Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Penghakiman Sang Mantan Mafia

🇮🇩Kaiserin_Author
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.9k
Views
Synopsis
Brianna Housten, 21 tahun dan seorang admin perusahaan. Telah menjalin hubungan dengan Benson si atlet basket sejak masa kuliah, tanpa sepengetahuan Brianna ternyata Benson berselingkuh darinya karena LDR dan sudah tidak cantik lagi. Brianna bertekad untuk berubah dan meminta tolong mati-matian pada Jake yang misterius, mantan anggota mafia yang sekarang menjadi stuntman handal serta punya kesan pertama buruk pada Brianna. Suatu hari Jake tanpa sengaja mengetahui fakta bahwa Brianna ada hubungannya dengan kematian anaknya dulu, diam-diam Jake ingin memanfaatkan sosok Brianna. Jake bersedia membantu balas dendam Brianna dengan syarat harus menikah kontrak dengannya. Akankah tujuan Brianna tercapai? Siapakah pembunuh anak Jake sebenarnya?
VIEW MORE

Chapter 1 - KEMALANGAN

Gadis dua puluh satu tahun itu hanya bisa diam menyaksikan barang-barang di dalam rumah yang ia sewa diangkut oleh jasa pemindahan barang. Induk semangnya tidak mengizinkannya tinggal di sini lagi karena telat membayar uang sewa yang ditarik tiap dua bulan sekali. Ini semua terjadi karena gaji Brianna belum ditransfer ke rekeningnya, sebagai akibat dari keteledorannya salah mengirim laporan pembukuan ke email orang lain, yang kebetulan juga merupakan wartawan. Perusahaan mereka menjadi bulan-bulanan media karena kepergok memanipulasi jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan.

Brianna yang hanya seorang admin perusahaan tidak tahu apa-apa, juga tidak paham. Hanya salah satu huruf saja pada alamat email, langsung berakibat fatal.

Brianna mengirimkan pesan ke semua kenalannya. Dengan cemas memegangi ponselnya, ia membetulkan letak kacamatanya. Sebuah panggilan masuk, cepat-cepat dia jawab tanpa melihat dengan jelas siapa yang meneleponnya.

"Halo!" jawab Brianna cerah.

"Bri, ada apa kau meneleponku tadi?, kau sudah gajian? Sudah bisa aku pinjam sekarang?" sahut seorang perempuan seusianya, teman kampusnya dulu. Mendengar jawabannya membuat Brianna memegangi lengan tangannya yang penuh lemak.

"Ehm, aku ada sedikit masalah … bolehkah aku menginap di tempatmu beberapa hari? Aku akan langsung pindah jika sudah dapat tempat baru."

Tut … tut … tut ….

Panggilan terputus begitu saja, Briana meremas-remas tangannya karena panik. Barusan adalah kesekian kalinya panggilan terputus setelah Brianna mengutarakan maksudnya.

Seorang kurir mendekatinya, membawa surat yang harus ditanda tangani. Brianna terlihat cemas, si kurir sudah mengkoordinir bawahannya untuk mengangkut semua barang dengan lebih cepat, mereka tampak terburu-buru.

"Ke mana barang-barang ini akan dikirim?" si kurir mengerutkan alisnya. Brianna terpaksa menunjukkan selembar kertas di tangannya yang berisi sebuah alamat, alamat orang tuanya.

"Kirimkan ke sini saja," ucap gadis gemuk berkacamata tersebut. Pria tadi langsung mengkode para anak buahnya, si induk semang tidak mau menemuinya Brianna kecuali Brianna sudah bisa membayar hutang biaya sewanya. Wanita tua kikir tersebut juga meminta ganti rugi atas biaya memanggil jasa pindahan rumah.

di kota Vin da Pient memang tidak ada yang murah, ini adalah salah satu kota yang menjadi lalu lintas perdagangan dan berkumpulnya komunitas penting. Beragam perusahaan didirikan semenjak semua negara mulai memperbaiki krisis ekonomi, salah satunya Vin da Pient … tempat dimana Brianna menggantungkan semua mimpi-mimpinya.

Sekarang Brianna duduk di sebelah kurir pemimpin sembari menunjukkan arah mana saja yang harus dilalui mobil pick up tersebut agar sampai di rumahnya.

"Biasanya para pelanggan kami adalah langganan tetap, mereka juga sering memberikan tips yang tidak sedikit. Kau tahu lingkungan perumahan para bangsawan itu? Wah, gila … tiap seminggu sekali ada saja yang harus diangkut keluar masuk," kata pria berambut tipis dan botak di bagian depannya tersebut.

Brianna hanya senyam senyum menanggapi, ia sudah bisa menangkap maksudnya. Orang-orang jasa pindahan ini meminta diberikan uang tips setelah mereka sampai di lokasi.

Setengah jam kemudian mereka sampai di sebuah rumah tua dengan, bangunan klasik dengan lahan depan yang lumayan luas. Kanan kirinya terdapat pepohonan, serta bunga-bunga musiman.

Brianna turun duluan, ia membukakan pintu gerbang. Suaranya berderak menyiksa telinga, salah satu bagian besinya juga jatuh berkelontangan di dasar jalanan semennya. Brianna segera menyisihkannya ke samping bagian dalam, ia susah payah menggeser susunan besi yang sudah harus diganti tersebut.

Saat sudah terbuka lebar, para pria paruh baya langsung sigap mengangkat barang-barang, mereka menurunkan yang paling ujung duluan. Brianna berlari menuju ke teras, membuka pintu rumah tua tersebut dengan kunci yang selalu ia bawa-bawa di dalam dompetnya.

"Padahal aku tidak pernah mau kemari lagi, huf …."

Gadis gempal tersebut mempersilakan para pengangkut barang masuk ke dalam rumah besar tersebut. Mereka berdecak kagum menyaksikan betapa ruang utamanya saja sangat luas, kursi-kursi antik berjajar dengan rapi dan bersih. Ada lampu gantung mewah yang terpasang di tengah ruangan, memiliki susunan rak tinggi buku-buku tebal, mereka mengira tempat ini pasti semacam perpustakaan kuno.

Brianna membukakan sebuah kamar yang cukup luas, letaknya seratus meter dari ruangan utama depan, di sudut kanan. Lemari diletakkan hati-hati, buku-buku Brianna dan semua kardus di dalam sana.

Para pekerja tersebut hilir mudik sambil bersiul-siul, ada yang bernyanyi-nyanyi. Brianna tidak menghitung jumlah pastinya, mungkin ada lima orang atau enam orang. Ia menarik diri dari orang-orang, masuk ke kamar lainnya untuk mengecek isi dompetnya. Ia membenarkan letak kacamatanya, di dalam dompetnya tidak ada banyak uang.

"Semoga ini cukup," ucapnya lirih. Akan sangat memalukan jika dia tidak bisa memberikan tips setelah disindiri tadi.

Brianna keluar dari kamar, menyambangi para pekerja. Diam-diam dalam hati dia menghitung jumlah mereka semua, ada enam. Ia bersyukur, setidaknya jumlah yang hendak dia berikan tidak terlalu memalukan.

Mereka sedang mengipasi wajah mereka di teras, Brianna mendekati pimpinannya dan langsung disambut senyum merekah.

"Terima kasih atas bantuannya, ini ada sedikit tips dariku," kataku dengan tertunduk, tidak berani menatap matanya langsung. Dia menerimanya dengan senang hati, menjabat tanganku sebagai ucapan terima kasih. Ia dan anak buahnya lantas berljalan menuju ke mobil mereka.

Brianna segera masuk ke dalam rumah, disaat yang sama mendengar selorohan satu diantaranya.

"Mungkin beratnya sama dengan lemari yang kita angkut tadi, hahaha …."

"Ssst …, bagaimana kalau dia dengar?"

"Dia sudah masuk rumah, tenang saja!"

Brianna bersandar pada pintu, ini bukan pertama kalinya dia mendengar hal semacam itu. Ia sudah mulai terbiasa.

Brianna menggelengkan kepalanya tidak mau ambil pusing, ia menuju ke kamar untuk menyortir barang-barangnya dan mencicil mana saja yang akan dia tata untuk hari ini.

Ia berjongkok dengan susah payah, membuka salah satu kardus yang ada di paling depan tumpukan. Di dalamnya ada buku-buku bacaan ringan, jam dinding, alat tulis kantor, terselip di ujung ada sebuah foto. Fotonya dengan Benson saat semester pertama kuliah, Benson dengan seragam basket kebanggannya menggigit medali emas yang melingkar di lehernya. Sedangkan Brianna mengangkat sebuah piala.

Brianna tersenyum, ia merogoh ponsel dari saku kardigannya. Ia memotretnya, mencari angle yang paling bagus menurutnya.

"Aku akan mengirimkannya ke Benson."

Gadis itu membuka pesan terakhir mereka, jam yang tertera adalah pagi tadi. Ia menyunggingkan sebuah senyuman melihat Benson online. Brianna lalu mengirim foto barusan.

Tak lama kemudian Benson langsung meneleponnya, Briana memutar-mutar sejumput rambutnya ketika mengangkatnya.

"Halo, Babe …, kau sedang istirahat latihan?" tanya Brianna perhatian.

"Istirahat lima belas menit, kenapa, sih, kau lulus terlalu cepat? Membuatku kesepian di kampus tanpa melihatmu. Padahal kau baru dua puluh satu, aku masih harus menunggu tahun depan untuk lulus," gerutu Benson.

"Aku libur hari ini, saat bersih-bersih kebetulan lihat foto itu."

"Kau sangat menawan saat itu, tinggi, putih dan langsing, semua pria di kampus iri padaku. Bagaimanapun juga kau sekarang masih cantik, Babe, aku tutup, pelatihku sudah datang …."

"Oke, semangat, Babe!"

Brianna terdiam sejenak, ia meremas-remas tangannya. Merasa tidak nyaman membicarakan tentang berat badan dan masa lalu yang tidak akan terulang. Ia pandangi kembali fotonya dengan Benson, saat itu Brianna menang lomba debat, demi menghemat biaya kuliah ia mati-matian mengejar kelulusan setahun lebih cepat agar bisa langsung diterima kerja. Dia tidak keluar sama sekali dan sering makan makanan cepat saji untuk membuat moodnya baik, sehingga dia mengerjakan penelitiannya dengan senang dan tidak menunda apapun. Ia kurang tidur, terlalu sering minum kopi dan soda.

Brianna beralih ke perutnya yang bergelambir sekarang, ia mencubitinya dengan tidak percaya.

"Kau, sejak kapan kau ada di sini?Aku tidak mengenalmu, dulu aku seperti ini!" Brianna menunjuk-nunjuk fotonya sendiri.