa khawatir jika terjadi hal buruk pada Phoebe yang ternyata sedang mengandung anaknya, John pun segera keluar dari kantor bermaksud untuk mengejarnya.