Chapter 22 - Dating

Melewati lapangan voli bersama Om Tio, April sempat melihat teman-temannya bermain tanpa dirinya lagi. Segala canda tawa itu yang dulu juga April miliki kini hanya bisa ia lihat dari kejauhan, Amy dan Nita. Tidak ada seorang pun yang menyadari April memerhatikan mereka, membuat gadis itu sedih karena telah kehilangan segala yang membuatnya bahagia. Semua itu ia lakukan demi pria yang kini tengah menggenggam jemarinya sembari mengendarai motor, tak pernah melepaskan tangan April sedari tadi jika bukan karena menekan kopling motor.

"Om?" Panggil April sembari mendekatkan wajahnya di samping pria itu agar suaranya dapat didengar dengan jelas.

"Hmm?" Suara pria itu berdeham.

"Kenapa sih kita sekarang nggak latihan voli lagi?" Tanya April, sebenarnya ia was-was untuk menanyakan hal ini. Khawatir Om Tio akan marah dan mungkin akan menjawab ketus.

"Nggak usah lah, di rumah aja." Hanya itu jawaban Om Tio, tanpa alasan mengapa dirinya tak boleh lagi latihan voli. Apa mungkin karena ada Nita dan Amy yang tidak disukai oleh Om Tio? April bertanya-tanya.

April mengurungkan niatnya untuk terus bertanya, tak ingin hubungannya dengan Om Tio yang sudah membaik menjadi buruk kembali seperti tadi siang. Pada akhirnya, April memilih diam, bersandar di pundak lebar pria itu yang terasa hangat dan nyaman.

Semakin lama menjalin hubungan dengan Om Tio, April mulai berani mendekati pria itu. Dan entah mengapa punggung dan bahu Om Tio selalu menjadi bahan lirikan April, sekarang akhirnya gadis itu bisa bersandar di sana. Tio sendiri tak menyangka jika punggungnya akan ditempeli oleh gadis itu, biasanya April duduk tegap meski kedua tangannya melingkar di perut rata Tio. Sekarang April sudah berani menunjukan kedekatannya, membuat Tio menyunggingkan senyum tipis meski sebenarnya di dalam hati ia tengah berusaha kuat menahan sesuatu yang mengganjal di punggungnya. Terasa empuk dan hangat.

"Ehem!" Tio berdeham, berharap semoga saja dirinya kuat menahan godaan ini beberapa tahun lagi.

"Kenapa Om?" Tanya April ketika suara batuk Tio terdengar dibuat-buat.

"Nggak apa, ada gunung." Sahut Tio singkat, April yang tidak paham hanya bisa diam tak lagi bertanya.

Usai dari jalan-jalan sore, April dan Tio kembali ke rumah pada malam hari. Membawa beberapa belanjaan yang dibelikan.

"Mampir Om?" Tawar April, Tio hanya tersenyum menanggapi.

"Kirain nggak diajak mampir kaya tadi siang." Sahut Tio, giliran April yang kini tersenyum mendengar perkataan Om Tio barusan. April lalu masuk ke dalam rumah untuk membuatkan Om Tio segelas teh hangat, sementara pria itu duduk di teras rumah menunggu April.

"Masuk Tio!" Ujar Ayah April tiba-tiba dari dalam rumah, pria itu mengangguk sopan kepada Ayah April.

"Iya Om, di sini aja!" Sahut Tio, tak lama gadis itu keluar dengan membawa secangkir teh hangat seperti kesukaan pria itu. Tio menyeruputnya sedikit, ada rasa manis yang terasa pada secangkir teh yang gadis itu buat. Apalagi saat melihat wajah April yang sedang memakan kue coklatnya.

"Kenapa?" Tanya gadis itu, kedua matanya terlihat indah begitu pun dengan raut wajahnya. Membuat Tio menjadi gemas dan ingin melahapnya saat ini juga.

"Nggak papa!" Jawab Tio, tak ingin tertangkap basah sedang mengamati gadis itu.

Seperti biasa mereka akan mengobrol panjang lebar di sepanjang malam, di awal hubungan pertemuan selama apapun akan terasa sebentar. Seolah mereka masih ingin bertemu dan berbicara satu sama lain, tapi waktu dan dunia ini bukan milik mereka berdua. Pukul sembilan malam Tio harus pulang ke rumah sebelum Ayah April menyuruhnya pulang karena terlalu malam, lagi pula besok April harus sekolah dan Tio kembali bekerja lagi.

"Pulang dulu ya!" Seru Tio seraya mengusap kasar rambut gadis itu.

"Iya." Sahut April dengan senyum manis di wajahnya, seolah Tio ingin mengecup bibir manis itu tapi ia sadar diri bahwa April masih terlalu dini untuk hal itu.

Hingga pada akhirnya Tio pulang ke rumah dengan hawa panas di dadanya, menahan sesuatu yang sudah lama tidak ia keluarkan. Tio berhenti tepat di depan rumah kontrakan, melirik ke arah rumah Nita dan seperti biasa gadis itu akan mengintip di balik gorden jendelanya jika mendengar suara motor sport Tio. Tapi Tio tidak memperdulikan hal itu dan langsung masuk ke dalam rumahnya, rumah yang ia tinggalkan sejak sore hari menjadi gelap gulita ketika ia kembali di malam hari. Saat Tio menyalakan lampu, betapa terkejutnya dirinya melihat seorang wanita berambut panjang duduk di atas sofa.

"Sial! Aku kira tadi hantu!" Cecar Tio, jantungnya hampir saja keluar dari tempatnya melihat Nopa yang duduk di sana menunggu Tio pulang.

"Ngapain di sini?" Tanya Tio seraya membuka jaketnya dan meletakannya ke lengan sofa.

"Jalan-jalan aja." Jawab wanita itu dengan wajah datar.

"Tau aku tinggal di sini dari mana?" Tanya Tio lagi.

"Dari kakak kamu, tadi pagi aku sudah ke rumah bareng sama Sarah ngejelasin masalah itu." Sahut Nopa.

"Terus?"

"Terus ya udah, mereka nerima kok. Karena mereka berdua baru tau 'kan."

"Jadi udah clear ya masalahnya?" Nopa mengangguk, sebenarnya Tio masih bingung dengan kedatangan Nopa malam hari ini. Sepertinya bukan hanya sekedar berkunjung.

"Mau minum?" Tawar Tio, wanita itu kembali mengangguk. Tio berjalan ke dapur untuk mengambilkan sekaleng minuman untuk wanita itu, lalu kembali ke ruang tamu duduk meletakan minuman tersebut ke atas meja.

"Nggak ada bir ya!" Ucap Tio.

"Apa aja nggak masalah kok." Kata Nopa.

Tio duduk di sebelah wanita itu, melirik ke arah jam dinding sudah semalam ini Nopa juga belum pulang. Sementara Tio sudah merasa lelah dan besok harus kembali bekerja.

"Hmm, dari mana?" Tanya Nopa membuka percakapan setelah hening beberapa saat.

"Dari rumah cewek SMA itu." Jawab Tio yang tak lagi menyembunyikan April, lagi pula Nopa juga sudah tahu jika ia sedang menjalin hubungan dengan seorang gadis.

"Oh, habis dari ngapel." Nopa menyunggingkan senyum, Tio hanya mengangguk.

Tak lama kemudian, Nopa mulai mendekatkan duduknya ke arah Tio. Tio yang sudah merasa mengantuk hanya bisa mengernyitkan kening karena bingung.

"Jangan macem-macem deh!" Kata Tio memberi peringatan, tapi wanita itu malah memasukan jemarinya ke dalam kaos yang Tio kenakan. Jujur saja Tio hanya pria biasa, dan dirinya baru saja pulang dari rumah seorang gadis yang belum bisa ia jamah. Ia hanya seorang pria yang memiliki hawa nafsu dan normal, digoda seperti ini setelah cukup lama menyendiri membuat Tio hanya bisa pasrah ketika Nopa mulai mendudukan dirinya di atas Tio lalu mengecup bibir pria itu dengan gairah yang menggebu.