Chapter 4 - The Past

Dia adalah pria tampan dengan tubuh atletis yang sering datang ke lapangan bola voli ketika sore hari, saat itu April sedang bemain bola voli bersama dengan teman-teman sekolahnya. Melihat beberapa pria tinggi mendatangi tempat tersebut membuat permainan April mulai sedikit goyah, kedua mata gadis berambut hitam legam itu selalu melirik ke arah pria yang mengenakan kaos berwarna merah senada dengan sepatunya. Keringat basah sedikit demi sedikit berjatuhan dari dahi dan leher pria itu, ada dua lapangan yang bersebelahan tak jauh. April berada di lapangan sebelah kanan dan pria itu bermain di lapangan sebelah kiri, semenjak kedatangan para pria tinggi itu permainan April dan teman-temannya terasa tidak menarik lagi.

Permainan bola voli mereka jauh lebih baik dari pada permainan bola voli wanita, entahlah. Mungkin karena April datang ke lapangan voli hanya untuk menambah nilai di sekolahnya.

Bugh!

"Aduh!" Salah satu teman April terkena bola voli tepat di kepalanya, membuat gadis itu terjatuh dan membuat semua orang terdiam. Permainan terhenti sejenak, termasuk permainan para pria tinggi yang melihat ke lapangan sebelah. Sontak saja pandangan mereka bertemu, pria yang sering April lirik di setiap sore saat bermain voli itu melihat ke arah lapangan tempat April bermain. Melihat gadis yang terjatuh tadi lalu pandangannya yang tajam beralih ke April saat menyadari gadis itu memerhatikannya sejak tadi.

Tatapannya terlihat tajam, sedari beberapa hari mencuri pandang dari pria itu. Baru April sadari kalau pria itu memiliki alis mata yang tajam dan juga pandangan yang tajam, membuat April yang dilihat seperti itu sontak saja mengalihkan pandangannya ke arah temannya yang terjatuh.

"Kamu gak apa-apa?" Ujar salah satu teman April yang lainnya, gadis yang terjatuh itu berdiri sembari memegangi kepalanya yang sudah pasti terasa sakit dan pusing. Entah bagaimana bola tersebut bisa mengenai kepalanya dengan begitu keras, April sempat mendengar suaranya yang terbentur dengan keras.

Setelah memastikan gadis itu baik-baik saja, permainan para pria tinggi itu kembali berlanjut dan pria berkaos merah yang April kagumi itu kembali ke permainannya dan tidak lagi memerhatikan April. Perasaannya saja, atau hanya dirinya yang terlalu besar kepala. Setelah itu April dan teman-temannya menghentikan permainan, karena temannya masih merasa pusing dan harus pulang ke rumah. Padahal hari belum terlalu sore dan senja bahkan belum muncul.

Semua teman-teman April mulai meninggalkan tempat itu, sayangnya gadis itu tidak membawa sepeda motornya dan semua motor teman-temannya sudah terisi. Tinggallah April bersama dengan satu teman lainnnya yang juga menunggu jemputan.

"Nggak bawa motor?" Tanya temannya, April menggeleng lemah seraya tersenyum. Duduk di kursi berharap Ayahnya cepat menjemput dan membawanya pergi dari rasa canggung ini, duduk berdua melihat permainan para pria tinggi di sana dan diperhatikan sekilas oleh orang-orang itu. Ingin sekali April menutup wajahnya sekarang juga.

"Eh, aku sudah dijemput. Pril, duluan ya!" Seru Amy, April hanya mengangguk saat gadis itu melewatinya begitu saja. Ingin sekali April menumpang pada temannya itu, bertanya apakah sepeda motor Ibunya itu masih muat jika April menumpang. Karena Amy terlihat kurus, bahkan lebih kurus dari pada April.

"Hehehe..." April hanya tersenyum dalam hati, ia tidak mungkin berboncengan bertiga dan menyebabkan kehebohan. Apalagi di depan pria-pria tinggi itu.

"Ahh, astaga!" April terus mengetuk-ngetuk sepatunya di atas lantai semen, melihat ke arah jalanan dimana banyak orang berlalu-lalang dan Ayahnya tak kunjung datang. April merasa seperti gadis bod*h sekarang, padahal tidak ada yang perduli dengan gadis yang duduk sendirian sambil melihat permainan bola voli yang tak jauh di hadapannya. Ia hanya malu jika terus dilihat oleh satu per satu pria di sana, meskipun pria berkaos merah itu sama sekali tidak melirik ke arah April lagi.

Sampai hari mulai senja, dan semua orang di sana mulai mengakhiri permainannya.

Akhirnya April dijemput oleh Ayahnya yang ternyata baru saja pulang bekerja dan mampir menjemput April, gadis itu berlari keluar dari lapangan. Tanpa disadari pria berkaos merah tadi memerhatikan April saat gadis itu berlari dan membuka pagar besi yang menjadi pembatas antara lapangan dan jalan raya, April segera berlari menuju Ayahnya yang menunggu di pinggir jalan.

"Pulangnya lama?" Ujar April yang duduk di jok belakang sepeda motor Ayahnya.

"Iya, lembur. Biasanya jam segini masih main?" Sahut Ayahnya.

"Kepala Nita habis kena bola, jadi dia pulang katanya pusing." Balas April.

"Oh!" Setelah itu, Ayah April mulai melajukan sepeda motornya.

Sementara pria berkaos merah dengan alis mata setajam elang itu masih melihat April hingga sepeda motor Ayah gadis itu menghilang dari pandangannya.

Selama April lahir dan besar di kota ini, ia sama sekali belum pernah melihat pria itu di sini. Atau mungkin hanya April saja yang jarang keluar dari rumah dan bertemu dengan orang banyak, karena baru beberapa hari ini pria-pria tinggi itu datang dan bermain bola voli di sana. Memang ada beberapa orang lain yang sering bermain bola voli di lapangan itu selain April dan teman-temannya, tapi para pria tinggi itu terasa asing baginya.

Ciiittt...

Bunyi rem tangan terdengar nyaring, April turun dari sepeda motor lalu duduk di teras membuka sepatu dan kaos kakinya. Lalu masuk ke dalam rumah seraya membawa tas di punggungnya, April sempat melewati dapur dan melihat tumpukan piring kotor di sana. Ia menghela nafas kasar, memasuki kamar dan melempar tasnya sendiri ke atas ranjang. Lalu mencuci piring kotor tersebut.

Setelah selesai mencuci piring, April membuka seluruh pakaiannya setelah berada di dalam kamar mandi. Membersihkan tubuh setelah seharian beraktivitas hingga sore hari berkeringat.

Hari sudah malam, April baru saja selesai mandi dan memasuki kamarnya sendiri. Mengenakan pakaian tidur dan duduk di meja belajarnya seraya mengeluarkan semua barang-barang yang ada di dalam tasnya.

Termasuk ponsel dan beberapa buku tugas guna memastikan tidak ada PR hari ini. Bosan dengan beberapa buku yang berserakan, April mengambil ponsel dan melihat ke arah layar mungil itu. Seketika kening April berkerut bingung setelah mendapati satu panggilan dengan nomor yang tidak ia kenal, panggilannya sore ini. Tapi April tidak mengetahui ada panggilan masuk karena sedari pagi ponselnya ada di dalam tasnya saja, April mencoba menghubungi nomor tersebut. Menunggu hingga ada jawaban, tapi satu kali panggilan tidak ada jawaban sama sekali. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali menghubungi nomor tersebut untuk kedua kalinya, namun suara dari pemilik nomor tersebut ternyata adalah pria..

Terdengar serak di telinga April hingga gadis itu terdiam..