Chereads / Bima Sinta / Chapter 27 - -26-

Chapter 27 - -26-

"Pagi ini Kau guyur aku

dengan hangat mentari yang menyengat.

Mimpi-mimpi bersusulan

menaiki bus menuju peraduan

sebelum akhirnya terbang menjelma embun di jendela Tuan. "

Sorakan demi sorakan susul menyusul dengan tawa. Ruang aula yang sudah penuh dengan tubuh itu kini sesak dengan teriakan senang sekaligus rasa tak percaya. Bima tentu seperti biasa, ia tak membalas perlakuan Sinta dengan kata-kata, ia hanya membalas dengan tatapan tajam dan bibir yang dikatupkan dengan erat. Sinta yang tahu jika ia akan mendapat masalah pun segera undur diri ketika sesi doa dilakukan untuk menutup acara seminar.

"Eh, ayo kita pergi!" Ajak Sinta kepada Ara dan Fanya.

"Ide bagus!"

"Ya, Kak Bima terlihat sangat ingin menerkam seseorang." Kata Fanya yang diikuti Ara yang bergidik.

"Mas, aku pergi dulu, ya." Sinta berpamitan kepada Prada dan teman-temannya. Mereka membalasnya dengan tawa geli.

"Langsung pulang?" Tanya Prada.

"Iya, Mas."

"Hati-hati." Kata Prada yang dibalas acungan jempol oleh Sinta.

Sinta, Ara, dan Fanya berjalan pelan-pelan meninggalkan tempat seminar ketika semua kepala sedang tertunduk guna melantunkan doa. Ketiga teman itu tertawa geli ketika mereka telah berhasil keluar dari ruang aula. Mereka tertawa sambil berlari melewati koridor lantai tiga. Ruang aula yang berada di lantai tiga itu membuat mereka membutuhkan waktu yang lama sebelum bisa sampai di depan gedung fakultas.

"Aku langsung saja pulang, ya." Kata Sinta kepada kedua temannya.

"Ke parkiran saja, akan aku antar kamu pulang." Kata Ara kepada Sinta.

"Tak perlu, antarkan saja aku ke halte." Mereka pun berlari menuju parkiran. Seperti yang Sinta minta, Ara menurunkannya di halte bus, Fanya juga mengikuti kedua temannya ke sana. Mereka tak langsung pulang sebab mereka risau jika nanti tiba-tiba muncul Bima di tempat itu untuk memarahi Sinta.

Sepertinya masih ada keberuntungan yang mereka miliki untuk hari ini, bus yang melewati kawasan rumah Sinta datang dengan cepat. Sinta segera pamit kepada kedua temannya untuk pulang. Setelah itu, kedua temannya pun segera meninggalkan halte menuju ke kos masing-masing.

Sedangkan di lain tempat, Bima yang telah menutup acara seminar itu mengedarkan pandangannya ke tempat duduk Sinta. Ia tak melihat keberadaan perempuan itu di sana, hanya ada ketiga temannya yang sedang menertawai dirinya. Ketiga acara seminar telah selesai, Bima pergi keluar dan menemui ketiga temannya yang sedang berdiri di depan ruang aula.

"Mau kemana, Bim?" Tanya Nuca.

"Kemana perempuan itu?" Tanya Bima dingin.

"Sudah pulang." Kata Prada. Perkataan Prada membuat Bima tersadar. Ketika sesi berdoa dimulai, ia mendengar suara pintu aula yang tertutup. Ia tak melihat ke arah pintu sewaktu itu, namun ketika ia tahu jika memang Sinta telah pulang, ia tahu jika suara pintu yang tertutup itu adalah ulah Sinta.

Bima pun berjalan pergi meninggalkan teman-temannya. Terdengar Ino bertanya kepadanya, "Kamu mau mencari Sinta?"

"Tidak."

"Lalu?" Kini Nuca yang bertanya.

"Aku mau pulang." Bima berjalan menuju tempat parkir dan menaiki motornya. Ia melajukan motornya untuk pulang.

Sebenarnya, Bima mengatakan hal yang sebenarnya kepada ketiga temannya. Ia memang akan pulang, namun ia mengambil rute yang tak seperti biasanya. Ia tahu jika selama ini Sinta tidak membawa seperda motor, melainkan menaiki bus. Oleh karena itu, saat ini Bima melajukan motornya melewati halte. Ia ingin tahu apakah Sinta ada di tempat itu atau tidak.

Saat ia sudah sampai di dekat halte, Bima berdecak, sebab tak dilihatnya Sinta ataupun kedua temannya di halte bus. Hanya ada satu perempuan yang tak ia kenal sedang duduk di kursi halte. Bima pun menyesali usahanya untuk mencoba menemui Sinta di halte. Tentu saja Sinta tidak ada di sana.

*

Kembali lagi kepada Sinta. Hari ini Sinta memasuki rumahnya dengan senyum yang tergambar jelas di wajahnya. Tak seperti biasanya, Bunda yang berada di ruang tengah itu tak lagi bertanya tentang gelagat aneh yang Sinta tunjukkan. Bunda hanya menoleh ke arah Sinta kemudian kembali memalingkan muka ke arah buku yang sedang dibacanya.

"Lho, Bunda kok diam saja?" Tanya Sinta heran.

Bunda menoleh ke arah Sinta lagi, "Memangnya kenapa?"

"Biasanya Bunda akan bertanya, kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" Kata Sinta sambil menirukan suara Bunda yang sedang berbicara.

Bunda mengedikkan bahunya, "Sudah biasa. Lagipula jika Bunda bertanya, kamu tak akan menjelaskannya." Kata Bunda sambil kembali memfokuskan diri pada buku.

Sinta tertawa mendengar ucapan Bunda sembari berjalan menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, seperti biasa, ia akan memberi kabar kepada kedua sahabatnya. Mereka tak langsung membalas pesan yang Sinta kirimkan, butuh sekitar satu jam sebelum mereka membalas. Sinta tahu jika kedua sahabatnya itu akan memerlukan waktu yang lama sebelum membalas. Jadi, di selang waktu tersebut, Sinta menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan juga bersiap-siap untuk menunaikan ibadah. Setelah melakukan semua itu, Sinta memutuskan untuk tidur sebentar dan akan bercerita kepada kedua sahabatnya ketika sore telah melukis langit di luar sana.

*

Ketika jam dinding telah menujukkan pukul empat, Sinta bangun dan menuju ke kamar mandi. Seperti sore hari biasanya, Sinta mandi dan bersiap untuk melaksanakan sholat. Ketika selesai melakukan kedua kegiatan itu, ia mengecek ponselnya. Sudah ada balasan dari Ruri dan Saka, ia pun segera menelepon mereka berdua.

"Ada apa lagi hari ini?" Tanya Saka diikuti tawa dari Ruri.

"Kenapa kalian bertanya seperti itu?" Kata Sinta dengan menggunakan nada sedih yang dibuat-buat.

"Kami berdua sudah hafal kelakuanmu, Ta. Cepat ceritakan pada kami." Kata Ruri.

Sinta tertawa geli dan berkata, "Hari ini aku mengikuti seminar." Sinta pun memulai kembali kejadian-kejadian yang telah ia lewati di hari ini untuk ia ceritakan kepada kedua sahabatnya. Tentang seminar, tentang Bima yang menjadi pembawa acara, tentang ia yang bertanya, hingga tentang ia yang kabur sebelum acara seminar resmi ditutup.

Setelah cerita Sinta menemui ujungnya, Ruri dan Saka tertawa nyaring.

"Bagimana kamu bisa melakukan hal itu? Tak hanya mahasiswa yang menghadiri seminar yang kau ceritakan, Ta. Melainkan ada dosen dan pembicara juga." Kata Saka masih dengan tawanya.

"Saka benar, dosenmu ada di seminar itu." Tambah Ruri.

Sinta terkekeh, "Ya, aku tahu. Tapi kurasa beliau juga menikmatinya. Berdoa saja nilaiku tak menjadi taruhannya."

"Ya, semoga saja." Kata Saka dan Ruri secara bersamaan.

*

Keesokan harinya, Sinta bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Hari ini sebenarnya ia ada kelas pukul sembilan, namun karena kedua orang tuanya harus pergi ke suatu tempat, Sinta pun diantar lebih pagi.

"Jika nanti kamu pulang, jangan lupa jika pintu masih dikunci. Kamu bawa kuncinya, kan?" Tanya Bunda kepada Sinta.

"Iya."

"Ya sudah, kami pergi."

"Hati-hati di jalan. Nanti jangan lupa bawakan aku makanan, Bunda, Ayah." Kata Sinta berjalan keluar mobil dengan diikuti tawa miliknya.

Sinta melihat jam yang ada di ponselnya. Perkuliahan dimulai pukul sembilan, sedangkan saat ini jam masih menunjukkan pukul delapan. Ia terlalu cepat datang. Sinta pun berjalan menuju gazebo, ia duduk di tempat itu sendirian. Karena ia masih memiliki banyak waktu sebelum kelas perkuliahan dimulai, Sinta pun mengeluarkan buku biru miliknya. Dua bulan ini ia jarang menulis puisi di dalam bukunya itu karena perkuliahan membuat dirinya terlalu bahagia hingga lupa untuk menuliskannya di dalam sebuah kata-kata.

Sinta bersandar pada tiang yang menyangga atap gazebo ini, ia mulai merangkai kata-kata menjadi sebuah puisi. Suasana pagi yang tak terlalu terik dan lalu lalang orang yang tak terlalu ramai pun semakin membuat Sinta nyaman di dalam menuliskan puisi hingga banyak menit ia lalui dengan tenang. Tari-tarian kata terlihat elok di kertas putih itu. Guratan pena menambah indah diksi-diksi. Semua menyatu, bergandengan tangan dengan erat sebelum petir datang menyambar.

"Puisi yang indah." Seseorang berbicara. Sinta yang menyadari ada seseorang yang berdiri di belakangnya itu pun terkejut bukan main, ia bahkan sampai memajukan badannya ke depan. Ketika menoleh ke belakang, ia mendapati Bima yang sedang berdiri sambil menyeringai ke arahnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Sinta kepada Bima. Bima hanya diam sambil duduk di gazebo.

"Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya seseorang lakukan sehingga tak menyadari diriku yang telah berdiri di belakangnya selama beberapa menit." Sinta melotot mendengar perkataan Bima.

Melihat tak ada respon dari Sinta, Bima kembali berkata, "Kau menulis puisi tentang apa?"

"Oh, Mas Bima ingin tahu?" Tanya Sinta dengan nada yang dibuat-buat. Mendengar Sinta yang dengan sengaja menggodanya itu membuat Bima menatap Sinta dengan tatapan datar.

"Kau sengaja melakukannya?"

"Melakukan apa?" Kata Sinta pura-pura tak tahu. Ia sebenarnya tahu jika Bima mencoba untuk menanyai dirinya tentang seminar kemarin.

"Tidak usah pura-pura tak tahu. Kau sengaja untuk kabur untuk menghindariku, bukan?"

"Tidak usah kepedean. Aku tak menghindarimu, aku hanya ingin segera pulang."

Bima tertawa mengejek, "Kau takut, heh?"

Sinta tersenyum ke arah Bima, "Tidak. Aku tidak takut. Menggodamu itu sangat menyenangkan, kau tahu? Aku sangat menikmatinya."

"Kalau kau tak takut, kenapa kemarin kau pulang lebih dulu? Padahal acara seminar belum ditutup."

"Mas Bima tahu jika aku pulang lebih dulu?"

"Tentu saja, aku tak bisa menemukanmu ketika acara seminar telah selesai."

"Kenapa kau berusaha menemukanku selepas acara seminar selesai? Oh, aku tahu. Kau mau memberitahuku nomor teleponmu, kan?"

Bima mendecih, "Aku tak akan memberitahukan hal itu, bodoh. Kau mempermalukanku di depan banyak orang, bahkan di sana ada beberapa dosen yang menghadiri acara seminar."

"Maafkan aku soal itu. Tapi seharusnya kau lebih malu. Kau dihukum karena telah melanggar aturan kampus, tak boleh memakai kaus ketika berkuliah. Lalu lihat dirimu sekarang, kau bahkan mengulangi kesalahan itu yang membuat dirimu malu kemarin."

"Itu bukan urusanmu. Urusanmu adalah berhenti menggangguku." Kata Bima sembari berdiri dari duduknya.

Sinta menatap Bima dengan senyum tertahan, "Lalu apa yang kau lakukan sekarang? Seharusnya jika kau memang ingin menghindariku, kau tak perlu mendatangiku di sini. Oh, tunggu dulu. Kenapa kau kemari? Parkiran motor berada di Utara jika kau mau pulang. Kelas berada di lantai dua dan tiga, lagipula tak mungkin kau berada di Selatan karena jika memang kau hendak menuju kelas, kau pasti berangkat dari arah parkiran motor bukan?"

"Aku kemari karena aku ingin memberitahumu supaya berhenti menggangguku. Kau sendiri yang bilang supaya aku tak kepedean, lalu saat ini kau sendiri yang berbuat demikian." Kata Bima dengan wajah kesal.

"Aku hanya bertanya tentang tujuanmu berada di tempat ini, bukan kepedean. Memangnya aku kepedean dalam urusan apa?"

Bima mendecih dan berjalan meninggalkan Sinta yang tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya Bima sengaja melakukan hal itu. Entah angin apa yang membawanya berjalan menuju gazebo. Pagi ini juga, ia datang lebih pagi dan melewati rute yang berbeda dari biasanya. Lagi dan lagi, tangannya melajukan motornya ke arah yang berbeda, yakni ke arah halte bus. Tak sampai di situ saja, Bima secara tak wajar juga menolehkan pandangan ke setiap perempuan di sepanjang jalan area kampus dan berhasil menemukan perempuan yang duduk di salah satu gazebo di depan gedung fakultasnya. Perempuan ini tampak fokus dengan pena dan bukunya, setelah itu Bima pun dengan sengaja melajukan motornya ke parkiran sebelum ia berjalan menghampiri perempuan itu.

"Sampai ketemu lagi, Mas Bima!" Teriak Sinta ketika Bima berjalan menjauh.

Ara dan Fanya menatap heran ketika mereka berpapasan dengan Bima yang berjalan dengan wajah kesalnya. Mereka bisa melihat jika temannya, Sinta, kini sedang tertawa sambil melambai-lambaikan tangan ke arah Bima.

"Ada apa?" Tanya Ara.

Sinta terkekeh, "Tidak, Kak Bima tadi hanya mengobrol sebentar denganku. Eh, sepertinya aku harus membiasakan diri untuk memanggilnya dengan sebutan Mas."

"Kenapa dia menemuimu sepagi ini? Setahuku Kak Bima tak pernah datang lebih awal ketika berkuliah." Tanya Fanya heran.

Lagi-lagi Sinta terkekeh, "Tidak tahu. Aku juga tak tahu kenapa dia melakukan hal itu."

Ara dan Fanya saling berpandangan, "Lalu apa yang kau lakukan sepagi ini? Kamu juga tak bertindak wajar pagi ini. Saat ini kurang dari dua puluh lima menit sebelum kelas kita dimulai, dan kamu sudah duduk di gazebo."

"Aku sudah berada di tempat ini sejak pukul delapan. Bunda dan Ayah sedang ada urusan yang membuat mereka pergi meninggalkan rumah pagi-pagi. Jadi, sekalian saja aku berangkat dengan mereka supaya aku tak perlu menaiki bus."

Keheranan yang dialami oleh Ara dan Fanya pun juga dialami oleh Prada, Nuca, serta Ino. Ketiga lelaki itu berjalan beriringan dari arah parkiran motor, mereka berjalan memasuki kelas. Betapa terkejutnya mereka ketika sampai di kelas, mereka melihat Bima telah duduk sambil memainkan ponselnya.

"Astaga, kita harus segera mengadakan syukuran." Seru Ino.

"Kau benar. Aku yang akan memesan tumpeng, kau sediakan minuman. Prad, kau sediakan tempat."

"Baik, nanti aku juga akan yang akan mengundang orang-orang untuk datang."

Bima yang tahu jika ketiga temannya itu sedang mengejeknya pun berdecak. Ia tahu jika tindakannya ini akan mendapat kecurigaan ketiga temannya.

"Tapi serius, kenapa kau datang sepagi ini?" Tanya Prada dan membuat Nuca serta Ino menatap Bima secara serius.

"Aku tak ingin jika kalian tak kebagian kursi di pojok belakang." Kata Bima tenang. Prada, Nuca, dan Ino diam beberapa saat sebelum mereka berteriak secara dramatis, "Kau memang teman kita yang paling pengertian!" Mereka bertiga secara bersamaan memeluk Bima yang sedang duduk itu dengan tak henti-hentinya berakting sedih.

Bima memasang wajah datar dan berkata, "Capek, asli."