"Oke, sebentar. Aku ke sana."
"Ya." Kata seseorang di telepon.
Bima berjalan keluar restoran dan berjalan menuju halaman depan restoran cepat saji ini. Ia pun melihat dua lelaki yang tak asing sedang mengobrol di parkiran motor. Bima segera menghampiri mereka.
"Maaf merepotkan."
"Tak masalah, kami senang membantumu mendapatkan kekasih." Kata salah satu orang sambil menyerahkan gitar yang ia bawa kepada Bima. Teman Bima tertawa mendengar penuturan salah satu lelaki itu, sedangkan Bima hanya berdecak.
"Beri kabar kepada kami tentang berhasil atau tidak dia menjadi kekasihmu." Kedua orang itu pun bersiap melajukan motor mereka meninggalkan Bima dengan tak henti-hentinya menggoda Bima. Dua orang lelaki itu adalah teman satu band Bima yang sekaligus teman kos Nuca.
Setelah melihat kedua temannya pergi, Bima pun berjalan kembali menuju restoran. Ia membuka pintu dan melihat tatapan mata semua orang mengarah kepadanya. Bunda, Ayah, teman-temannya, maupun teman-teman Sinta menatap dirinya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia mengabaikan semua tatapan itu dan berjalan mendekat.
"Kenapa bawa gitar?" Tanya Sinta kepada Bima. Bima tak menjawab pertanyaan Sinta dan hanya duduk sambil memangku gitar yang dibawakan oleh teman satu bandnya tadi. Bima menyeret salah satu kursi yang tidak diduduki oleh siapapun dan menempatkan kursi itu menghadap Sinta.
Kemudian saat semua tatapan tanya itu tak kunjung lepas darinya, Bima pun berkata dengan menatap lurus mata Sinta yang kini duduk di hadapannya, "Hari ini semua orang membawakanmu hadiah ulang tahun, kecuali aku. Aku tak tahu harus memberimu hadiah apa, sebab aku tak tahu hadiah dalam bentuk apa yang nantinya akan kau sukai." Perkataan Bima sungguh membuat Sinta keheranan. Belum pernah Bima berlaku seperti hari ini kepadanya, dan itu rasanya aneh.
Bima pun melanjutkan, "Tapi aku ingat jika kau pernah bilang bahwa kau menyukai seseorang yang bisa memainkan alat musik. Jadi, hari ini aku akan memainkan alat musik dan menyanyikan satu lagu untukmu. Semoga kau tak hanya menyukai caraku memainkan alat musik saja, namun juga menyukai caraku bernyanyi."
Sinta benar-benar bingung akan apa yang ia rasakan saat ini. Sebab sungguh, ia belum pernah merasa sebahagia ini sekaligus seaneh ini. Bima yang selama ini angkuh dan dingin padanya bisa bertindak semanis ini. Memang hanya Bima, lelaki yang tak akan pernah bisa dirinya tebak.
Semua orang yang mendengar perkataan Bima hanya bisa terheran-heran dan menahan pekikan mereka. Fanya dan Ara saling memeluk lengan dengan gemas, Ruri seperti biasa meremas lengan Banu, Bunda dan Ayah saling berpegangan tangan dan tersenyum. Prada, Nuca, Ino, serta Saka masing-masing menyibukkan tangan mereka di kepala. Ada yang memegang erat kepala dengan kedua tangan, salah satu tangan meremas rambut bagian belakang kepala, salah satu tangan memegang dahi, lalu gerakan yang paling heboh dari keempat lelaki itu dilakukan oleh Ino yang mengusap kasar wajahnya dengan salah satu tangan sambil tangan yang lainnya mendorong-dorong bahu Prada.
Bima pun mulai memetik gitarnya. Satu per satu nada sampai ke telinga dan menyalurkan ketenangan di sana. Sinta tak bisa menahan senyumannya ketika dilihatnya Bima mulai fokus dengan gitar itu di hadapannya.
Suara nyanyian Bima yang pertama pun terdengar, "Please, don't see. Just a boy caught up in dreams and fantasies." Petikan gitar terasa semakin indah bila menyatu dengan suara berat dan dalam milik Bima. Sinta tak bisa mencegah kehendak matanya yang tak mau melepas pandangannya dari Bima yang bernyanyi. Ia tak mau melakukan itu, sebab setiap gerakan kecil yang saat ini Bima lakukan sangatlah berarti.
"And God, tell us the reason youth is wasted on the young. It's hunting season and the lambs are on the run, searching for meaning. But are we all lost stars, trying to light up the dark." Bagian chorus dinyanyikan Bima dengan apik. Meski Sinta tak tahu mengenai lagu ini, ia sangat menyukai lagu yang saat ini dinyanyikan oleh Bima di hari ulang tahunnya.
Sinta semakin tersenyum senang ketika Bima melanjutkan nyanyiannya, "Don't you dare let our best memories bring you sorrow, yesterday i saw a lion kiss a deer. Turn the page, maybe we'll find a brand new ending, where we're dancing in our tears."
Lirik lagu itu mengingatkan dirinya atas kisah dirinya dengan Bima. Mungkin memang selama ini Sinta selalu merasa kesal ketika seseorang mengingatkan kembali tentang malam teater yang menjadi malam pertama dirinya bertemu mata dengan Bima. Ia kesal karena kejadian yang mengikuti malam itu adalah kejadian yang ia anggap memalukan. Namun, saat ini ia sadar jika malam itu bukanlah malam yang mengesalkan, melainkan menyenangkan.
Biarlah semua hal yang telah terjadi padanya itu menjadi suatu hal yang akan memulai semuanya dari awal. Sebuah awal yang baru antara dirinya dan Bima. Sebab jika malam itu tak pernah terjadi di dalam hidupnya, maka mungkin tak akan ada kemungkinan dimana seekor singa terlihat dekat dan lekat dengan rusa seperti di lirik lagu. Dan di sini, Bima sebagai singa, dan Sinta sebagai rusanya.
Bima yang bernyanyi itu terlihat fokus dengan gitar dan sesekali menatap ke arah mata Sinta. Ia bisa melihat pancaran kebahagiaan di wajah Sinta yang menular padanya. Bima bernyanyi dengan senyuman yang entah mengapa terbentuk di wajahnya. Sepertinya memang senyuman manis milik Sinta memancing senyum-senyuman lain dari orang-orang yang melihatnya.
"But are we all lost stars, trying to light up the dark." Bima mengakhiri nyanyiannya. Sinta diam beberapa saat dengan tak pernah membiarkan senyuman lepas dari wajahnya. Mereka saling bertatapan beberapa saat sebelum tepukan tangan dan sorak-sorakan teman-teman mereka serta orang tua Sinta terdengar. Mendengar hal itu, Sinta ikut bertepuk tangan dan tertawa senang, sedangkan Bima berdiri dari duduknya. Ia mengembalikan lagi kursi yang tadi ia duduki dan kembali ke tempat duduknya semula.
"Lagu apa yang kau nyanyikan itu? Aku tak pernah mendengarnya sebelumnya." Tanya Sinta kepada Bima.
Bima yang baru saja duduk di kursinya itu menatap ke arah Sinta dan berkata, "Lost Stars milik Adam Levine."
Sinta tersenyum lebar, "Kau tahu? Aku bukan tipe orang yang bisa dengan mudah menyukai sebuah lagu dalam sekali dengar, tapi sepertinya jika aku mendengar lagu itu pertama kali dari nyanyianmu, aku akan dengan sangat senang hati menyukainya." Bunda, Ayah, serta teman-teman Sinta menyoraki Sinta yang berkata demikian kepada Bima, sedangkan Bima hanya menatap Sinta datar. Melihat itu, Sinta tertawa kencang.
"Kau memberikanku hadiah yang sangat-sangat mengejutkan. Terima kasih." Kata Sinta kepada Bima.
Bima mengangguk, "Tak masalah."
Acara perayaan ulang tahun Sinta setelah Bima bernyanyi semakin meriah. Mereka memuji kebolehan Bima dalam bermain gitar sekaligus bernyanyi. Dan kedua kebolehan itu bukanlah hal yang buruk, semua Bima lakukan dengan sangat baik sehingga semua mata terbius akan penampilannya.
"Jadi, kau keluar restoran ini untuk mengambil gitar?" Tanya Prada kepada Bima.
"Ah, ya. Bagaimana kau bisa mendapatkan gitarmu ini?" Ino bertanya dengan heran.
Melihat teman-temannya kebingungan, Bima pun menjelaskan bagaimana cara dirinya mendapatkan gitarnya ini. Ia bercerita tentang teman bandnya yang mengantarkan gitar miliknya ini kemari.
"Wow!" Kata Nuca. Dirinya, Prada, serta Ino bertepuk tangan sebagai respon dari cerita yang Bima sampaikan.
"Baru kali ini kami tahu jika kau bisa melakukan hal ini."
"Sungguh menakjubkan." Prada dan Ino sungguh terkejut dengan tindakan Bima.
Ketiga teman Bima sama terkejutnya dengan Sinta. Mereka sangat tidak menyangka seseorang seangkuh dan sedingin Bima bisa merencakan hal yang sangat manis untuk ia lakukan kepada seorang perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Sinta. Bima yang mereka tahu itu tak pernah sekali pun terlibat dengan perempuan. Banyak perempuan yang mendekati dirinya, namun Bima tak peduli dengan mereka, cenderung menghindar. Dan memang, dari keempat lelaki yang berteman itu, Bima adalah lelaki yang paling tak bisa dimengerti oleh lainnya. Kepribadiannya yang angkuh dan dingin itu membuatnya memiliki jarak dengan teman-temannya, walau tak sepanjang jarak yang membentang di antara Bima dan orang-orang yang lain.
"Tunggu, ini adalah gitarmu?" Tanya Sinta kepada Bima.
"Ya."
Gitar akustik warna hitam yang Bima mainkan itu ternyata adalah miliknya. Ia melihat lagi gitar yang saat ini diletakkan di bawah, di samping kursi yang Bima duduki.
"Aku merasa tak asing dengan gitar ini." Kata Sinta.
"Memang kau sering melihatnya," sahut Bima.
Melihat adanya keterbingungan di wajah Sinta, Bima melanjutkan, "Aku sering membawa gitar ini ke tempat Prada dan ia sering kali menginap di sana." Ia yang dimaksud oleh Bima ini adalah gitar miliknya.
Sinta menyadari sesuatu, "Oh, ya. Aku ingat."
Setelah Bima menyelesaikan kegiatan bernyanyinya, makanan serta minuman pun dihidangkan. Mereka melanjutkan kegiatan setelah kegiatan memakan kue, yaitu dengan menikmati makanan serta minuman yang lainnya. Bima yang selesai mengobrol dengan Sinta dan teman-temannya itu pun kini fokus dengan makanannya tanpa sedikitpun mau berbicara.
Beberapa menit setelah itu, obrolan pun menemui akhir. Bima yang telah selesai dengan urusan makannya itu pun berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Beberapa menit kemudian dia kembali ke tempat duduknya.
"Kalian langsung pulang?" Tanya Sinta.
"Ya." Jawab Prada dan yang lainnya.
Setelah kegiatan makan-makan selesai, semua tangan telah bersih, maka mereka semua bersiap untuk pulang. Barang-barang dikemas dan meja-meja dibersihkan. Kini masing-masing orang telah bersiap untuk pulang, mereka semua berjalan menuju tempat parkir.
"Main ke rumahku, yuk. Kita sudah lama tidak mengobrol bersama secara langsung." Ajak Sinta kepada Saka yang mengundang tatapan Bima.
"Aku ikut, ya." Sahut Ruri. Bima yang tadinya menatap ke arah Sinta dan Saka pun mengalihkan padangannya dan berjalan menuju motornya.
"Boleh."
"Kalian juga mau ikut?" Tanya Sinta kepada Ara dan juga Fanya.
"Tidak, mungkin lain kali saja. Kalian pasti memerlukan waktu bersama setelah beberapa bulan tak bertemu." Jawab Ara.
"Tak apa jika kalian juga ikut." Kata Ruri.
Fanya menanggapi, "Lain kali saja, tak apa."
"Baiklah, jika kalian berubah pikiran, kalian boleh datang ke rumahku." Kata Sinta.
Banu yang mendengar percakapan itu pun berkata, "Aku tak bisa ikut, aku ada perlu di tempat lain."
"Memangnya siapa yang mengajakmu?" Sahut Sinta yang membuat Banu memutar bola matanya jengah dan yang lainnya tertawa.
Ketika Sinta melihat Bima hendak naik ke motornya, Sinta berkata kepada teman-temannya, "Sebentar, ya." Sinta pun berlari menuju Bima.
Bima yang saat ini sedang bersiap untuk memakai helmnya pun menunda kegiatannya tersebut ketika dilihatnya Sinta berlari ke arahnya.
"Kalian langsung pulang?" Tanya Sinta. Kalian di kalimatnya ini merujuk pada Bima, Prada, Nuca, serta Ino.
"Ya, mereka akan ke tempat kosku." Jawab Bima. Sepertinya mereka ke tempat Bima untuk mengembalikan gitar milik Bima itu, sebab gitar milik Bima saat ini dipegang oleh Nuca yang berboncengan dengan Ino. Gitar hitam itu dipegang oleh Nuca karena Bima tak membawa tas gitar yang bisa membuat dirinya membawa sendiri gitarnya. Oleh karena itu, Nuca yang saat ini berboncengan dengan Ino pun dimintai tolong untuk membawa gitar miliknya.
"Terima kasih sudah datang." Kata Sinta kepada Bima.
Bima hanya diam dan memandangi mata Sinta sebagai jawaban. Melihat Bima yang tak seperti ingin menanggapi perkataannya, Sinta pun melanjutkan, "Aku sangat menyukai caramu memainkan alat musik, juga sangat menyukai caramu bernyanyi. Ah, mungkin aku menyukaimu." Sinta berkata demikian dengan tawa renyah yang mengiringi perkataannya itu. Ia pun berlari menjauh untuk masuk ke mobil kedua orang tuanya.
Ketika berlari, Sinta sempat berbalik lagi dan menatap Bima yang menaikkan satu alisnya sebagai tanda heran ke arahnya itu. Ia berseru, "Hati-hati di jalan!" Sinta berseru dengan melambaikan tangannya ke arah Bima, sedangkan Bima hanya menatap Sinta tanpa berniat membalas ucapannya. Sebenarnya, yang terjadi saat ini adalah Bima merasa heran dengan ucapan yang baru saja disampaikan oleh Sinta kepadanya itu.
"Aku benar-benar tak menyangka Mas Bima akan bernyanyi untukmu hari ini." Kata Saka ketika mereka tiba di rumah Ruri. Mereka saat ini telah ada di kamar Sinta. Saka berkata demikian sambil tertawa geli. Ia tentu mengenal Bima selama kakaknya itu berteman dengannya, ia tahu banyak soal Bima. Perkara angkuh dan dinginnya Bima, tentu dirinya juga tahu. Seseorang yang baru mengenal atau sekilas menatap Bima pun tahu akan hal itu.
"Aku juga tak menyangka. Astaga, dia memang tak bisa kutebak." Kata Sinta.
Percakapan pun berlanjut, kebanyakan topik bahasan mereka adalah Bima, lalu dilanjutkan dengan percakapan mereka tentang kehidupan Saka di lingkungannya yang baru.
"Kamu memangnya datang ke sini sejak kapan?" Tanya Sinta.
"Kemarin malam."
"Naik motor?" Tanya Sinta dengan terkejut. Ia menebak hal tersebut karena dirinya tahu jika hari ini Saka membawa motornya yang seharusnya berada di tempat kosnya itu.
Saka pun terkekeh sebagai balasan dari pertanyaan Sinta. Melihat respon Saka, Sinta melanjutkan, "Astaga, Sa. Kan kamu bisa naik kereta untuk ke sini. Trus kamu kapan akan kembali ke sana? Kamu ada kuliah di hari Senin, kan?"
"Aku ingin mencoba naik motor. Rencananya nanti malam aku akan kembali."
"Astaga! Kamu kira ke Jawa Tengah itu dekat? Kalau kamu berangkat malam, kamu akan sampai di sana dini hari! Kamu tahu soal ini, Ri?"
"Aku sudah melarangnya, tapi kamu tentu tahu seperti apa sahabatmu yang satu ini, bukan?" Kata Ruri. Saka yang melihat kedua sahabatnya menatap ke arahnya dengan tatapan marah pun hanya bisa menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal.
"Kamu harus kembali sore ini. Sekarang pulang, tidur yang cukup supaya tidak mengantuk ketika di jalan. Ayo." Sinta berkata demikian kepada Saka dan berdiri dari duduknya. Ia berkata sambil menarik tangan Saka supaya berdiri.
"Aku kan masih ingin mengobrol dengan kalian," Saka berkata demikian dengan wajah memelas.
"Tidak, harus pulang sekarang." Ruri mengikuti Sinta yang mencoba membuat Saka berdiri. Saka yang ditarik-tarik oleh dua sahabatnya itu hanya bisa pasrah dan berdiri. Ia pun bangkit dan berpamitan untuk pulang ke rumahnya.
"Seharusnya kamu bicara denganku supaya Saka tak datang kemari dengan mengendarai motornya." Kata Sinta kepada Ruri ketika mereka kembali lagi ke kamar Sinta setelah mengantar Saka ke depan.
"Kalau aku memberitahumu, kehadiran Saka yang bertujuan sebagai salah satu bentuk kejutan untukmu akan gagal. Lagipula jika aku melakukannya, kita akan mendapat lebih banyak kegagalan. Kegagalan pertama adalah kejutan yang tak jadi diberikan, lalu kegagalan kedua adalah tetap saja kita tak bisa menghentikan keinginan Saka itu. Kamu kan tahu sendiri bagaimana sahabatmu."
"Iya juga." Kata Sinta menyahuti perkataan Ruri.
"Ngomong-ngomong, sejak kapan kamu jadi sedekat itu dengan Kak Bima?" Tanya Ruri tiba-tiba.