Chapter 11 - Parents

Sabtu malam...

April menunggu Om Tio, duduk di teras rumah seorang diri berharap pria itu tidak membohongi dirinya. Sembari melirik ke arah layar ponsel, April melihat jam dimana Om Tio harusnya sudah datang. Mengingat pria itu sudah janji akan tiba di rumah April pukul delapan malam, tapi sampai pukul delapan lewat lima belas menit. Om Tio sama sekali belum menunjukan wajahnya, membuat April menghembuskan nafas panjang karena khawatir Om Tio hanya mempermainkan dirinya. Well, mungkin saja.

Mengingat April hanyalah gadis remaja biasa dan tidak seperti yang diharapkan Om Tio yang sudah sangat dewasa.

Di sela kekecewaan April, tak lama suara sepeda motor sport nyaring mulai mendekati rumah April. Berhenti tepat di halaman rumahnya, sorot lampu motor sport itu menyilaukan pandangan April. Saat mesin motor dimatikan begitu juga dengan lampu yang tajam, barulah April menyadari bahwa penantiannya tidak sia-sia. Om Tio terlihat tampan dengan kaos ketat yang selalu menjadi ciri khas pria itu, celana jeans dan rambut seperti bulu landak dengan jabik di samping telinga. Rasanya jantung April berdetak dengan kencang, karena ini adalah kali pertama April bertemu dengan Om Tio setelah di kafe malam hari itu.

Selebihnya, April hanya diantar pulang jika seusai latihan voli dan tidak banyak berbicara dengan Om Tio. Tidak seperti sekarang ini, didatangi Om Tio ke rumah membuat April sedikit salah tingkah. Dari kejauhan saat pria itu turun dari motor sportnya tersenyum ke arah April, menyejukan hatinya seketika. Sontak saja senyum tulus juga terukir di bibir manis April, ia berdiri menyambut Om Tio.

"Kok tahu rumah April dari mana?" Tanya April seraya mengernyitkan kening.

"Ahh, itu dari Nita. Katanya rumah April di dalam gang sini." Jawab Tio sekenanya seraya menggaruk tengkuk belakangnya sendiri.

"Oh!" April membentuk huruf O di bibirnya.

Mereka berdua lalu mengobrol di bangku teras rumah, sedikit canggung tapi setidaknya obrolan mereka terasa hangat. April sampai tidak sadar jika kedua orang tuanya memerhatikan kedekatan dirinya dengan Om Tio, ternyata Om Tio adalah pria yang sopan. Bahkan ketika Ayah April mengajak Om Tio untuk berbicara sebentar, pria itu menyanggupinya. Om Tio bahkan tidak berbuat yang aneh-aneh.

"Bapak kamu orangnya ramah ya?" Ujar Om Tio seusai berbicara dengan Ayah April.

"Hmm, nggak juga. Biasanya dia galak kalau sama temen-temen aku." Sahut April.

"Masa sih?"

April mengangguki, "iya, beneran."

"Mungkin karena bapak kamu lagi ngomong sama calon menantunya, makanya jadi baik dan ramah ya?" Tukas Om Tio.

Lagi-lagi ucapan Om Tio berhasil membuat perasaan April menjadi luluh, pria itu selalu sukses membuat April baper. Bedanya, kali ini mereka saling bertemu dan duduk bersama. Hingga April harus mati-matian menahan kegelisahannya.

Gadis itu di mata Tio malam hari ini sangat cantik, mengenakan celana pendek dan kaos. Terlihat sangat polos dan begitu remaja, wajahnya pun sama sekali tidak ada polesan make-up. Tio hampir gila memikirkan April di setiap malamnya, sayang gadis itu terlalu belia untuk Tio. Ia harus ekstra sabar menunggu April sebentar lagi menjadi dewasa.

"Bapak tadi ngomongin apa?" Tanya April yang penasaran.

"Cuman nanya pekerjaan, terus tinggalnya dimana. Itu aja!" Jawab Om Tio.

"Emang Om Tio tinggalnya dimana sih? Om Tio kayanya bukan orang sini."

"Memang bukan, cuman Om kerjanya di sini. Itu rumah yang sebelahan sama rumah Nita juga bukan rumah Om, rumah kontrakan." Jelas Om Tio.

"Jadi, sewaktu-waktu Om Tio bisa pergi dari sini?" April terlihat mengernyitkan keningnya.

"Iya, kalau Om sudah nggak kerja di sini lagi." Sahut Om Tio, seketika wajah April yang tadi berbinar menjadi suram seketika. Takut jika Om Tio akan pergi selamanya dari sini dan tidak dapat bertemu dengan April lagi.

"Kalau Om pergi dari kota ini, masih inget sama April nggak?"

"Hehehe... kamu ada-ada aja. Om nggak bakal pergi." Om Tio terkekeh geli.

"Tadi katanya kalau Om sudah nggak kerja di sini lagi bakal pergi, April ditinggal dong!" Kedua mata April terlihat berkaca-kaca, Tio yang menyadari hal itu merasa tak tega. Sepertinya gadis itu memiliki perasaan yang mulai dalam kepadanya.

"Kamu ikut Om." Kata Tio.

April hanya tersenyum menanggapi.

"Ya nggak lah, kerjaan Om lama kok di sini. Om nggak kemana-mana, sama April aja." Om Tio mengusap lembut puncak kepala April.

Membuat perasaan April seketika menghangat, Om Tio memang sangat pandai dalam menenangkan hati April. Tak salah jika pria itu berhasil meluluhkan hati remaja yang labil dan sama sekali tidak pernah mengerti artinya cinta.

"Ehem! Jadi, mana tehnya nih?" Ucap Tio berusaha menghindari segala kesedihan yang bisa membuat gadisnya merasa sedih.

"Oh, iya. Bentar ya!" April lalu buru-buru masuk ke dalam rumah untuk membuatkan Om Tio secangkir teh hangat, membawanya keluar rumah lalu meletakannya di atas meja. Melihat April yang sedang membawa nampan berisi secangkir teh, entah mengapa Tio ingin memiliki gadis itu seutuhnya. Memiliki dalam artian dari ujung kepala hingga ke ujung kaki gadis itu.

Tak pernah Tio merasakan hal semacam ini sebelumnya, ia sudah sering menjalin hubungan dengan banyak wanita. Bahkan salah satunya sempat bertunangan dan kandas ketika menuju ke pelaminan, semua wanita yang pernah menjadi kekasihnya adalah wanita dewasa yang tentunya sudah paham arti cinta. Tapi April..

Tak pernah sedikit pun terbesit di pikiran Tio ia akan memacari gadis belia seperti April, ia pikir gadis itu hanya sekedar mengidolakan Tio di lapangan voli. Tapi ternyata, April juga tertarik kepada Tio tanpa gadis itu paham bagaimana gaya berpacaran orang dewasa pada umumnya.

"Diminum Om, tehnya!" Ujar April, membawa Tio kembali ke alam nyata setelah memandangi wajah cantik gadis itu.

"Oh, iya!" Om Tio segera mengambil cangkir yang berisikan teh lalu menyesapnya sedikit.

"Panas ya?" Ucap Tio.

April bari saja ingat bahwa tadi dirinya menuangkan air panas terlalu banyak ke dalam cangkir itu, dan sepertinya bibir Om Tio sedikit memerah.

"Hehehe... iya sorry Om." Kata April.

"Nggak apa-apa, enak kok! Ntar kalau dingin juga Om habisin." Sahut Tio, April mengangguk tanpa berhenti tersenyum. Jarak mereka duduk memang tidak terlalu jauh tapi dapat membuat April sedikit malu dan kaku, Tio dapat merasakan kekakuan April dan memaklumi hal itu. Karena April hanya seorang gadis remaja yang sama sekali tidak tahu apa-apa, terkadang Tio bingung memikirkan bagaimana caranya menjelaskan gaya berpacaran orang dewasa kepada April. Apa Tio harus menunggu sampai gadis itu mencapai usia dewasa? Jika itu untuk April. Maka Tio akan melakukan apapun untuk gadis itu.