Setelah rencana tentang acara ulang tahun Sinta telah siap, kini tiba saatnya di bagian perayaan. Prada, Nuca, dan Ino sangat sibuk di hari ini, mereka harus mempersiapkan diri sebelum menghadiri acara ulang tahun Sinta dan membuat Bima datang ke acara ulang tahun Sinta. Saat ini, jam dinding telah menunjukkan waktu pada pukul sembilan lebih. Itu tandanya, acara perayaan ulang tahun Sinta kurang dari satu jam lagi. Mereka telah siap dengan pakaian masing-masing dan saat ini telah berada di tempat kos Bima.
Mereka turun dari motor dan segera berjalan menuju tempat kos Bima. Di hari Minggu pagi seperti ini, biasanya Bima akan menghabiskan waktu untuk pergi ke salah satu rumah atau kos teman-temannya. Namun karena ia tahu jika hari ini adalah hari ulang tahun Sinta, ia tidak melakukan itu. Prada, Nuca, serta Ino yang hafal betul dengan kelakuan Bima, mereka sengaja datang lebih awal untuk menjemputnya, sebab jika ada kejadian yang tidak diharapkan seperti Bima kabur atau semacamnya, mereka masih memiliki waktu untuk mencari Bima.
Namun ketika ketukan pintu yang keempat kalinya telah terdengar, betapa terkejutnya ketiga lelaki yang tengah berdiri dengan setelan rapi itu. Mereka bisa melihat pintu kos Bima yang terbuka, lengkap dengan pemilik kos yang kini tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Mau kemana?" Tanya Ino ketika melihat Bima telah mandi. Bima yang ditanya oleh Ino hanya diam dan berjalan masuk ke kamar kosnya.
Prada, Nuca, dan Ino masuk ke kamar kos Bima dengan perasaan aneh, terdengar Bima bersuara, "Seharusnya aku yang bertanya hal itu kepada kalian."
"Kau kan sudah tahu jika kami akan pergi ke acara ulang tahun Sinta, justru benar jika kami yang bertanya kau hendak kemana?"
"Apa yang aneh, sih? Aku hanya mandi."
"Masalahnya kau mandi saat tahu kami tak akan ada di tempat biasanya. Biasanya hari Minggu kau kan pergi ke rumah Prada atau ke kosku atau Nuca."
Bima yang tadinya menghadap ke dalam lemari, kini menatap ketiga temannya, "Memangnya kalian kemari untuk apa?"
"Menjemputmu untuk datang ke acara ulang tahun Sinta." Kata Prada.
"Ya sudah." Bima kembali memfokuskan dirinya mencari pakaian di dalam lemari.
"Ya sudah apa?" Tanya ketiga teman Bima.
Terdengar Bima yang berdecak merespon pertanyaan ketiga temannya sambil memakai kausnya, "Ya sudah, aku akan ikut." Mendengar perkataan Bima, ketiga lelaki itu memandangi dirinya dengan tatapan aneh sekaligus terkejut. Untuk beberapa saat mereka terdiam sebelum pada akhirnya Prada bersuara, "Kau yakin tak memiliki perasaan apapun kepada Sinta?" Bima pun kembali berdecak.
Keempat lelaki itu pun melajukan motornya meninggalkan tempat kos Bima untuk pergi ke acara ulang tahun Sinta yang digelar di salah satu restoran cepat saji. Membutuhkan sekitar lima belas menit sebelum sampai, dan ketika mereka berempat telah sampai di sana, terlihat Ruri, Banu, Ara, serta Fanya telah duduk di salah satu kursi di sudut restoran. Keempat lelaki itu pun saling menyapa. Melihat adanya beberapa tumpukan kado yang ada di salah satu meja itu pun membuat ketiga lelaki yang baru datang ikut menaruh hadiah mereka di sana, kecuali Bima. Hari ini Bima tak membawa hadiah untuk Sinta seperti yang lainnya.
"Gimana, nih? Aman?" Tanya Nuca.
"Aman, Kak. Orang tua Sinta bilang jika mereka akan datang sebentar lagi." Jawab Ruri. Ruri yang melihat keempat lelaki ini datang pun mengedarkan pandangannya ke satu per satu wajah mereka. Ketika ia menatap Bima, ia sedikit merasa khawatir dengan hadirnya lelaki itu di acara ini.
Bima yang tahu jika dirinya mendapat tatapan aneh dari Ruri pun hanya membalas tatapannya dengan dingin. Ekor matanya menangkap seorang lelaki yang berjalan ke meja yang akan ia dan teman-temannya duduki, Bima pun menolehkan pandangnya. Rupanya memang benar, Saka hari ini datang ke acara ulang tahun Sinta.
"Wah, Sa. Gimana, nih? Seru, jadi mahasiswa di Jawa Tengah?" Tanya Ino ketika melihat Saka berjalan ke arah mereka.
Seketika suasana pun menjadi ramai karena mereka sudah lama tak berjumpa dengan Saka. Saka yang baru keluar dari kamar mandi itu pun disambut dengan banyaknya pertanyaan yang menggoda dirinya akan jauhnya perguruan tinggi tempat dirinya menuntut ilmu.
Saka terkekeh menjawab pertanyaan Ino, "Seru, dong. Sudah pergi jauh-jauh masa tidak seru."
"Ya, hanya saja kau meninggalkan Sinta di kota ini. Jadilah dia harus berurusan dengan lelaki angkuh yang satu ini." Kata Nuca sambil menyenggol lengan Bima.
"Wah, iya juga. Gimana, Mas Bim?" Tanya Saka sambil menaikturunkan kedua alisnya. Bima yang tahu jika ia menjadi objek candaan pun memilih duduk di salah satu kursi dan tak menanggapi teman-temannya.
"Kau tahu, Sa?" Perkataan Ino membuat Prada tertawa keras. Ia dan teman-temannya yang lain tahu, jika Ino sudah berkata demikian, ia pasti akan bercerita tentang sesuatu. Dan kali ini, Bima merasa jika dirinyalah yang akan menjadi objek di dalam cerita Ino.
"Pagi ini kita bertiga datang untuk menjemput Bima." Bima pun menghela napas ketika Ino mulai dengan cerita tentang dirinya itu.
Ino bercerita tentang seberapa niatnya Bima untuk datang ke acara ulang tahun Sinta pagi ini. Dan tak lupa juga beberapa kata yang bertujuan untuk menggoda Bima juga dilontarkan oleh Ino sepanjang ia bercerita. Saka tak henti-hentinya tertawa, ia yang mengenal Bima sejak lama itu tentu tahu bagaimana Bima jika menghadapi perempuan. Meski dirinya adalah lelaki yang tampan, hal itu justru tak membuat dirinya menjadi lelaki brengsek seperti lelaki tampan kebanyakan.
"Kalau aku boleh memberi saran, berhentilah membenci kehadiran Sinta, Mas Bim. Kita semua tentu tahu kan, tentang efek membenci seseorang secara berlebihan?" Saka menggoda Bima yang diikuti tawa oleh yang lainnya.
"Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku tak membencinya. Kalau aku boleh memberi saran, suruh sahabatmu itu berhenti melakukan itu kepadaku jika tak ingin sesuatu yang buruk menimpa kami berdua." Sahut Bima dingin.
Saka terkekeh dan Prada berkata, "Seharusnya bukan dia yang berhenti, Bim. Justru kau. Berhentilah bersikap jika kau tak peduli. Kami semua tahu bagaimana berbedanya sikapmu ketika tak ada Sinta yang mengganggumu di kantin."
Nuca dan Ino tertawa mendengar perkataan Prada, "Ya, pandangan matamu tak akan bisa lepas dari arah pintu masuk kantin. Dan ketika Sinta terlihat berjalan dari sana, kau berhenti untuk menatap ke sana karena pandangan matamu beralih ke Sinta." Kata Nuca dengan tawa yang tak henti-hentinya keluar, sedangkan Bima hanya diam tak menanggapi.
Beberapa saat kemudian, Ruri mendapat kabar dari kedua orang tua Sinta jika mereka sudah sampai di tempat parkir restoran. Mereka pun bersiap-siap untuk mengejutkan Sinta. Terlihat Sinta berjalan dengan mata yang tertutup kain. Bunda dan Ayah memegang salah satu tangan Sinta untuk menuntun putrinya itu. Hari ini Sinta tampak cantik, ia mengenakan gigham dress selutut dengan lengan sepanjang siku. Dress berwarna maroon itu tampak cocok di kulit kuning langsat Sinta hingga seakan-akan semakin membuat kulitnya bersinar.
Sinta telah berdiri di hadapan semua teman-temannya yang hari ini datang untuk merayakan hari ulang tahunnya.
"Kamu berdiri di sini, dulu." Kata Bunda. Bunda dan Ayah pun berjalan meninggalkan Sinta untuk bergabung berdiri dengan teman-teman Sinta.
"Sampai kapan aku akan membiarkan kain ini menghalangi pandanganku?" Kata Sinta dengan kesal.
"Sebentar, kita hitung mundur dulu, nanti kamu buka penutup matanya ketika kita selesai menghitung." Kata Bunda menyahuti perkataan Sinta.
"Sepuluh juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan." Kata Ayah memulai menghitung.
"Astaga, bisa-bisa tahun depan aku akan merayakan ulang tahun ke sembilan belasku ini." Sahut Sinta yang membuat semua orang menahan tawanya, mereka tak mau jika kejutan ini akan bisa rusak akibat Sinta yang telah mengetahui siapa saja orang yang datang di acara ulang tahunnya kali ini.
"Baiklah, tiga, dua, satu." Ayah menghitung mundur.
Sinta yang sedari tadi menutup matanya itu pada akhirnya memiliki kesempatan untuk kembali membuka mata. Kain hitam yang menutup matanya itu telah ia lepaskan ikatannya.
"Kejutan!" Teriak semua orang yang menghadiri acara ulang tahun Sinta sambil menyalakan konfeti. Mata Sinta sedang beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba memenuhi sekitarnya. Butuh beberapa detik untuk matanya kembali normal.
Sinta melihat ke arah semua orang yang berdiri di hadapannya. Di sana ada Bunda, Ayah, Ruri, Banu, Ara, Fanya, Prada, Nuca, dan Ino. Dua lelaki yang berdiri di hadapannya itu membuatnya semakin tak menyangka, Saka dan Bima datang ke acara ulang tahunnya.
Sinta tertawa sangat kencang ketika melihat ke sekeliling. Saat ini ia berada di salah satu restoran cepat saji. Di sekitarnya dihias dengan balon-balon, kertas foil, serta tulisan-tulisan selamat ulang tahun warna-warni. Yang membuat Sinta tertawa begitu kencang adalah di restoran cepat saji ini umumnya digunakan untuk merayakan ulang tahun anak-anak. Bagaimana tidak, sekarang saja Sinta bisa melihat badut yang berjoget mengikuti iring-iringan lagu selamat ulang tahun yang dinyanyikan oleh kedua orang tuanya serta teman-temannya. Kelucuan bertambah ketika Sinta menyadari bahwa semua orang memakai topi ulang tahun dengan warna yang beragam. Ruri memberikannya topi ulang tahun kepadanya dan Sinta pun memakainya.
"Mas Bima ngapain?" Tanya Sinta dengan tertawa kencang. Ia yang terbiasa melihat angkuh serta dinginnya Bima pun merasa jika hari ini adalah hari paling lucu sekaligus aneh yang dialami oleh Bima. Bima yang saat ini memakai kaos hitam lengan pendek, celana jeans hitam yang bagian bawahnya ditekuk sedemikian rupa, tak lupa dengan sepatu hitam putih andalannya yang tampak laki tersebut sangat aneh karena dipadupadankan dengan topi ulang tahun warna-warni dengan gambar karakter kartun anak-anak.
Lagu ulang tahun pun berganti dengan lagu tiup lilin. Alunan musik yang mengiringi suara nyanyian Bunda, Ayah, serta teman-temannya itu membuat Sinta sangat bahagia. Walaupun perayaan ulang tahun kali ini sangat tidak sesuai dengan umurnya, namun tetap saja hal ini menjadi sesuatu yang sangat membahagiakan. Sehingga Sinta pun menari-nari ketika semua orang menyanyikan lagu tiup lilin untuk dirinya.
Bunda membawa kue dengan lilin angka satu dan juga sembilan yang menyala di atasnya. Lagu yang selesai dinyanyinkan itu membuat Sinta menatap lilin yang menyala itu dan memanjatkan doa sebelum meniup habis jilatan api yang menyala-nyala itu.
"Horeee!" Seru semua orang ketika Sinta berhasil meniup lilinnya.
Sinta tertawa sebelum berkata, "Banu, aku tahu jika semua ini adalah idemu. Tapi aku sangat bahagia dengan idemu kali ini, terima kasih." Kata Sinta yang membuat Banu dan yang lainnya tertawa, kecuali Bima tentunya.
Acara pun dilanjutkan dengan pemotongan kue ulang tahun. Sinta memotong kue ulang tahun pertamanya untuk ia berikan kepada Bunda dan Ayah sebelum ia menyuapkan semua potongan kue pertama yang tersisa ke dalam mulutnya.
"Aku tak akan memotong kue itu untuk kalian, potong sendiri." Kata Sinta seusai dirinya selesai dengan kue yang ia makan.
"Padahal Bima sangat menunggu bisa mendapat potongan kue kedua yang kau berikan kepadanya." Kata Ino yang dibalas pelototan oleh Bima.
"Oh, begitu? Ya sudah biarkan saja dia menunggu, ia akan kehabisan kue jika terus menunggu." Kata Sinta.
"Sudah, sudah. Biar Bunda yang berikan potongan kuenya untuk Bima." Kata Bunda sambil memberikan potongan kue kepada Bima.
"Terima kasih, Tante." Kata Bima yang dibalas senyuman oleh Bunda.
Kegiatan makan-makan kue pun dilanjutkan, tak lupa dengan kegiatan foto-foto yang dilakukan di sela-sela kegiatan. Mereka menikmati kue yang dibagikan terlebih dulu, sebelum makanan serta minuman lain dihidangkan. Raut bahagia tak hanya dirasakan oleh Sinta, namun juga semua orang yang hadir di acara ulang tahun Sinta ini. Mereka saling mengobrol dan melempar candaan yang membuat tawa saling bersahutan satu dengan yang lainnya.
"Aku sangat senang melihatmu datang, Sa. Sangat tak menyangka kamu juga hadir di sini." Kata Sinta kepada Saka.
"Aku juga sangat senang bisa hadir di sini dan melihatmu bahagia."
Sinta tertawa mendengar penuturan Saka, "Kurasa kau selalu bahagia jika melihatku, Sa. Aku akan berbicara dengan Mas Bima dulu, ya." Saka mengangguk ke arah Sinta dan membuat Sinta segera berjalan ke meja Bima. Ia berjalan sambil mengangkat satu kursi untuk duduk di samping Bima, sebab di meja itu hanya ada empat kursi yang saat ini telah diduduki oleh Bima, Prada, Nuca, dan Ino.
"Bagaimana, Mas? Kuenya enak?" Tanya Sinta kepada Bima yang dibalas anggukkan oleh Bima. Bima yang sangat suka dengan makanan itu kini fokus memakan kuenya sehingga tak ada waktu untuk berbicara dengan orang lain. Ia dikenal sebagai orang yang sangat menghargai makanan, sehingga untuk berbicara dengan orang lain ketika berada di meja makan saja tak pernah ia lakukan.
Sinta pun beralih menatap Prada dan yang lainnya, "Gimana kesulitannya bawa Mas Bima kemari?"
Prada, Nuca, dan Ino menggeleng-gelengkan kepala, "Sangat sulit sehingga usaha kita terasa sia-sia." Kata Ino.
"Sia-sia bagaimana?"
"Sia-sia, sebab kita tak perlu melakukan apapun. Bima dengan sendirinya mau datang ke acara ulang tahunmu."
Sinta tersenyum senang mendengar penuturan Ino, "Oh ya?"
Prada menambahkan, "Ya, saat kami jemput dia di kos pagi ini, ia telah siap untuk berangkat."
Sinta pun menepuk tangan takjub dan memandang ke arah Bima, "Sepertinya kau sangat bersemangat untuk datang."
"Aku tak bisa menolak kue, makanan, serta minuman yang nantinya akan aku dapat ketika berada di sini." Kata Bima setelah dirinya selesai memakan kuenya.
Sinta pun berkata, "Kau tidak bisa menolak makanan serta minuman atau tak bisa menolak untuk melihatku di acara ulang tahunku ini?" Saat Sinta berkata demikian, ponsel Bima berdering, tanda ada telepon masuk. Bima pun mengelap tangannya dengan tisu yang disediakan di meja sebelum mengangkat telepon. Ia berbicara dengan seseorang yang ada di telepon, sehingga ia tak menanggapi perkataan Sinta.
Bima yang sedang menerima telepon itu pun berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah luar restoran sambil terus berbicara dengan seseorang.
"Eh, Mas Bima mau kemana?" Tanya Sinta ketika dilihatnya Bima berjalan pergi.
Semua orang yang melihat kepergian Bima itu pun bertanya-tanya, sehingga mereka tak bisa melepaskan pandangan mata mereka dari pintu yang beberapa saat lalu ditutup oleh Bima. Butuh beberapa menit untuk semua orang menatap pintu tersebut, tak ada yang mengalihkan pandangan. Sampai, terlihat Bima kembali masuk dan membuka lagi pintu yang sebelumnya ia tutup itu dengan membawa sebuah gitar. Semua orang pun semakin bertanya-tanya.