Chereads / Ambang Senja / Chapter 4 - Jatuh Cinta

Chapter 4 - Jatuh Cinta

Istana Darussalam dan Darul Aman, Langkat, 1938

Istana Kesultanan Langkat terdiri dari 2 istana yang berseberangan di kawasan Tanjung Pura.

Istana pertamanya adalah istana Darul Aman yang didirikan oleh Sultan Musa. Istana Darul Aman, bergaya arsitektur timur tengah, memiliki ciri khas serambi melingkar yang diapit 2 menara pada bagian tengahnya. Pada masanya, Sultan Musa(17) juga mendatangkan Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naksabandi(18) atau yang lebih dikenal dengan Tuan Guru Besilam dan membuat kampung religius Babussalam untuknya.

Istana Darussalam didirikan pada masa Sultan Abdul Aziz(19), ayah dari penguasa kesultanan Langkat pada masa sekarang, yaitu Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah(20). Sultan Aziz juga membuat Masjid Azizi yang megah di sekitar istana. Istana Darussalam berbentuk lebar dan lebih luas dari istana Darul Aman, walau keduanya sama-sama besar dan memiliki halaman yang sangat luas. Istana bergaya arsitektur paduan Tiongkok dan Melayu ini berbentuk rumah panggung.dan memiliki pagoda pada bagian tengahnya. Bagian bawah bagian belakang istana menjadi tempat penyimpanan sampan karena di belakang istana memiliki pelabuhan kapal-kapal barang yang biasa hilir-mudik di sungai Batang Durian.

Hari ini istana Darussalam sedang kedatangan banyak tamu bangsawan dari beberapa kerajaan tetangga. Di ruang utama istana, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah menjamu para tamunya, sementara di bagian sayap istana, Tengku Amir Hamzah(21) berdiskusi dengan beberapa pemuda.

"Abang telah banyak bercerite berbagai soal tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Itulah alasan Abang ingin selekasnye kembali ke tanah Jawe," ujar Tengku Amir Hamzah

"Bang Busu(22) baru setahun di Langkat setelah lame merantau. Maaf cakap, menurut awak, Tanah kite ni pun butuh kehadiran orang hebat seperti abang," sahut Tengku Sani.

Tengku Amir Hamzah yang sering dipanggil dengan nama Bang Busu adalah salah seorang bangsawan Langkat yang ikut serta dalam menyelenggarakan ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Tengku Amir Hamzah terdiam sejenak. Sesaat kemudian ia tersenyum sambil memandangi wajah orang-orang yang mengelilinginya. "Segale ku pinte tiade kau beri. Segale ku tanye tiada kau sahuti. Butalah aku terdiri sendiri. Penuntun tiada memimpin jari."(23)

Para pemuda tampak tidak memahami ucapan sosok yang mereka kagumi.

"Ape tu maksudnye, Bang?" tanya Tengku Sani.

Tengku Amir Hamzah tersenyum. "Itu hanye penggalan puisiku. Banyak hal yang sulit Abang ceritekan saat ini. Rasanye, Kaki ini dah macam terikat dan ditarik dari due sisi yang berlawanan. Dunie ini sangatlah luas. Semakin jauh kaki kite melangkah, semakin luas pule pandangan kite."

Suara peluit kapal barang dari pelabuhan kecil di belakang istana terdengar. Tengku Amir Hamzah bertanya pada Irwansyah, "Nampaknye kapal barang telah merapat. Ape kau jadi nak meninjaunye, Irwansyah?"

"Bile Bang Busu mengizinkan," sahut Irwansyah.

"Tentulah boleh, tapi sayangnye, Abang tak bise mengantar," ujar Tengku Amir Hamzah.

"Biarlah awak yang mengawani anak-anak Tengku Rasyid ni," pinta Tengku Usman.

"Terime kasih Bang Usman. Nah, pigilah kelian sebelum gelap," sahut Tengku Amir Hamzah.

*****

Pelabuhan Istana Darussalam.

Tengku Usman, Tengku Sani dan Irwansyah duduk di dekat pelabuhan kecil di bagian belakang istana. Mereka bicara sambil memandangi para kuli yang sibuk memasukkan barang ke dalam kapal yang baru tiba.

"Betape Allah tlah memberi nikmat kelapangan rezeki pade negeri-negeri di tanah Melayu," ucap Irwansyah.

"Tentunye kite patut bersyukur, tapi sayangnye kite tak bise mengolahnye sendiri," sahut Tengku Sani.

"Itulah yang dirisaukan Bang Busu. Kedekatan kite pade Belande bak makan buah simalakame. Melawan salah, tak dilawan pun salah. Belakangan ni, Abang banyak mendengar suare-suare sumbang," ujar Tengku Usman.

"Perlawanan bise membuat negeri ni sengsare. Menurut awak, kerjesame antara kesultanan dengan Belande justru telah membuat rakyat Melayu di sini bise hidup tentram, damai dan sejahtera. Ape pentingnye kite bertikai?" tanya Irwansyah.

Tengku Usman tersenyum. "Tengoklah para kuli-kuli itu. Mereke memang orang-orang yang didatangkan Belande dari negeri lain untuk bekerje di sini. Tapi mereke dah tinggal bertahun-tahun dan beranak pinak, sementare nasibnye tak pernah berubah. Ape mereke tak layak menikmati kemakmuran?"

Irwansyah mengangguk-anggukkan kepala. "Memang tak banyak keturunan kuli kebun yang seberuntung awak, yang bise dapat kepercayaan untuk menempati posisi penting pade kegiatan usahe kesultanan, tapi walaupun seandainye kite tak bekerjesame dengan Belande, rasanye tetap sulit, Bang. Bile kesultanan mengangkat derajat semua orang menjadi makmur, siape yang nak bekerje lagi? Menurut awak, sepanjang kesultanan tak zolim, membayar upah sesuai dengan keringat, memenuhi kebutuhan hidup yang belum bise mereke penuhi sendiri, memberi peluang untuk hidup lebih baik serte berlaku adil, make kewajibannya sebagai penguase sudah terlaksane. Ape menurut Abang, kesultanan belum melakukannye?"

"Hmm, menurutku kesultanan memang sudah melaksanakan kewajibannye, tapi meyakinkan orang-orang yang mengeluarkan suara sumbang itu tampaknya tak akan semudah engkau membuat aku yakin. Sudahlah, Abang tak nak membuat kelian risau. Oh, iye. Abang dengar, kelian nak lanjut sekolah ke Belande?" tanya Tengku Usman.

"Sebetulnye kami berdue tak ade yang nak ke Belande, tapi Entu(24) Rasyid," sahut Tengku Sani.

"Baguslah pemikiran Entumu. Biar anak-anak Melayu tak macam katak dalam tempurung. Kenape kelian tak nak?" tanya Tengku Usman.

"Awak ni tak suke tinggal di negeri di mane tiade kumandang adzan. Iman awak masih seujung kuku. Jadi, Awak cakaplah pade Entu, biarlah Irwansyah yang kuat ilmu agamenye menjalankan keinginan entu," jawab Tengku Sani.

Tengku Usman tertawa. "Anak-anak Wak Rasyid memang lihai bernegosiasi. Tapi, orang sepandai kau, sayang kali bile tak memanjangkan langkah."

"Siape bilang awak tak memanjangkan langkah, Bang? Awak juge dah cakap pade Entu. Keluarge Entu harus seimbang. Satu anaknye belajar ilmu agame, satunye lagi belajar ilmu dunie. Kebetulan, awak memang dah berencane sekolah ke Kairo," ujar Tengku Sani.

Tengku Usman tertawa. "Dikorbankanye terus kau, Wan. Jadi, kau lah yang ke Belande?"

"Manusia satu ni memang pande betul cari alasan. Anaknye kandungnye dah berani durhake, mana pulak awak berani bilang tak mau?" ujar Irwansyah.

"Orang-orang seperti kelian memang harus dipakse menjangkau langit. Sayang bile tak belajar di negeri asing. Sani dah jelas akan diandalkan kesultanan Deli untuk mengurus Deli Maatschappij. Lalu Sultan Mahmud juge sangat berharap padamu, Wan. Beliau ingin di masa mendatang, kau tak lagi mengurus perkebunan, tapi mengurus minyak Langkat. Tengku Rasyid beruntung memiliki anak-anak yang hebat," puji Tengku Usman.

Suara klakson mobil terdengar dari kejauhan, sebuah mobil berjalan menuju ke tempat mereka.

"Nah itu, Akak kelian nak menjemput Abang," kata Tengku Usman sambil berdiri dan melambaikan tangan.

Mobil itu berhenti. Tengku Usman mendekati mobil. Di belakang supir ada istrinya, Tengku Farida, dan adik istrinya, Tengku Farisya.

"Keluarlah dulu barang sekejap, Abang nak kenalkan Dek Farisya pade pemude-pemude hebat," pinta Tengku Usman.

Tengku Farisya dan Tengku Farida keluar dari mobil.

"Assalamu'alaikum. Oh, anak-anak Wak Rasyid rupanye," sapa Tengku Farida.

Tengku Sani dan Irwansyah menjawab salam sambil menyatukan kedua tangannya. Tengku Farisya dan Tengku Farida melakukan hal yang sama.

"Ini adek kandung Akak, namanye Farisya. Kelian kan dulu satu sekolah. Ape dah saling kenal?" tanya Tengku Farida.

Irwansyah tertegun mengagumi kecantikan Tengku Farisya.

"Awak sering berjumpe dengan Adek Farisya di Istane Darussalam. Nampaknye Irwansyah yang belum, tengoklah, hingge tebendil(25) matenye," ledek Tengku Sani pada Irwansyah.

Irwansyah terkejut. Ia tampak malu.

"Janganlah buat orang malu, San. Kau belum pernah jumpe, Wan?" tanya Tengku Farida.

"Belum, Kak. Awak memang jarang ke istane. Lagi pule, di sekolah, ruang laki-laki dan perempuan kan tak menyatu," jawab Irwansyah.

"Oh, pantaslah tak saling kenal. Dek Farisa, juge tak pernah melihat Irwansyah?" ujar Tengku Farida.

"Awak memang baru sekali ni bejumpe langsung, tapi name Abang Irwan sering disebut di sekolah. Kate guru-guru, Abang ni murid paling pandai," puji Tengku Farisya.

"Mungkin guru kite silap name," sanggah Irwansyah.

"Seeeh, pande pulak tuan ni bersilat kate," ledek Tengku Sani.

Irwansyah menyikut Tengku Sani.

"Kau ini, memang sukak kali mencagili orang, Wan. Oh, iye. Maye(26) kabar Entu dan Emak kelian, sehat?" tanya Tengku Farida.

"Alhamdulillah sehat, Akak," sahut Tengku Sani sambil melirik Irwansyah yang sesekali mencuri pandang pada Tengku Farisya. "Oh, Mak. Mendadak bisu sodare awak, ni. Hoy! Akak nanye, maye kabar Entu dan Emakmu, sehat?"

"Kan sudah kau jawab, San," sahut Irwansyah semakin malu.

"Sani, Sani. Hingge merah muke saudaramu kau buat, hahaha. Baiklah. Abang pulang dulu, ye," ujar Tengku Usman.

"Sekejap dululah, Bang," pinta Tengku Farida pada suaminya, kemudian bicara pada pada Tengku Sani dan Irwansyah, "Adek akak ini nak menginap di rumah kami beberape malam. Die nak dengar cerite Bang Usman dan Bang Busu tentang tanah Jawe. Bile kelian berdue nak dengar juge, singgahlah."

"Insya Allah kami pasti singgah, Kak," sahut Irwansyah.

"Eh! Ligat betul kau menjawab?" ledek Tengku Sani.

"Lambat salah, ligat pun salah. Hey, San, awak nak dengar cerite Bang Usman, bukan ade niat lain," balas Irwansyah.

"Betul tak ade niat lain?" tanya Tengku Sani.

"Betul!" jawab Irwansyah mantap.

"Kak, Bang. Kebetulan kami sedang tak sempat. Mungkin, pekan muke, setelah Adek Farisya pulang, kami baru bise singgah untuk mendengar cerite Bang Usman dan Bang Busu."

"Oh, tak jadi masalah," sahut Tengku Usman.

"Sebentar, Bang," pinta Irwansyah pada Tengku Usman lalu ia memegang pundak Tengku Sani. "Besaudarenye kite ni. Kenape pulak kejam betul?"

Tengku Sani tertawa. "Ha, begitulah! Bile kau jelas menunjukkan niat, menolongnye pun sedap. Ape boleh buatlah, Kak, Bang. Kalau sudah bawak-bawak besaudare, ape nak cakap?"

Tengku Usman dan Tengku Farida tertawa.

"Kalau Sani kite ikuti, tak kan ade habis-habisnye. Singgahlah! Abang tunggu kelian. Assalamu'alaikum!" ujar Tengku Usman.

"Wa'alaikumussalam."

Setelah mobil Tengku Usman menjauh, Irwansyah menjatuhkan badannya di atas tanah seolah lemas, Tengku Sani menertawakannya.

"Cantiknye anak dare tu, San. Cam dah terpanah busur cinte hati ni!" ujar Irwansyah sambil berbaring.

Tengku Sani duduk di atas tanah di sebelah Irwansyah. "Itulah, Kau! Tiap diajak ikut ke Istane, ade saje alasanmu. Bile entu marah atau Sultan yang memanggil, barulah kau mau."

"Segan, San. Awak kan bukan bangsawan. Memang tiade yang pernah menyinggung soal itu, tapi awak lah yang harus pandai berkace."

"Alamak, Wan, kace kau sebut! Same anak bangsawan tadi, kenape kau tak segan? Terpanah busur cinte pule kau bilang!"

Irwansyah tertawa, kemudian mencabut sehelai batang alang-alang di dekatnya lalu melemparnya setinggi mungkin.

"Wan! Name kau dah tak asing di kalangan bangsawan. Bahkan, Sultan Langkat pun menaruh harapan besar padamu."

"Hebat betul awak ternyate! Macam mau naik ke langit lubang hidungku."

"Aku tak mengade-ngade, Wan. Sayangnye, makin hari, makin tipis rase percaye dirimu."

Tengku Sani berdiri lalu menjulurkan satu tangannya.

"Hoy, bangkitlah kau! Seekor singe tak butuh tempurung karene die punya kuku dan taring tajam," ujar Tengku Sani.

Irwansyah menyambutnya, Tengku Sani menariknya hingga Irwansyah berdiri. Keduanya pun berjalan pelan meninggalkan pelabuhan.

"Berarti, awak punye peluanglah ye menikah dengan anak bangsawan?"

"Tentulah! Ape soal?"

"Ini tak main-main, San! Anak bangsawan Langkat pule. Ape pantas dipinang keturunan kuli dari perkebunan?"

Tengku Sani mendorong tubuh Irwansyah hingga oleng. Irwansyah tertawa.

"Jangan kate anak kuli kebun. Anak hantu kebun pun, asal telah bersyahadat pasti punye peluang. Apelagi tuan ni ... Kate guru-guru, Abang ni murid paling pandai," ledek Tengku Sani menirukan nada bicara Tengku Farisya.

Keduanya tertawa lepas.

"Baiklah, aku akan mendekati Tengku Farisya," ujar Irwansyah.

"Kau harus cepat, Wan! Kalau bise langsung ajak die nikah."

"Kau ini, San, main sorong saje, macam besok nak kiamat, ku rase."

"Memanglah! Kan kan nak sekolah ke Belande!"

Irwansyah terdiam.

"Aku belum siap menikah, San."

"Kalau begitu, terlepaslah anak dare tadi tu."

"Dapat pun belum, sudah bilang terlepas pulak."

"Dari care die memandang wajah Tuan, jelas kali! Tapi entahlah, bile die tahu Tuan nak ke Belande. Maksudku, Wan, bile ade kepastian kau menikahinye sebelum pergi, barulah die bersedie melepasmu jauh ke negeri orang."

"Kau pun nak ke Mesir, San. Terlepaslah Tengku Aisyah tu?"

"Hah, hahaha, aku jangan kau lawan! Beberapa hari yang lalu, aku dah mengajaknye menikah. Selanjutnye tinggal antara orang tue."

"Hah? Alhamdulillah! Memang gesit kali sodareku ni."

"Sekarang lekas kau kejar mobil Bang Usman! Bilang, kau nak langsung bawe Tengku Farisya menghadap penghulu."

"Dah gile, hahaha. Bukannye aku tak mau, tapi tak mungkinlah aku melangkahi kau. Nanti kau minte emas segoni pule untuk pelangkah."

"Tak usah kau banyak cakap! Bile kau nak berempat duduk satu pelaminan, aku pun tak soal."

"Macam nak naik sampan saje, pelaminan kau buat. Kau seorang saje lah yang gile, San, jangan ajak-ajak yang lain."

"Aku serius. Nikah itu perkare agame. Asal syah menurut syariat, ape soal?"

"Betul, tapi ..."

"Tak usah banyak tapi-tapi! Mau kau dengar pantunku?" tanya Tengku Sani.

"Mainkanlah."

"Bile cinte telah melekat, taik gigi pun terase cokelat."

"Jorok betul, pantun kau! Lalu?"

"Bile anak dara tlah kau ikat, Belande pun terase dekat."

"Bise cocok pulak, hahaha."

Tiba-tiba Tengku Sani berjoget jenaka sambil bersenandung lagu Melayu meniru suara accordion dan seolah memainkannya.

"Inilah yang buat aku tambah berat berpisah dengan kau, San! Sunyi kali rasanye di Belande nanti."

"Kalau begitu, ayoklah Ikut berjoget!"

Irwansyah hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Ayolah, Wan! Biar lepas beban tu!"

Irwansyah terus tertawa, tetapi ada kesedihan di wajahnya.

"Tanjung Katung airnya biru, tempatlah anak mencuci muka. Tanjung Katung airnya biru, tempatlah anak mencuci muka. Ayolah, Wan!"

Irwansyah akhirnya mau mengikuti Tengku Sani berjoget sambil bernyanyi bersama.

Lagi sekampung hatiku rindu, kononlah pulak jauh di mata.

Bakul kue bakul, kalau berat tolong pikul. Alah emak kawinkan aku.

*****

Catatan Kaki

17. Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah adalah Sultan Langkat ke-7 yang memerintah sejak 1840 hingga 1893.

18. Abdul Wahab Rokan atau dikenal dengan sebutan Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi an-Naqsyabandi (1811-1926) adalah seorang ulama ahli fikih, mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Riau.

19. Tuanku Sultan Abdul Aziz bin Sultan Haji Musa adalah Sultan Langkat ke-8 yang memerintah sejak 1893 hingga 1927.

20. Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rakhmat Shah bin Sultan Abdul Aziz adalah Sultan Langkat ke-9 yang memerintah sejak 1927 hingga 1948.

21. Tengku Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera atau dikenal dengan sebutan Amir Hamzah (1911-1946) adalah pangeran kesultanan Langkat, sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia.

22. Bang Busu atau Ku Busu adalah panggilan untuk Tengku Amir Hamzah.

23. Puisi berjudul Insyaf, karya Amir Hamzah. sastrawan angkatan poejangga baroe.

24. 'Entu" adalah sebutan untuk 'Ayah" dalam bahasa Melayu.

25. 'Bendil" adalah sebutan untuk 'Melotot" dalam bahasa Melayu.

26. 'Maye" adalah sebutan untuk 'Apa" dalam bahasa Melayu.