Medan, 1924
Pagi ini, sopir Tengku Rasyid yang biasa dipanggil dengan nama Pak Cik Bujang, membawa Irwansyah dan Tengku Sani berkeliling kota dengan mobil. Sepanjang perjalanan Irwansyah terus mengamati suasana kota yang sangat berbeda dari tempat-tempat yang pernah ia tinggali, sementara Tengku Sani yang sudah biasa melihat kotanya sedang tertidur pulas. Kedua anak kecil itu baru saja berkenalan sehingga belum akrab.
Walau sinar matahari belum terlalu terang, kota ini sudah mulai sibuk. Sebagian pemilik bangunan bertingkat membuka papan-papan penutup toko di lantai bawah pada bangunan, yang sekaligus juga menjadi tempat tinggal mereka.
Pemilik bangunan berwarna merah yang berwajah etnis Tionghoa membakar dupa di depan tokonya. Di sebelahnya ada kedai kuliner milik seorang berwajah etnis India, pemiliknya berteriak pada anak buahnya agar memberikan teh tarik dan roti cane kepada para opas yang berdiri di simpang jalan. Mereka orang-orang lokal yang bekerja untuk pemerintah Belanda sebagai penjaga keamanan.
Setelah melewati simpang jalan, mobil Pak Cik Bujang terhalang oleh sado yang berjalan pelan. Sado itu membawa seorang penumpang dengan banyak barang. Kusir sado itu tidak ingin menghambat, tetapi dia tidak bisa menepi, karena di kedua arah sisi jalan banyak pedagang yang berjalan tertatih-tatih memikul buah dan sayuran. Kusir sado itu menghela kudanya agar sadonya melaju kencang meninggalkan mobil di belakang. Pak Cik Bujang tetap menahan kecepatan mobilnya, karena melihat Irwansyah hampir tak berkedip menikmati suasana yang menurutnya tidak biasa.
Ketika melewati jalur rel kereta api, mobil berhenti. Irwansyah tercengang melihat kereta api yang lewat. Pak Cik Bujang tertawa melihat Irwansyah yang terlihat berdiri dan memandangi kereta dengan wajah heran.
Setelah melalui beberapa simpang, mobil Pak Cik Bujang kembali bertemu dengan sado tadi. Penumpang sado telah turun. Dengan logat khas Minang, ia sibuk mengatur para kuli yang sedang memindahkan barang-barang dari sado ke gerobak-gerobak kecil yang berjejer di depan tokonya.
Beberapa kuli mendorong gerobak yang telah terisi hingga ke tengah jalan, sehingga mobil milik seorang Belanda yang muncul dari lawan arah membunyikan klakson. Orang yang mengatur tadi pun berteriak, agar para kuli tidak menutupi jalan. Setelah para kuli menepi, kedua mobil yang berlawanan arah kembali melanjutkan perjalanannya.
Pada kawasan berikutnya yang mereka lalui, sudah tidak tampak lagi ada bangunan-bangunan toko bertingkat. Ini adalah kawasan pemukiman kalangan orang berada, banyak rumah-rumah panggung khas Melayu yang memiliki halaman yang luas dengan pohon-pohon besar yang rindang. Irwansyah memandangi rumah Tengku Rasyid yang sempat ia singgahi sebelum diajak berkeliling kota. Beberapa sepeda kumbang yang dikendarai para pemuda berwajah terpelajar melewati mobil Pak Cik Bujang.
"Siape orang-orang tu, Pak Cik?" tanya Irwansyah.
"Mereke tu pemude-pemude pandai, sehingge Sultan Deli menyekolahkannye di sekolah Belande. Kenape rupanye?" tanya Pak Cik Bujang.
"Ape boleh Irwan bertemu Sultan?"
Pak Cik Bujang tampak bingung. "Untuk ape?"
"Irwan ingin bilang pade Sultan, Irwan pun ingin sekolah seperti orang-orang besar tadi."
Pak Cik Bujang tertawa. "Kalau begitu, kau harus jadi anak pandai dulu."
"Tapi, Pak Cik. Bagaimane mungkin Irwan bise jadi anak pandai, bile tak sekolah?"
"Mane yang seharusnye lebih dulu, sekolah atau pandai?" Pak Cik Bujang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Entahlah, Nak. Nampaknye Pak Cik pun tak cukup pandai tuk jawab pertanyaanmu. Bile Pak Cik pandai, tentulah sekarang dah jadi guru mereke."
"Oh, orang pandai tu nantinye jadi guru. Ape orang pandai juge bise jadi Sultan, Pak Cik?"
Mulut Pak Cik Bujang ternganga. "Hajap(3) betul."
Irwansyah terus menatap Pak Cik Bujang menanti jawaban.
"Dengar Irwan. Kate orang tue jaman dulu, kite tak boleh banyak cakap di dalam mobil. Nanti, kau bise ditelan hantu!" dalih Pak Cik Bujang.
"Tapi, Irwan tak takut pade hantu, Pak Cik."
"Hah? Kau tak takut, tapi Pak Cik takut! Cemane?"
Irwansyah mengangguk. Pak Cik Bujang pun lega.
Pak Cik Bujang merasa sudah waktunya kembali ke pusat kota untuk menjemput Tengku Rasyid. Saat tiba di sana Irwansyah kembali tercengang.
Inilah pusat kota Medan. Kota indah yang tertata rapi serta memiliki banyak bangunan bergaya arsitektur Eropa. Orang-orang Belanda menjulukinya Paris Van Sumatera. Kawasan ini memiliki dua bangunan terbesar yang menjadi kebanggaan rakyat Melayu Deli, yaitu Masjid Raya Al Mashun dan Istana Maimun. Untuk mendirikan bangunan megah tersebut, Sultan Mahmoed Al Rasyid Perkasa Alamsyah(4), penguasa kesultanan Deli di masa pemerintahan yang lampau itu sampai mendatangkan arsitek masyhur dari Belanda, yaitu Theodoor Van Erp. Dia adalah tokoh yang juga dipercaya pemerintah Belanda untuk memimpin pemugaran Candi Borobudur di Pulau Jawa.
Saat ini kota Medan memang sedang menjadi pusat ekonomi dari kawasan Sumatera Timur, sehingga menjadi magnet yang menarik banyak pendatang dari negeri tetangga hingga negeri seberang untuk mengubah nasib.
Kini mobil Pak Cik Bujang telah parkir berjejer bersama Jip-jip militer pemerintah Belanda di pinggir tanah lapang yang berada di seberang Masjid Raya Al Mashun. Orang-orang sini bilang, rencananya tanah lapang ini akan dibuat menjadi taman yang indah. Di sekitar tanah lapang tampak beberapa tentara pemerintah Belanda yang sedang bersenda gurau dengan sesamanya.
Pak Cik Bujang keluar dari mobil. Ia meminta Irwansyah dan Tengku Sani yang baru saja bangun untuk menunggu di dalam mobil, kemudian berjalan menuju halaman masjid untuk menjemput Tengku Rasyid. Irwansyah memandangi masjid yang sangat megah itu.
Masjid Raya Al Mashun.
Masjid ini dirancang oleh Theodoor Van Erp, tetapi prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Ia membuat masjid dengan gaya arsitektur Melayu, Timur Tengah dan Eropa. Bentuk segi delapannya membuat ruang dalam terlihat unik. Sebagian materialnya didatangkan dari luar negeri, yaitu marmer buatan Italia dan Jerman, kaca patri dari Tiongkok dan lampu gantung dari Perancis.
Sultan Amaluddin(5) dan beberapa bangsawan yang mengenakan baju adat teluk belanga keluar dari masjid. Tengku Rasyid berdiri di sebelah Sultan Amaluddin.
Di halaman masjid, Sultan Amaluddin menyalami setiap rakyat yang mendekatinya sambil berjalan pelan menuju mobil Roll Roycenya. Setelah masuk ke dalam mobil, ia masih menunjukkan keramahan dengan membuka jendela untuk membalas lambaian tangan rakyatnya.
Di seberang masjid, Tengku Sani memberi tahu Irwansyah, bahwa orang yang tadi berjalan bersama ayahnya adalah Sultan Deli.
Irwansyah tampak kagum. Menurutnya, orang-orang dengan pakaian khas bangsawan itu terlihat gagah, bahkan ia hampir tidak mengenali Tengku Rasyid yang terlihat sangat berbeda dengan kesehariannya. Beberapa kali bertemu di Langkat, penampilan Tengku Rasyid terlihat sederhana.
Pak Cik Bujang dan Tengku Rasyid masuk kedalam mobil, kemudian Pak Cik Bujang membawa mobil menuju Istana Maimun yang letaknya tidak jauh dari Masjid Raya Al Mashun. Lagi-lagi Irwansyah tercengang saat melihat Istana Maimun.
Istana Maimun.
Istana Maimun terlihat sangat megah. Bangunan lebar di atas tanah yang sangat luas ini memiliki 3 bagian utama yaitu bangunan induk, bangunan sayap kiri dan bangunan sayap kanan. Pada Istana Maimun, Theodoor Van Erp juga memadukan gaya arsitektur Melayu, Timur Tengah dan Eropa serta menonjolkan warna kuning keemasan yang merupakan ciri khas Melayu.
Sultan Amaluddin dan Tengku Rasyid sedang bicara serius di ruang utama. Tengku Rasyid merupakan bangsawan yang mengurus konsesi perkebunan tembakau antara kesultanan Deli dengan pemerintah Belanda, Deli Maatschappij.
Di halaman sayap kanan istana, Pak Cik Bujang mengelap mobil sambil bergoyang jenaka. Ia menikmati suara musik yang terdengar dari serambi. Di sana para musisi dan penari istana sedang berlatih memainkan lagu Serampang Dua Belas. Sementara Irwansyah dan Tengku Sani yang sudah semakin akrab, saling bertukar cerita di dalam mobil.
Rodiah yang baru selesai menabur bunga di tempat penyimpanan meriam Si Puntung menghampiri Pak Cik Bujang. Senang melihat kekasihnya datang, Pak Cik Bujang pun melempar lapnya sambil terus berjoget.
"Aih, canteknya kau, Dek, bile sedang membawe rantang," canda Pak Cik Bujang.
Rodiah tertawa, ia menyerahkan rantangnya.
Pak Cik Bujang menghirup aroma dari rantang. "Harum betul, ape ni?"
"Roti jale dengan gulai kari buatan koki terhebat istane, Wak Kajol," jawab Rodiah.
"O, Mak, kari Wak Kajol? Memang tak salah Abang memilihmu. Makin kupandang, makin canteklah saje kau, Dek! Apelagi memandangmu sambil makan kari ni," canda Pak Cik Bujang.
Rodiah tertawa sambil menoleh ke arah mobil. "Oh, ade Sani di dalam motor(6) tu. Siape anak kecik yang satunye, Bang?"
"Namanye Irwansyah. Entah siape, mungkin sodare jauh Sani."
Pak Cik Bujang duduk di rumput untuk menyantap makanannya.
"Ish. Tak ditawarinye anak-anak kecik tu," protes Rodiah.
"Bukannye tak mau berbagi. Percume, belum paham lidahnye. Nanti bile sakit perut, cemane? Berani Adek tanggung jawab?"
"Ah, kau ini, Bang!"
"Nah, sebagai tande cinte Abang. Malam ahad muke, Abang nak pinjam motor Tuan Rasyid, biar Abang bise ajak Adek pusing-pusing kote Medan."
"Tak usahlah, Bang. Cam, rangkaye saje. Abang selalu singgah ke rumah, dah senang hati awak ni. Makanlah dulu, Adek nak ke dalam."
"Terima Kasih, adekku yang cantek."
Rodiah tersenyum, lalu pergi untuk melanjutkan pekerjaannya di istana. Pak Cik Bujang menghabiskan makanannya dengan cepat. Saat ia membereskan rantang, Tengku Rasyid muncul.
"Baru nak ku suruh sarapan ke dalam. Ape yang kau baham(7), ligat betul?" tanya Tengku Rasyid.
"Roti jale buatan Wak Kajol dari Rodiah, Tuanku," sahut Pak Cik Bujang.
"Pantaslah, sedap betul memang," ujar Tengku Rasyid.
"Nak kemane kite, Tuanku?" tanya Pak Cik Bujang sambil membukakan pintu.
"Nak meninjau kebun tembakau," sahut Tengku Rasyid sambil masuk ke dalam mobil.
Pak Cik Bujang segera mengantar Tengku Rasyid bersama Tengku Sani dan Irwansyah meninggalkan Istana Maimun.
*****
Catatan Kaki
3. 'Hajap" adalah sebutan untuk 'susah" dalam bahasa Melayu.
4. Sultan Ma'moen Al Rasyid adalah Sultan ke 9 dari Kesultanan Deli dari 1873 hingga mangkatnya pada 1924.
5. Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alamsyah adalah Sultan Deli ke-10 yang memerintah sejak dimasyhurkan pada 11 September 1924 hingga kemangkatan dirinya pada 4 Oktober 1945.
6. 'Motor" adalah sebutan untuk 'mobil" dalam bahasa Melayu.
7. 'Baham" adalah sebutan untuk 'makan" dalam bahasa Melayu.