Sinta menatap Ruri yang bertanya kepadanya. Ia menatapnya dengan diikuti senyuman yang terukir di wajahnya.
"Aku sendiri tak tahu sejak kapan, tapi kurasa aku tak bisa mengatakan hal itu." Ruri mengangkat sebelah alisnya bingung, ia berkata "Kenapa kamu tak bisa mengatakan hal itu?"
"Jika kamu bertanya kenapa bisa Mas Bima bertindak seperti tadi, aku juga tak tahu kenapa dia bisa melakukan hal itu. Sikapnya sungguh tak bisa kutebak."
Ruri terdiam beberapa saat hingga Sinta yang menyadari ada sesuatu yang dirasakan oleh Ruri itu pun berbalik bertanya, "Memangnya kenapa? Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu?"
Ruri mengangkat bahu, "Entah, setahuku kalian bukan seorang teman yang dekat. Karena kita selama ini juga tahu bagaimana Kak Bima jika dihadapkan dengan seorang perempuan. Kurasa tindakannya hari ini sangat cukup untuk membuatku curiga." Ruri berkata hal tersebut dengan tertawa. Sebenarnya memang ia merasa curiga dengan Bima sekaligus takut karena dirinya saat ini lebih waspada dari sebelum-sebelumnya. Ia tak mau jika dirinya sampai kecolongan seperti waktu itu. Meski Tama tak lagi ada di dekat Sinta, tapi bisa saja teror mengerikan itu kembali muncul. Dan jika melihat ke belakang, selama ini Bima tak pernah merespon kehadiran Sinta dengan baik, sangat berbanding terbalik dengan apapun yang ia lakukan hari ini, tentu itu memantik kecurigaan Ruri.
*
Setelah Bima selesai dengan penampilan bernyanyinya yang mendadak, acara pun dilanjutkan dengan makan-makan. Kue yang telah habis itu kini diganti oleh hidangan utama. Terlihat Bima berdiri dari duduknya untuk mencuci tangannya setelah ia selesai makan. Ruri yang melihat hal itu pun juga ikut berdiri dari duduknya, ia berkata, "Aku cuci tangan dulu, ya." Ruri berkata demikian kepada Banu yang dibalas dengan anggukkan.
Ruri pun berjalan menuju wastafel. Ia melhat ke arah sana, hanya ada Bima yang saat ini sedang mencuci tangannya. Di restoran ini, ada dua wastafel yang saling berdampingan dan kedua wastafel itu berada di posisi yang pas untuk mendukung rencana Ruri. Ruri berencana akan berbicara dengan Bima.
"Kenapa kau lakukan itu?" Tanya Ruri ketika ia berada di samping Bima.
Bima yang sebelumnya fokus mencuci tangannya, kini teralihkan dengan perempuan yang berdiri di sampingnya. Ia tak menoleh, ia sudah bisa tahu siapa perempuan yang berdiri di sebelahnya ini melalui ekor matanya.
"Aku berbicara padamu." Kata Ruri dengan penuh penekanan.
"Itu bukan urusanmu." Kata Bima dingin.
Ruri yang mencoba tidak mencolok pun menatap cermin, ia mengawasi apakah ada seseorang yang berada di dekat mereka. Ia pun berkata, "Tentu saja itu adalah urusanku. Aku tak akan membiarkanmu mendekati Sinta, kau tahu?" Ruri berkata demikian setenang mungkin. Ia mencoba mati-matian menahan gejolak emosinya dengan bersikap senormal mungkin supaya tidak mengundang perhatian siapapun.
Bima menyeringai, "Urusanmu bukan untuk mencampuri tindakan apa yang aku lakukan. Kita sudah bicarakan ini sebelumnya. Jika kau masih bersamanya, maka aku sendiri yang akan turun tangan." Bima pun menyudahi kegiatannya dalam mencuci tangannya dan pergi meninggalkan Ruri yang menunduk dalam-dalam.
Sepanjang Ruri dan Bima mengobrol memang tak ada di antara mereka yang saling memandang. Hal itu mereka lakukan supaya tidak menarik perhatian orang-orang yang mereka kenal. Namun meski demikian, Ruri bisa merasakan jika Bima tak main-main dengan ucapannya sehingga membuat dirinya bergidik.
*
"Memang selama aku mengenalnya, ia tak pernah berlaku demikian. Aku juga merasakan sesuatu yang sangat aneh hari ini. Tindakannya menyanyi secara tiba-tiba adalah tindakan yang paling aneh yang pernah ia lakukan." Kata Sinta kepada Ruri.
"Kamu berkata jika tindakan yang dia lakukan itu adalah hal yang aneh, tapi kamu justru tersenyum ketika mengingatnya." Ruri menggoda Sinta yang saat ini senyum-senyum sendiri. Ia tahu jika sahabatnya yang satu ini sangat bahagia mendapat hadiah ulang tahun dari Bima berupa lagu yang Bima nyanyikan itu.
Sinta tertawa, ia membalas perkataan Ruri dengan senyuman aneh. Ruri yang melihat hal itu pun berkata, "Oh, ayolah. Aku tahu apa yang kamu pikirkan." Lagi-lagi Sinta hanya tertawa. Ia tertawa beberapa saat sebelum menanggapi perkataan Ruri, "Menurutmu, apakah sesuatu itu telah berubah?"
Ruri mengangkat sebelah alisnya, "Aku sudah memperingatkanmu tentang itu. Kamu tentu tahu jika berurusan dengan Kak Bima bukan perkara yang mudah, justru kamu malah memiliki rencana untuk mengganggunya. Jadi, rasakan akibat dari tindakanmu itu."
"Ya, aku tahu. Tapi, Ri. Bagaimana jika semua itu telah berubah?"
Ruri menghela napas sebelum berkata, "Ya mau bagaimana lagi? Kamu telah memilih jalanmu. Dan kita tak bisa berbuat apa-apa ketika kita telah terjatuh di suatu lubang kecuali berusaha untuk bangkit dan mengobati luka-luka itu."
"Jadi, menurutmu aku harus berhenti?"
"Aku tak memintamu untuk berhenti, hanya saja, kita memiliki cara kita masing-masing untuk mengobati suatu luka. Setiap luka yang dimiliki seseorang itu memiliki cara penanganan yang berbeda-beda karena bisa jadi sumber dari luka itu juga berbeda."
Sinta diam beberapa saat ketika Ruri mengatakan hal itu. Ia terlihat merenungi perkataan sahabatnya itu sebelum berkata, "Aku tak pernah melihatnya bertindak seperti tadi pagi, baik itu terhadapku atau terhadap orang lain. Bahkan Zizi yang sudah sangat lama mengejar Mas Bima pun tak bisa mendapatkan perhatiannya, justru masih sangat banyak hal yang belum ia ketahui tentang Mas Bima. Aku hanya berpikir, apa alasan dia melakukan semua ini."
Kini Ruri yang terdiam, ia tampak memikirkan sesuatu. Sebenarnya Ruri tahu alasan mengapa Bima melakukan hal itu, namun ia tak bisa mengatakan hal tersebut kepada Sinta.
"Aku juga tak tahu." Pada akhirnya ia pun memilih untuk berbohong.
"Mungkin aku akan mencoba untuk berbicara dengannya esok hari. Maksudku, aku perlu melakukan sesuatu terlebih dulu sebelum aku akan terjatuh lebih dalam. Sebab berurusan dengan Mas Bima bukanlah perkara yang mudah, apalagi aku sudah bertindak sejauh ini. Ah, sepertinya aku salah langkah. Aku bertujuan untuk mengganggunya akan kehadiranku, tapi justru aku yang terjatuh."
"Memangnya kenapa kamu justru nekat melanjutkannya? Kan kamu sendiri juga tahu bagaimana Kak Bima?"
"Ya, memang. Aku terlalu terbuai dengan hal-hal kecil yang dia berikan. Dari sekian banyak tindakanku dalam mengganggu dirinya, aku selalu menyukai saat di mana dia menatapku dengan tatapan tajam, tatapan kesalnya, serta helaan napasnya. Aku suka mengganggunya, tapi justru aku terlalu terbuai dengan itu semua. Aku semakin menikmati saat-saat di mana aku bertemu dengannya dan malapetaka datang. Aku telah siap dengan perisaiku untuk menghadapi besarnya pesona Mas Bima, tapi aku tak tahu jika pesonanya akan sebesar ini, huh." Keluh Sinta. Saat itu juga, Ruri tahu jika ia harus melakukan sesuatu.
Keesokan harinya berjalan seperti biasa. Sinta bersiap untuk pergi ke kampus dan bertemu dengan Ara dan Fanya di gazebo. Sinta yang tahu jika kedua temannya itu telah menunggunya di depan gazebo pun berlari supaya lebih cepat tiba ke sana. Saat ketika perempuan ini saling berhadapan di jarak yang dekat, "Aaaaa!" Sinta, Ara, dan Fanya berteriak secara bersama-sama.
Beberapa orang yang saat ini berada di gazebo atau di sekitarnya pun memandangi ketiga perempuan itu dengan tatapan bingung sekaligus terkejut, namun mereka tak mempedulikan tatapan orang-orang.
"Kita harus benar-benar merayakannya!" Seru Fanya. Setelah Fanya berkata demikian, ketiga perempuan itu memutuskan untuk berjalan menuju kelas mereka pagi ini.
"Bagaimana bisa Kak Bima melakukan hal itu?" Tanya Ara dengan tak percaya.
"Aku juga tak tahu. Tindakannya kemarin sungguh di luar dugaanku. Tapi aku curiga dia merencanakan sesuatu." Kata Sinta.
"Bisa saja Kak Bima menyukaimu." Kata Fanya yang membuat Ara serta Sinta memandangi dirinya. Sinta yang mendengar perkataan Fanya pun menggeleng-gelengkan kepalanya dan juga tertawa, "Tak mungkin dia menyukaiku."
"Lalu, jika tidak, kenapa kamu berteriak senang ketika melihat kita di gazebo?" Ara mencoba menggoda Sinta dengan hal tersebut, Fanya yang tak mau kalah pun menambahkan, "Iya, bilang saja kamu juga suka jika Kak Bima membalas perasaanmu."
Sinta tak membantah, ia hanya tertawa lepas mendengar penuturan kedua temannya ini. Mungkin memang dia tak akan mengakui hal itu di dapan Ruri atau Saka, namun Sinta tak akan menyangkal jika dia memiliki ketertarikan dengan Bima jika dihadapan Ara serta Fanya. Ia hanya tak mau mengakui hal itu di hadapan kedua sahabatnya karena Sinta terlalu malu atau lebih tepatnya gengsi melakukannya. Karena selama ini kedua sahabatnya itu telah banyak memperingatkan Sinta soal Bima dan ia membantah akan hal tersebut.
Kelas pun dimulai, buku catatan dikeluarkan dari dalam tas, guratan pena beradu di atas kertas. Pagi ini Sinta merasa jika dirinya sangat bersemangat. Kebahagaiaan yang ia dapat kemarin belum habis hingga di kemudian hari, sehingga di kelas pagi seperti ini ia tak menggerutu dan justru semakin banyak tersenyum dan tertawa.
"Setelah kelas usai, kamu harus pergi ke kantin." Kata Fanya ketika melihat Sinta tak henti-hentinya senyum-senyum sendiri. Sinta hanya menahan tawa ketika mendengar penuturan temannya itu.
Setelah kelas pagi usai, Sinta dan kedua temannya pergi ke kantin. Mereka bertujuan untuk bertemu dengan Bima dan yang yang lainnnya. Ketika sampai di kantin, terlihat Bima yang menatap serius ponselnya.
"Kok tumben tak ada makanan di meja kalian?" Tanya Sinta ketika ia duduk di hadapan Bima. Bima yang menyadari keberadaan Sinta pun hanya melihatnya sekilas lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Kami akan ada kuis setelah ini. Jadi makannya nanti saja." Jawab Prada. Sinta mengangguk-anggukkan kepala mendengar jawaban dari Prada. Dirinya sempat hendak bertanya kenapa Bima sangat fokus dengan ponselnya, ternyata mereka akan mengikuti kuis yang diadakan oleh kelas mereka beberapa menit lagi.
Belum sempat Sinta kembali mengeluarkan suara, Zizi dan teman-temannya datang. Zizi menghampiri meja Sinta dan yang lainnya sambil memukul meja dengan keras.
"Heh, Bocah!" Sinta terkejut sampai tangan kanannya mengusap-usap dadanya, sedangkan Bima yang sama sekali tak terkejut itu hanya menatap datar ke arah Zizi. Bima pun kembali fokus dengan ponselnya.
"Sudah berapa kali kubilang? Aku tak suka kau dekat-dekat dengan Bima! Berani-beraninya kau justru mengundangnya datang ke acara ulang tahunmu!"
Sinta mengerutkan dahinya mendengar penuturan Zizi, "Kau tahu darimana soal itu?"
"Tak penting darimana aku tahu, yang penting jauhi Bima! Pergi kau jalang!" Zizi berteriak dengan keras. Jika dilihat dari rona wajahnya, ia terlihat sangat marah. Teriakannya itu sampai mengundang perhatian semua orang di kantin.
Sinta menanggapi Zizi dengan tenang, "Kau yang harusnya pergi, Mas Bima dan yang lainnya sedang belajar sebelum kuis. Kau justru mengganggu mereka dengan suara teriakanmu yang jelek itu."
"Apa kau bilang? Kau yang harusnya pergi! Seharusnya kau tak datang ke kehidupanku dan merusak hubunganku dengan Bima! Jangan kau berani mendekatinya! Aku sudah memperingatkanmu!" Kata Zizi dengan menunjuk-nunjuk Sinta.
Sinta tertawa sinis, "Kita sudah sepakat untuk bersaing secara sehat. Lalu kenapa sekarang kau kembali menyuruhku menjauhi Mas Bima? Kau takut aku yang akan mendapatkannya? Kau takut jika kau tak akan mendapatkannya, hm?"
"Dasar kau!" Zizi merebut gelas minuman yang dibawa oleh salah satu temannya dan menyiramkannya ke arah Sinta. Baju Sinta basah kuyup menerima guyuran air, ia yang tak menyangka jika Zizi akan melakukan hal itu kepadanya pun membuka mulutnya dengan tak percaya. Semua teman-temannya terkejut dengan apa yang dilakukan Zizi kepada Sinta, termasuk Bima yang saat ini menatap ke arah Sinta yang terlihat hendak membalas perbuatan Zizi itu.
Bima tahu jika kedatangan Zizi pasti menimbulkan suatu masalah, dan ia tak mau jika sampai masalah itu menjadi masalah yang lebih besar dengan adanya kemarahan Sinta. Bima meletakkan ponselnya dan berbicara kepada kedua teman Zizi, "Ajak dia pergi dari sini."
Sinta yang mendengar hal itu pun berkata dengan marah, "Apa? Urusannya denganku belum selesai, kau justru menyuruhnya pergi?" Tanya Sinta kepada Bima.
"Sekarang." Bima menghiraukan ucapan Sinta kepadanya. Sinta yang tahu jika Bima mencoba untuk menyuruh Zizi pergi pun berdiri dari duduknya. Ara dan Fanya yang tahu jika masalah akan membesar pun mencoba untuk mencegah Sinta, namun usaha tersebut gagal. Tangan Ara serta Fanya ditepis oleh Sinta yang saat ini menatap marah ke arah Zizi. Zizi yang ditatap demikian oleh Sinta pun hanya membalas dengan senyum kemenangan, ia senang dengan respon Bima yang menyuruhnya pergi, hal itu berarti Bima lebih peduli dengannya.
"Aku tak akan membiarkanmu pergi sebelum kau mendapatkan apa yang pantas kau dapatkan." Sinta berkata hal tersebut dengan penuh penekanan ke arah Zizi. Bima pun berdiri dari duduknya dan memegang tangan Sinta yang hendak menampar Zizi. Bima menggeleng saat Sinta menatap dirinya. Zizi yang tahu hal tersebut pun semakin tertawa puas dan segera pergi dari kantin.
"Lepaskan aku! Kau tak bisa mencegahku membalas perbuatannya!" Kata Sinta kepada Bima. Bima yang diajak bicara oleh Sinta itu hanya terdiam sambil tak melepaskan pandangannya dari Sinta. Saat tahu usaha memberontaknya sia-sia, Sinta menatap ke arah Zizi yang sebentar lagi lenyap dari jangkauan pandangannya.
"Kalian, ajak Sinta ke tempat kos kalian. Pinjamkan dulu baju untuk Sinta. Aku akan antar sampai tempat parkir." Kata Bima kepada Ara dan Fanya. Bima pun berjalan menuju tempat parkir guna mengantar Sinta dan teman-temannya pergi. Ia tak ingin jika saat dirinya melepaskan Sinta di kantin, Sinta akan nekat mencari Zizi di dalam kampus.
Sepanjang jalan menuju tempat parkir, Sinta tak henti-hentinya memberontak. Ia tak mau berhenti mencoba lepas dari genggaman tangan Bima meskipun ia tahu jika hal tersebut adalah sia-sia. Saat mereka telah berdiri di depan motor Fanya, Sinta berhenti memberontak. Ia menatap ke arah Bima dengan tatapan tajam, "Untuk apa kau lakukan ini?"