"Untuk apa kau lakukan ini?"
Bima tak menanggapi pertanyaan Sinta dan justru menatap ke arah Fanya untuk segera menaiki motornya. Sinta yang tahu jika dirinya diabaikan oleh Bima pun kembali berbicara, "Untuk apa kau lakukan ini!" Ia membentak Bima dengan keras.
Untuk beberapa saat Bima menatap ke arah Sinta, ia pun membuka mulutnya untuk berbicara, "Aku tak ingin kau berbuat sesuatu yang nantinya berakibat buruk."
"Berakibat buruk pada siapa? Kau? Kau tak mau sampai aku mempermalukanmu di kantin, itu alasan kau membawaku kemari?"
"Aku tahu kau akan membalas perbuatan Zizi."
"Lalu kenapa? Itu bukan urusanmu!" Sinta terus menaikkan suaranya, ia sangat marah karena baru kali ini seseorang melakukan hal buruk kepadanya dan dirinya tak bisa membalas. Ia begitu marah kepada Bima yang justru membawanya pergi.
Bima menghela napas, ia mencoba untuk tetap menjaga intonasi suaranya supaya tidak membentak Sinta, "Aku tak mau hal itu terjadi. Sudah, sekarang segeralah pergi." Sinta yang mendengar perkataan Bima itu menatapnya dengan tatapan tidak percaya, "Kau tak perlu ikut campur dengan urusanku! Tak perlu kau lakukan semua ini, aku tak membutuhkannya!"
"Aku harus melakukan ini."
"Kenapa?" Sinta bertanya kepada Bima, Bima yang ditanya itu hanya diam sambil terus memandangi Sinta. Ia diam beberapa saat sebelum berkata, "Karena aku peduli padamu. Aku tak mau kau terlibat masalah yang lebih buruk dengan Zizi. Seharusnya kau tahu. Selama kau dekat denganku, kau harusnya paham bagaimana Zizi."
Sinta tertawa sinis mendengar perkataan Bima, "Kau hanya peduli dengan dirimu, kau tak peduli denganku. Selama ini kau hanya memikirkan kebaikan untuk dirimu, tak sedikit pun memikirkan orang lain. Dan yang kau lakukan saat ini, kau tak mau semua tatapan orang-orang di kantin itu bertambah banyak, lalu membuatmu tak nyaman. Kau hanya peduli pada dirimu sendiri!"
"Jika aku tak peduli padamu, aku telah lama menyingkirkanmu dari hidupku. Tapi apa yang aku lakukan sekarang? Aku tak melakukannya meskipun kau sangat menggangguku." Bima membalas perkataan Sinta dengan penuh penekanan. Sinta terdiam beberapa saat sebelum berkata, "Jika kau memang mau aku berhenti, aku akan melakukannya."
Bima terkejut mendengar ucapan Sinta, ia tahu jika dirinya telah salah berbicara sehingga membuat perdebatan di antara dirinya dan Sinta saat ini semakin rumit. Sinta menambahkan, "Katakan apa yang kau mau aku lakukan."
Bima memandangi Sinta, mata mereka saling menyelami dalamnya tatapan satu sama lain. Mata, sang pencari kebenaran. Ia haus akan kebenaran yang tersembunyi pada dalamnya sebuah tatapan. Sinta yang mencoba untuk menyelami samudera tatapan Bima itu berharap jika dirinya tak akan tenggelam, sebab biasanya ketika ia mencoba untuk melakukan itu, ia akan kesulitan dan tenggelam. Beruntung ia menemukan cara untuk keluar. Kali ini ia mau mencobanya lagi. Ia ingin tahu tentang isi dari samudera yang tak satu pun orang pernah selamat darinya. Ia ingin tahu, jawaban yang jujur dari pertanyaannya itu.
Bima yang saat ini menatap Sinta dengan lekat itu pun melakukan hal yang sama dengan apa yang Sinta lakukan kepadanya. Ia akrab dengan samudera tatapan Sinta, sebab berkali-kali dirinya menyelaminya. Namun, samudera itu tampak berbeda kali ini. Perairan dangkal nan indah dengan batu-batu karang beraneka ragam serta warna, ikan-ikan kecil warna-warni, jernihnya air yang biasanya ia kenali itu mengubah dirinya. Kini samudera itu tampak kelam, sangat kontras dengan terangnya mentari pagi ini. Ia semakin dalam dan dalam hingga rasanya Bima tak bisa menyelaminya lebih jauh. Tak ada sesuatu yang bisa ia temukan di sana, tak ada yang bisa ia baca seperti biasanya, dan itu adalah suatu tanda yang buruk.
"Baiklah, kurasa semuanya telah jelas." Sinta menarik tangannya yang sejak beberapa menit yang lalu diganggam oleh Bima. Ia pun berjalan menuju motor Fanya untuk menaikinya, meninggalkan Bima di belakang, membiarkan Bima terlempar dari samudera tatapan matanya.
Beberapa saat Bima terpaku, mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi. Dan ia sadar ketika Sinta hendak sampai di dekat motor Fanya, ia berkata, "Tunggu." Kata Bima yang membuat Sinta berhenti.
Bima yang tahu jika Sinta menghentikan langkah kakinya itu kini berlari menuju motornya. Sinta membalikkan badannya dan bertanya-tanya untuk apa Bima melakukan itu. Bima terlihat mengeluarkan kunci motornya dari dalam saku, lalu ia membuka jok motornya untuk mengambil jaketnya yang ia lipat di dalam bagasi motornya itu.
Setelah jaket itu terambil, kini Bima kembali berlari menuju Sinta. Tepat beberapa langkah di dekat Sinta, Bima menghentikan gerak kakinya yang berlari. Ia berjalan menuju Sinta sambil mengulurkan jaketnya kepada Sinta.
"Pakailah ini." Kata Bima. Sinta memandang uluran tangan Bima. Jaket jeans warna krem milik Bima yang sering ia pakai itu kini hendak Bima berikan kepada Sinta untuk dipakai.
Mengetahui jika Sinta tak kunjung menerima jaket itu, Bima kembali berbicara, "Pakailah. Setidaknya ketika aku tak bisa mengantarmu kali ini, jaketku bisa berguna untuk mencegahmu kedinginan." Sinta pun menerima jaket itu dan memakainya secara terbalik supaya bisa menutupi badannya yang basah di bagian depan. Baju hitam milik Sinta yang basah itu kini telah tertutup sempurna dengan jaket milik Bima.
Sinta segera naik ke boncengan motor Fanya dan mereka pun pergi meninggalkan Bima yang masih berdiri memandangi kepergian ketiga perempuan itu. Bima tahu jika kepergian Sinta kali ini membuat sesuatu menjadi buruk. Bima tak bisa menyebutkan sesuatu apa yang berubah, namun dengan kemarahan Sinta pagi ini dan semua kata-kata yang keluar dari mulutnya itu adalah sebuah masalah. Masalah yang membuat Bima harus melakukan sesuatu.
Bima berjalan menuju kantin untuk mengambil ponselnya yang ada di sana sebelum pergi menuju kelasnya. Ia melihat ketiga temannya berdiri di dekat pintu masuk tempat parkir. Melihat ekspresi ketiga temannya, posisi mereka berdiri, serta intonasi yang ia dan Sinta gunakan ketika berdebat beberapa waktu lalu, sepertinya mereka telah mendengar semuanya. Prada mengulurkan ponsel milik Bima sebelum menepuk pundak Bima untuk menyemangatinya.
"Kau bisa menemuinya ketika kita selesai dengan kelas ini." Usul Nuca.
"Tidak. Dia pasti membutuhkan waktu sendiri terlebih dulu." Sahut Bima dengan dingin.
Sebenarnya saat ini ada gejolak aneh yang dirasakan oleh Bima. Ia merasa sangat ingin menyusul Sinta, namun di lain sisi, ia berpikir jika sepertinya Sinta membutuhkan waktu sendiri terlebih dulu. Sebab masalah dengan Zizi yang baru saja ia alami itu tentu membutuhkan waktu lebih untuk menenangkan dirinya. Bima merasa sangat bingung saat ini, tapi ia tak bisa melakukan apa-apa.
Bima dan teman-temannya memasuki ruang kelas untuk menghadiri kuis. Zizi yang melihat kedatangan Bima itu pun berdiri untuk menghampiri Bima.
Ino menahan tangan Zizi yang mencoba mendekati Bima. Bima pun tak menghiraukan kehadiran Zizi dan terus berjalan ke salah satu kursi untuk duduk. Zizi yang ditahan seperti itu tentu tak akan diam saja, ia berkata, "Jangan kau berani menghalangiku."
Mendengar ucapan Zizi, Prada, Nuca, serta Ino menatap Zizi dengan tajam.
"Aku tak peduli dengan ucapanmu. Berhenti. Menganggu. Kami." Ino berbicara dengan nada yang sangat mengintimidasi. Dirinya yang dikenal sebagai lelaki yang paling suka dengan hal-hal receh di antara ketiga temannya itu tak pernah sekali pun marah. Ia dikenal paling ramah dari ketiga temannya, paling mudah bergaul, paling suka bercanda, dan paling usil. Itulah kenapa saat ini, Zizi dibuatnya tak bisa berkutik. Ia memang berkali-kali diperingatkan oleh ketiga lelaki ini untuk menjauhi mereka, khususnya Bima. Namun, semua ancaman mereka tak pernah ia indahkan. Dan kali ini, amarah Ino terasa hingga tengkuknya.
Ino dan yang lainnya pun segera menyusul Bima untuk duduk, meninggalkan Zizi yang masih terpaku di belakang mereka. Beberapa saat kemudian, barulah Zizi berjalan menuju kursinya dan perkuliahan segera menyusul. Dosen masuk ke dalam kelas dan kuis pun dimulai.
Sinta, Ara, dan Fanya telah sampai di tempat kos Ara. Mereka sepakat untuk pergi ke sana. Sesampainya di sana, Sinta masih memasang muka masamnya, Ara atau pun Fanya tak berani untuk berbicara kepadanya. Pintu kamar kos Ara terbuka dan mereka memasuki kamar bersama-sama.
Sinta melepas jaket Bima yang masih ia kenakan, Ara mencari baju ganti untuk Sinta, sedangkan Fanya duduk di atas kasur Ara. Jaket telah terlepas dan Sinta letakkan di kursi yang ada di kamar Ara, tiba-tiba suara sesenggukkan terdengar. Ara yang tadinya masih mencari baju untuk Sinta, Fanya yang tadinya menundukkan kepala, mereka memandang ke arah sumber suara.
Sinta berdiri dengan kedua tangan yang mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menangis hingga wajahnya memerah, Fanya yang melihat hal itu pun segera menghampiri Sinta dan menuntunnya untuk duduk di atas kasur Ara. Sedangkan Ara mempercepat gerakannya dalam mencari baju ganti untuk Sinta dan segera menyusul untuk duduk di atas kasurnya.
Fanya menenangkan Sinta dengan memeluk tubuhnya dari samping, Sinta pun menyandarkan kepalanya ke arah Fanya.
"Seharusnya memang aku tak melakukan itu." Kata Sinta dengan sesenggukkan.
"Sshhh, jangan berkata seperti itu." Ara yang duduk di sebelah kanan Sinta itu mengubah haluannya sambil berkata demikian. Ia berpindah ke depan sehingga ia berlutut di hadapan Sinta. Ia mencoba menenangkan Sinta dengan ucapannya dan tangannya mengusap-usap tangan Sinta.
"Ara benar, tak perlu kita memikirkan hal itu dulu."
"Begini saja, kamu ganti baju dulu supaya badanmu terasa lebih bersih. Kita hilangkan dulu sejenak segala keburukan yang kita dapatkan hari ini."
Sinta semakin menjadi, ia menangis semakin kencang, "Aku sangat tidak suka dengan perempuan itu, aku pasti akan membalasnya nanti. Untuk apa juga dia membela perempuan itu!" Mendengar ucapan Sinta, Ara serta Fanya semakin gencar menenangkan Sinta.
Membutuhkan beberapa menit, lebih tepatnya satu jam lebih, sebelum Sinta puas dengan segala umpatan dan kekesalannya terhadap Zizi. Dan juga Bima, ia juga mengungkapkan banyak sekali kekesalan yang ia tujukan untuk Bima. Setelah Sinta puas, ia berjalan menuju kamar mandi untuk mengganti bajunya dan mencuci mukanya setelah selesai menangis.
Ara dan Fanya saling berpandangan ketika Sinta berjalan menuju kamar mandi.
"Lalu apa lagi setelah ini?" Tanya Fanya dengan intonasi sepelan mungkin kepada Ara.
"Aku juga tak tahu." Ara pun membalas perkataan Fanya dengan tak kalah pelan.
Tiba-tiba ponsel Fanya berbunyi, ia pun mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Ia sangat terkejut ketika membaca notifikasi yang masuk di ponselnya hingga menutup mulutnya menggunakan satu tangan. Ara menatap Fanya dengan tanda tanya besar sampai ia pun berbuat hal yang sama dengan yang Fanya lakukan ketika membaca notifikasi di ponsel Fanya.
"Kak Bima mengirim pesan kepadaku." Kata Fanya dengan suara tertahan.
"Ssttt, jangan keras-keras." Kata Ara mengingatkan.
"Jika Kak Bima bisa mengirim pesan kepadaku, itu tandanya ia tak lagi memblokir media sosialku."
"Coba buka dulu pesannya." Fanya pun membuka pesan yang dikirim Bima kepadanya melalui media sosialnya itu, "Bagaimana Sinta?" Fanya membaca pesan Bima dengan tak percaya.
"Astaga." Ara menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.
Setelah Fanya membaca pesan dari Bima, ia pun segera membalas pesan dari Bima. Ia berkata yang sejujurnya tentang keadaan Sinta. Setelah Sinta kembali dari kamar mandi, Sinta berkata kepada kedua temannya jika dirinya ingin pulang. Sebenarnya masih ada satu kelas yang harus mereka hadiri beberapa menit lagi, namun Sinta berkata jika ia akan absen hari ini. Ara dan Fanya pun memahami keputusan Sinta dan mengantarnya pulang. Sebenarnya Sinta memutuskan untuk pulang sendirian menaiki bus, namun kedua temannya bersikeras untuk mengantar Sinta pulang. Setelah mereka mengantar Sinta pulang, tak lupa mereka juga memberi kabar kepada Bima, sebab Bima meminta mereka akan memberi kabar jika ada perkembangan.
Sinta memasuki rumah dengan menenteng bajunya dan juga jaket Bima. Bunda yang tahu jika Sinta sedang tidak baik-baik saja itu mencoba untuk berbicara dengan kedua teman Sinta tentang apa yang terjadi. Ara dan Fanya pun menceritakan apa yang terjadi pada Sinta hari ini. Beberapa menit mereka bercerita, sebelum akhirnya pamit untuk menghadiri kuliah berikutnya. Sebenarnya mereka mau saja menemani Sinta di rumahnya, namun Bunda yang tahu jika mereka masih ada satu kelas lagi yang harus dihadiri pada hari ini pun meminta mereka untuk datang dan mengabari jika ada tugas atau semacamnya kepada Sinta yang hari ini tidak masuk kelas.
Kesedihan Sinta berlanjut hingga dirinya memutuskan untuk langsung saja tidur ketika telah sampai di kamarnya. Ia mencoba untuk melupakan kekesalannya dengan cara tidur, tak peduli jika semua rasa kesal yang ia dapat hari ini menjelma mimpi buruk. Jika sampai ia menjelma monster di dalam tidurnya, ia akan dengan senang hati menghancurkan monster itu di dalam mimpi, sebab monster di dunia nyata tak bisa ia hancurkan hari ini. Kekesalannya tak bisa ia balaskan karena Bima menghalangi dirinya untuk melakukan itu.
Sinta tak memberitahukan perkara ini kepada kedua sahabatnya, ia mematikan ponsel sebelum dirinya tidur. Hal itu ia lakukan supaya tidurnya siang ini tak diganggu oleh siapa pun. Sampai akhirnya cahaya senja membangunkannya dari tidur.
Empat jam lebih dirinya tidur. Sepertinya memang tangisnya siang ini menguras banyak energi, sehingga Sinta membutuhkan waktu yang lama untuk menenangkan dirinya.
Pintu kamar Sinta diketuk dari luar. Terlihat Bunda membuka pintu kamar Sinta dengan membawa cangkir dengan asap tipis yang mengepul darinya.
"Bunda buatkan cokelat panas." Kata Bunda sambil duduk di sebelah Sinta yang terbaring.
Sinta diam saja. Ia tak merespon perkataan Bunda.
"Kalau kamu mau cerita, Bunda akan berusaha menjadi pendengar yang baik. Tapi jika kamu masih belum mau bercerita, tak apa. Tak masalah." Melihat Sinta yang masih diam saja, Bunda pun melanjutkan, "Ya sudah. Bunda siapkan makan malam dulu, ya. Nanti selepas Maghrib, kita makan bersama." Bunda pun berdiri untuk kembali menuju dapur.
Beberapa saat kemudian deru mobil Ayah memasuki halaman rumah. Melihat Bunda yang berdiri dengan wajah lesu ketika menyambut kedatangannya, Ayah pun bertanya tentang apa yang terjadi. Mereka masuk ke dalam rumah dan Bunda pun bercerita tentang kejadian yang dialami Sinta hari ini. Mereka yang tahu jika Sinta pasti butuh waktu dengan hal itu pun memahami sikap Sinta saat ini.
Menjelang makan malam, Sinta turun dari kamarnya. Ia berjalan sambil membawa cangkir kosong.
"Ayo makan." Kata Bunda. Sinta pun duduk di salah satu kursi yang kosong dan segera mengambil nasi ke dalam piringnya.
Suasana ruang makan begitu berbeda dari biasanya. Tak ada percakapan, hanya ada denting sendok yang beradu dengan piring. Mereka menggantikan percakapan serta tawa yang kaya, karena semua itu hilang dan hambar di malam ini.
Tepat setelah Sinta selesai makan, deru sepeda motor memasuki halaman rumahnya. Dan beberapa saat kemudian terdengar ketukan di pintu depan. Bunda bangkit untuk membukakan pintu, yang kemudian Bunda kembali ke ruang makan dengan wajah yang tak biasa. Sinta menatap ekspresi wajah Bunda yang tak seperti biasanya itu. Ia menatap Bunda dengan penuh tanya, sebelum pada akhirnya ia berjalan menuju ruang tamu.
Di sana, seseorang bangkit dari duduknya. Tubuh tinggi nan tegapnya itu menjulang, mengintimidasi tubuh kuyu Sinta yang belum sempat mandi sore. Sinta menatapnya dengan tatapan datar, sebelum berkata, "Ada urusan apa kau kemari?"