Perkebunan Tembakau Deli Maatschappij
Mobil Tengku Rasyid menyusuri jalan yang membelah hamparan luas kebun tembakau. Tengku Rasyid menjelaskan berbagai hal tentang perkebunan pada Tengku Sani dan Irwansyah. Irwansyah melontarkan banyak pertanyaan pada Tengku Rasyid sehingga Pak Cik Bujang penasaran padanya.
"Irwansyah ni, siape sebetulnye, Tuan?" tanya Pak Cik Bujang.
"Anak yatim piatu, tapi mulai hari ni, anggap saje sebagai anakku. Setiap aku mengunjungi pondok Tuan Guru Syekh Besilam di Langkat, anak ni selalu ade di situ."
"Oh, anak santri rupanye."
"Bukan. Die anak dari perkebunan yang senang berkunjung karena haus pade ilmu. Insya Allah, aku akan membesarkannye tanpe membedakannye dengan Sani."
Pak Cik Bujang mengusap kepala Irwansyah. "Beruntung kau, Nak. Kebetulan pulak, Sani nak Tuan sekolahkan ke Langkat. Tentulah die tak merase sunyi saat jauh dari orang tue, bile ade kawannye."
"Betul. Alhamdulillah, ku tengok keduanye dah cocok pulak."
"Tuanku, kenape jauh betul, Tuan menyekolahkan Sani?"
"Anakku masih kecil, bile menimbe ilmu di sekolah Belande di Medan, aku kuatir pondasi agamanye tak kuat. Di Langkat, die bise dapat ilmu dunie dan agame sekaligus."
Pak Cik Bujang mengangguk.
"Bujang, nanti setibe di kantor, tolong kau bawe anak-anakku ni bermain."
"Baik, Tuanku." Pak Cik Bujang menoleh sejenak pada kedua anak kecil di sebelahnya. "Anak-anak! Di dekat perkebunan, ade sungai dangkal yang penuh batu besar dan ade pule pokok(8) durian. Siape yang nak mandi dan makan durian?"
Kedua anak-anak itu serempak menyambut tawaran itu dengan sangat senang.
Tengku Rasyid tersenyum. "Hey, Bujang, kapan kau nak meminang Rodiah?"
"Bile tlah tekumpul, Insya Allah awak segere meminangnye."
"Bile kau butuh biaye sekedar buat rumah sederhane dan peste kenduri, insya Allah bise kubantu."
"Terima kasih, Tuanku. Bukannye awak tak mau, maaf beribu maaf ... "
"Oh, rencanemu nak bangun rumah macam istana Maimun dan peste di situ. Manelah pulak aku sanggup?"
Pak Cik Bujang tertawa. "Awak tu dah banyak menerime kebaikan. Tak patut rasanye bile ..."
"Oh, kau nak tunggu dari jerih payahmu sendiri? Bile cepat tercapai, alhamdulillah, tapi bile lambat cemane?"
"Rodiah tu perempuan yang sabar, Tuanku."
Tengku Rasyid tertawa. "Kalau begitu, bilanglah pade Rodiah. Tengku Rasyid dah bilang nak membantu supaye kite cepat menikah, tapi aku tak nak."
"Dicampakkannyelah laki-laki yang tak tau diuntung ni," sahut Pak Cik Bujang sambil tertawa.
"Bukannye kau bilang Rodiah tu sabar? Mau menunggu walau kau pinang saat dah same-same bungkuk."
"Tak kan pule sampai bungkuk, hehehe. Ade-ade saje Tuanku ni. Bile jalan pun dah same-same gemetar, ape sedapnye lagi?"
Tengku Rasyid tertawa. "Ah, itulah! Dengar, Bujang. Kau dah betul, nak menikah dengan jerih payahmu sendiri. Tapi, rezeki dari Allah itu, bise saje dititipkan lewat tangan orang lain. Sudahlah, bile kau telah yakin dengan pilihanmu, pinanglah! Insya Allah, aku bise membantumu."
"Baiklah, Tuanku. Awak sangat berterima kasih. Alhamdulillah."
*****
Gudang Tembakau Deli Maatschappij
Seorang mandor tampak marah pada kuli-kuli kebun yang berbaris di hadapannya.
"Kowe-kowe iki ta' kirim nangkene kanggo kerja! Golek ndhuwit, bukane nggawe alesan!"(9) bentak sang mandor sambil memukul-mukul batang kayu ke tumpukan karung-karung goni.
Para kuli kebun hanya bisa menunduk takut.
"Udah kerjaane ora bener, mbolos terus. Ora isin? Heh, heh! Nduableg!"(10)
Para kuli kebun melihat Tengku Rasyid dan rombongannya datang, mereka menganggukkan kepala menunjukkan rasa hormat pada Tengku Rasyid, sedangkan sang mandor yang tidak menyadari kehadiran Tengku Rasyid di belakangnya tetap bersikap garang.
"Lho, kok malah cuwengengesan?" omel sang mandor pada para kuli kebun.
Tengku Rasyid mendekat sambil berdehem agar sang mandor menyadari kehadirannya.
"Ealah! Siopo iku sing purak-purak wathuk?" tanya sang mandor sambil menatap garang wajah para kuli satu-persatu.
Para kuli semakin menunduk untuk menyembunyikan senyum.
"Sithik-sithik loro! Sithik-sithik loro!"(11) omel sang mandor sambil memukul kayu ke tumpukan karung-karung goni lebih keras. "Huh, nguapusi! Dasar pemoales!"(12)
"Assalamualaikum," sapa Tengku Rasyid.
"Waalaikumsalam!" jawab sang mandor dengan nada membentak.
Tengku Rasyid tersenyum, kemudian menyentuh pelan pundak sang mandor.
"Ojo ndhemek-dhemek!"(13) omel sang mandor tanpa menoleh.
Para kuli tidak sanggup lagi menahan tawa.
Sang Mandor pun menjadi semakin kalap. "Eladalah! Ora ono wedhi-wedhine! Dasar wong nduableg! O, ta' kampleng, yo!"(14)
"Pak Mandor, ono Tuan Rasyid," seru salah seorang kuli kebun.
Wajah sang mandor yang tadinya galak mendadak berubah lucu.
"Eh, ada Tuan Rasyid. Maap, Tuan," Sang mandor mencium tangan Tengku Rasyid, kemudian kembali memandangi pada para kuli, kali ini dengan tatapan dan nada yang sangat bersahabat. "Mbok ya, yen ono Tuan Rasyid, sing suwopan. Disapa gitu lho. Kok ya, ora ngerti toto kromo, ck ck ck. Maapin anak buah saya, Tuan."(15)
"Kudengar tadi, macam ade gempe di sini. Ape soal?" tanya Tengku Rasyid.
"Maaf, Tuan Rasyid. Kuli-kuli iki lho! Upah yo mau, tapine kerja ndak mau. Tiap hari selalu ada yang ngaku-ngaku soaket, padahal yo moales."
"Wah, tak betul ini!" sahut Tengku Rasyid sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sang mandor senang karena merasa didukung. "Lha, lha! Iya, tho! Denger, nduak? Heh, heh?" tanya sang mandor sambil menuding telunjuknya pada para kuli.
"Tapi begini, menurut surat kabar yang saye bace belakangan ni, negeri kite memang sedang ade wabah penyakit," ujar Tengku Rasyid.
"Hah? Wah, ndak tau saya," sahut sang mandor.
"Itulah sebab, ade baiknye bile Pak Mandor selidiki dulu. Ape sudah?"
"Hehehe, belum. Maaf, Tuan," jawab sang mandor dengan sikap tubuh malu hati.
Para kuli kebun saling menyikut teman di sebelahnya sambil cengengesan, seolah mengejek sang mandor.
Tengku Rasyid segera mengembalikan wibawa sang mandor. "Aku tak sedang menyalahkan dirimu. Dengar semue! Kerje Pak Mandor ni justru dah sangat bagus. Beliau tu orang yang tegas dan setie memegang amanah! Sikap macam itu hanye dimiliki oleh orang yang punye jiwe pemimpin. Bile kelian nak maju, belajarlah dari die. "
Sang mandor kembali membusungkan dada dan mendongakkan kepalanya sambil tersenyum pongah.
"Hanye saje, care Pak Mandor agak sikit silap," lanjut Tengku Rasyid.
Sang mandor segera memperbaiki sikap tubuhnya.
Tengku Rasyid memegang bahu sang mandor. "Ketegasan itu penting, tapi tak perlu sampai melukai hati. Bile dirimu bise lebih bijaksane, insya Allah, kau akan jadi pemimpin hebat yang dicintei anak buah sekaligus disayang Tuhan."
"Njih, Tuan Rasyid," sahut sang Mandor.
"Sudahlah, insya Allah nanti saye akan bawe dokter untuk meninjau ke sini. Hari ini saye ade janji nak bejumpe utusan Meneer Jacob Nienhuys(16) di sini. Bile mereke tibe, tolong antar pade saye."
"Njih, Tuan."
Tengku Rasyid dan rombongannya meninggalkan sang mandor dan anak-anak buahnya. Para kuli kebun tampak cengengesan.
"Eladalah, dasar sontoloyo! Seneng? Seneng? Bubar! Bubar!" omel sang mandor kepada para kuli kebun dengan suara pelan.
*****
Penang Hospital, Malaysia 1990.
Rizal tertawa mendengar cerita Atuk Irwansyah tentang masa lalunya. "Saya kagum pada Atuk Tengku Rasyid, beliau orang yang sangat penuh perhatian."
"Betul. Beliau itu bergaul baik dengan siapapun tanpa pilih-pilih status sosial. Mulai dari orang-orang Belanda hingga orang kita, sesama bangsawan hingga orang-orang kecil, semua kalangan senang sekaligus hormat padanya," sahut Atuk Irwansyah.
"Apakah para bangsawan lain sama baiknya seperti beliau?"
"Manusia itu tidak bisa dinilai karena status sosialnya, selalu ada orang baik dan buruk dalam apapun peranannya."
Rizal mengangguk-anggukan kepala.
"Terima kasih, Zal. Kau sudah mau menemaniku di rumah sakit ini, padahal aku cuma orang yang tak kau kenal yang sering singgah di kedaimu. Aku sengaja tidak mengabari kawan-kawanku di Malaysia, supaya tidak merepotkan, ternyata malah merepotkanmu."
"Saya tentu bukan orang lain, Tuk. Kita kan saudara setanah air yang sedang berada di negeri orang. Oh, iya, Atuk kan sedang sakit, apa enggak sebaiknya kita lanjut ngobrol di kamar?"
"Dokter bilang, aku ini cuma kecapean. Maklumlah, mumpung singgah, aku forsir tenagaku untuk berjumpa dengan semua kawan-kawan lamaku. Alhamdulillah, besok aku sudah boleh pulang. Insya Allah, cucu perempuanku yang sedang di Singapura akan menjemputku. Aku ingin kalian berkenalan, supaya dia bisa belajar dari pemuda hebat seperti kau. Masih muda, tapi sudah punya usaha yang sangat maju di negeri orang."
Rizal tertawa kecil. "Apanya yang hebat, Tuk? Saya terpaksa jadi pengusaha kecil-kecilan karena tak punya pilihan. Mau kerja di kantor, tak punya ijazah."
"Kau pemilik usaha besar. Aku tahu, cabang kedai kulinermu bukan hanya di kota-kata di Malaysia, tapi juga ada di Singapura, bahkan kau juga baru membuka cabang di Jakarta. Apa benar kau sama sekali tidak punya ijazah sekolah?" tanya Atuk Irwansyah.
"Maksudnya ijazah kuliah, Tuk. Saya sempat kuliah di Universitas Indonesia, tapi saya tinggalkan di tengah jalan karena dapat panggilan kerja di Malaysia. Saya ingin secepatnya membahagiakan orang tua saya yang kehidupan ekonominya sangat sulit. Ternyata, baru sebentar bekerja sudah kena PHK. Mau pulang malu, sudah itu tak punya ongkos pula. Terpaksalah merintis usaha di negeri orang."
"Itulah hebatnya, kesulitan malah membuat kau jadi besar. Aku ini pelanggan setia kedai kulinermu, Zal. Keramahanmu pada anak buah dan sifat rendah hatimu, mengingatkanku pada keluarga Tengku Rasyid."
"Di mana keturunan keluarga Atuk Tengku Rasyid itu sekarang, Tuk?"
Atuk Irwansyah diam, pikirannya berkelana lagi mengenang masa lalu, matanya jadi berkaca-kaca. "Andai aku punya kesempatan membalas kebaikan mereka. Entahlah, hanya Allah yang tahu keberadaan dan nasibnya. Semoga Allah menjaga mereka."
"Aamiin, ya robbal alamin. Saya masih ingin mendengar kelanjutan cerita Atuk. Lalu, bagaimana hubungan Atuk Irwansyah dengan Atuk Tengku Sani? Apakah kehadiran Atuk Irwansyah sebagai anak angkat tidak mengundang pertengkaran?" tanya Rizal.
"Aku tumbuh dan besar bersama Tengku Sani tanpa ada pertengkaran yang benar-benar serius. Dia sangat cerdas, sama seperti ayahnya, tetapi dia tidak pernah mau terlihat menonjol dan malah mendorongku agar terkesan lebih unggul. Itu karena dia melihatku selalu merasa rendah diri, terutama saat berada di lingkungan para bangsawan, padahal semua anggota keluarga Tengku Rasyid sudah memperlakukanku seperti keluarga kandung."
"Atuk Tengku Sani tampaknya juga baik seperti ayahnya. Oh, iya, Atuk Tengku Hasyim kan tidak ingin anaknya yang masih kecil menimba ilmu di sekolah milik Belanda, berarti kedua anaknya sekolah di Langkat. Apakah itu semacam pesantren?"
"Sekolah umum yang setara dengan sekolah Belanda."
"Oh, ya? Memangnya saat itu sudah ada sekolah umum yang bukan milik Belanda? Setahu saya pertama kali adalah Taman Siswa di tahun 1922. Apalagi, Langkat inikan jauh di luar pulau Jawa, Tuk, bahkan bukan berada di kota besar seperti Medan."
Atuk Irwansyah tersenyum. "Anakku, bukan cuma Belanda yang bisa membuat sekolah. Belanda itu memang membangun sekolah hanya untuk kalangan mereka sendiri dan bangsawan lokal, tetapi pada tahun 1914, Sultan Tengku Abdul Aziz dari kesultanan Langkat telah mendirikan sekolah modern untuk rakyatnya dan terbuka untuk semua kalangan. Namanya adalah Madrasah Aziziah yang kemudian berubah menjadi Madrasah Jam'iyah Mahmudiyah di tahun 1923."
"Sekolah modern? Maksudnya, Tuk?"
"Sekolah yang mengadopsi sistem pendidikan Eropa dan Timur Tengah. Karena setara dengan sekolah Belanda, lulusannya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi."
"Masya Allah! Artinya pada waktu itu, kesultanan Langkat sudah sangat maju. Mereka sudah memikirkan pentingnya pendidikan. Tapi, kenapa nama kesultanan Langkat tidak dikenal dalam buku sejarah?"
"Kita memang harus menyelam untuk mendulang intan. Kau jadi membuatku ingin bercerita lebih banyak tentang kejayaan kesultanan Deli dan kesultanan Langkat di masa lalu. Bukan untuk membangkitkan jiwa fasis atau rasa fanatis berlebihan pada golongan sendiri, hanya berharap agar anak-anakku tidak buta pada sejarah sendiri. Seperti yang kau bilang, Zal, malu rasanya saat orang lain lebih tahu tentang diri kita. Kenyataannya memang begitu, orang-orang Malaysia lebih mengenal kedua kesultanan itu ketimbang orang-orang kita."
"Wah, memang ini yang saya tunggu," sahut Rizal antusias.
"Kelebihan dari kedua kesultanan itu adalah 'konsesi'. Tidak seperti umumnya nasib negeri jajahan yang tidak berkuasa atas tanahnya, pemerintah Belanda dan kedua kesultanan tersebut melakukan kontrak kerjasama bisnis atau konsesi untuk memanfaatkan hasil alam tanah jajahannya. Kesultanan Deli dan pemerintah Belanda mendirikan perusahaan tembakau yang dikenal dengan nama 'Deli Maatschappij'. Kota Medan adalah warisan nyata perusahaan tersebut."
"Warisannya sebuah kota? Wah! Mungkin kalau saat ini, sejajar dengan perusahaan-perusahaan rokok yang pemiliknya menjadi orang-orang terkaya di Indonesia."
"Menurutku, kemungkinan besar malah sejajar dengan perusahaan dunia milik Philip Morris. Deli Maatschappij adalah rajanya tembakau dunia. Diperkirakan lebih 92 % impor tembakau cerutu Amerika Serikat berasal dari Kesultanan Deli."
"Masya Allah, luar biasa. Lalu bagaimana dengan kesultanan Langkat?"
"Kesultanan Langkat dan pemerintah Belanda mendirikan perusahaan eksplorasi minyak yang dikenal sebagai 'Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij', yang sekarang dikenal dengan nama 'Royal Dutch Shell'."
"Shell? Shell yang kita kenal itu, Tuk?"
"Betul, Shell yang kita kenal itu memang punya kaitan sejarah dengan kesultanan Langkat. Saat itu Pangkalan Brandan menjadi salah satu tambang minyak bumi terbesar di dunia, tentu sebelum ditemukan sumber-sumber minyak baru lainnya."
"Untuk membayangkan kemakmuran kesultanan Deli pada zaman itu, saya bisa melihatnya dari kemegahan Istana Maimun, lalu bagaimana dengan kesultanan Langkat?"
Atuk Irwansyah kembali terdiam sejenak.
"Kau pernah ke Medan, Zal?"
"Belum. Tapi saya memang punya rencana pergi ke sana. Saya pernah melihat Istana Maimun dari foto teman saya. Sayangnya dia tidak punya foto di istana milik kesultanan Langkat."
"Temanmu memang tidak mungkin bisa menunjukkan istana yang telah hilang, tetapi saya masih ingat bagaimana bentuknya."
*****
Catatan Kaki
8. 'Pokok" adalah sebutan untuk 'pohon" dalam bahasa Melayu.
9. "Kamu-kamu ini dikirim ke sini untuk kerja! Cari uang, bukan cari alasan!"
10. "Sudah kerjanya tidak benar, bolos terus. Tidak malu?, Heh, heh! Bodoh!"
11. "Sedikit-sedikit sakit! Sedikit-sedikit sakit!"
12. "Huh, bohong! Dasar pemalas!"
13. "Jangan pegang-pegang!"
14. "Eh! Tidak ada takut-takutnya! Dasar orang dungu! Saya pukul, nih!"
15. "Ya, kalau ada Tuan Rasyid, yang sopan. Disapa gitu lho. Kok ya, tidak mengerti tata krama, ck ck ck. Maafkan anak buah saya, Tuan."
16. Jacob Nienhuys (1836-1928) adalah orang Belanda pertama yang menjadi pengusaha perkebunan tembakau di Hindia Belanda. Ia tiba pada tahun 1863, dan kemudian mendirikan Deli Maatschappij pada tahun 1869 setelah mendapat konsesi dari Kesultanan Deli.