Brianna keluar dari kamarnya, ia mengelap kacamatanya, berjalan dengan menabrak-nabrak sekitar.
"Aw!" pekiknya karena kakinya terbentur oleh kursi.
"Baguslah kalau kau tinggal di sini, aku tidak perlu repot-repot mengecek tempat mengerikan ini. Para tamu guest house yang terakhir mengeluhkan ranjangnya yang keras," ujar seorang wanita berhidung tinggi, penampilannya terlihat kaya.
Brianna lantas mengenakan kacamatanya, kini bisa melihat dengan jelas sosok tersebut. Sedang berdiri di hadapannya, di ruang depan dengan tangan bersedekap. Memandang Brianna dengan sinis.
"Kau tidak perlu kemari lagi, Bibi Emma. Aku akan mengurus rumah ini, tidak masalah jika kedepannya tidak ada turis yang mau menginap di sini. Ada banyak guest house yang bagus juga,"
"Aku kemari untuk mengingatkanmu, bayar biaya pemeliharaan yang sudah aku keluarkan selama ini. Bersih-bersih, menata ini itu tiap ada tamu yang datang atau pergi. Kau tahu nomor rekeningku, kan? Sheldon butuh komputer baru, kau harus membayarnya paling lambat bulan depan."
"Aku tidak janji, tapi jika sudah ada uang akan aku kirimkan."
Brianna tidak membantah, ia psarah dan mengalah saj, ia tahu jika ia membantah maka Bibi Emma akan marah dan melakukan apa saja yang dia inginkan. Bisa jadi mengungkit-ungkit masa lalu Brianna dan membuat gadis itu sakit hati, mungkin juga bisa mengajak anaknya yang baru berusia lima belas tahun dan manja untuk merusak apa saja yang ada di rumah tua ini. Itu semua akan sangat merugikan Brianna, walau rumah tua ini sudah tidak tertolong … setidaknya ia berharap akan ada pelancong lokal yang kehabisan uang tetapi ingin menginap di rumah tanpa kehujanan maupun kepanasan.
Emma melenggang pergi tanpa mengucapkan sedikitpun salam. Brianna mengendurkan bahunya yang tegang. Mengedarkan pandangannya mengamati seisi rumah, dulu tempat ni menjadi tempat paling menyenangkan baginya ketika ia masih kecil. Tetapi semua berubah karena suatu insiden.
Ingatan Brianna menembus ke waktu disaat rumah ini baru selesai dibangun, pagar rumahnya kelihatan bagus dengan bau pernis yang belum sepenuhnya kering. Dengan dorongan tanpa tenaga sekalipun pintu gerbang bisa terbuka dengan mulus. Halamannya luas, seseorang bisa membangun rumah lainnya yang lebih kecil menggunakan tanah pekarangan tersebut, ada dua pohon besar di kanan dan kiri, bunga-bunga lokal, dengan semak-semak tinggi yang selalu ayahnya potongi rapi agar terlihat manis dipandang, jalanan setapak menuju teras rumah disemen dengan semen halus yang kuat.
Di teras depan terdapat satu set kursi taman yang cantik untuk mengobrol sambil memandangi hujan. Memasuki rumah, dari sisi kanan dan kirinya terdapat tangga menuju ke lantai dua, sementara kamar yang Brianna gunakan ada di bagian dalam menuju ke ruang tengah.
Sayangnya semua itu hanyalah kenangan yang tidak mungkin akan terulang kembali bagi Brianna, yang terpenting sekarang adalah bagaimana dia bisa bertahan untuk hidup.
***
"Brianna, tolong titip fotocopy ini juga, rangkap sepuluh," pinta seorang pegawai wanita berwajah manis saat Brianna beranjak dari tempatnya duduk dan hendak pergi untuk menggandakan dokumennya.
"Ini juga, berikan ke manajer pemasaran," ujar seorang pria berkemeja abu-abu.
Brianna menerimanya, ia melanjutkan tujuannya. Tetapi manajernya memanggilnya.
"Hei, kau!"
Brianna menoleh, ia menantikan perintah selanjutnya. Pria paruh baya tersebut mengacungkan jari telunjuknya ke atas.
"Buatkan aku secangkir kopi."
"Baik, Pak," jawab Brianna tidak menolak.
"Eh, eh …, pakai kartu perusahaan. Belikan sekalian semua orang," perintahnya lagi. Membuat Brianna kembali untuk mengambil kartu dari manajernya. Orang-orang mulai bershutan menyebutkan jenis kopi yang mau mereka minum.
"Aku esspreso."
"Aku moccachino."
"Aku caffe latte."
Dan seterusnya dan seterusnya, Brianna bisa dengan mudah mengingat semua itu dengan otaknya yang pintar. Ia bergegas turun ke lobi perusahaan setelah mengurus dokumen yang harus dia gandakan, kembali ke ruangannya untuk menaruhnya ke meja dan memberikannya ke teman kerjanya yang menitip, kemudian keluar mencari coffee shop langganan divisinya.
Belum apa-apa dia sudah kegerahan, di dalam lift setidaknya ia bisa beristirahat sejenak. Napasnya terengah-engah, dua orang pegawai dari bagian lainnya saling berbisik tentangnya.
"Dia gemuk, kenapa larinya gesit sekali tadi, ya?" ucap si rambut bob.
"Mungkin dia gemuk bawaan lahir, semacam genetika tidak bisa kurus," sahut si rambut lurus catokan. Bagi mereka pasti suara saling bisik yang mereka lakukan pasti tidak akan terdengar Brianna, tapi faktanya Brianna bisa mendengarnya dengan sangat jelas.
Dalam hati Brianna sedih mendengarnya, ia mematut wajahnya sendiri dari pantulan dinding lift. Wajahnya bulat penuh, pipinya berisi dan montok, ukuran kacamatanya terlihat lebih kecil jika dibandingkan dengan proporsi wajahnya. Ia mengatupkan bibirnya, dia juga pernah secantik mereka dulu, ia sudah berusaha untuk diet tetapi gagal … itulah mengapa Brianna belum mendapatkan bentuk tubuhnya kembali.
Ting!
Lift terbuka, keduanya buru-buru keluar seolah jijik bersama dengan monster babi jika terlalu lama. Brianna menyeka setitik air mata yang satuh di pipinya, mencoba tegar. Sekarang yang terpenting adalah membelikan kopi-kopi pesanan kolega kerjanya.
***
"Bagus!" seru seorang pria bertopi pelukis yang duduk di kursi lipat yang bisa dibawa kemana-mana, sutradara film. Semua kru produksi dilarang berbicara sedikitpun agar suara yang dihasilkan saat proses perekaman lebih bagus.
Meraka berada dua ratus menter dari tepi pantai, dengan banyak pohon rindang dan jalanan khusus untuk pejalan kaki untuk syuting film. Banyak kru yang menahan napas menyaksikan adegan lompat dari gedung yang dilakukan seorang pria berkulit agak kecoklatan, rambut panjang sekuping dan kumis tipis-tipis.
Ia membentuk kata 'ok' dengan ibu jari dan jari telunjuknya. Berdiri di atas gedung berlantai lima, melihat bawah tanpa rasa takut. Tubuhnya sudah dipasangi atribut sling agar dia aman saat jatuh di atas matras khusus.
Para penata gaya sudah menutup mulut mereka dengan kedua tangan karena was-was menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pria setinggi 183 sentimeter tersebut berbalik membelakangi kamera, merentangkan kedua tangannya, memejamkan matanya dan menghitung dalam hati kapan waktu yang tepat untuknya menjatuhkan diri.
"Action!" aba sang sutradara.
Jake langsung melemaskan tubuhnya membuatnya sekonyong-konyong jatuh ke udara, gaya gravitasi membuatnya mendarat dengan benturan yang cukup keras di atas matras.
Sutradara mengamati perekaman di layar dengan harap-harap cemas, ia tidak mau mengulang terlalu banyak untuk adegan ini.
"Cut! Bagus sekali Bawakan dia handuk! Cek keadaannya!" seru sang sutradara.
Para kru stuntman langsung berlarian melihat Jake, Jake dibantu berdiri, diberikan minum. Namun Jake menolak diperlakukan secara berlebihan, dia berjalan menuju ke sutradara untuk mengecek hasilnya.
Sutradara memeluknya begitu Jake sampai di dekatnya, ia juga mempersilakan Jake duduk di kursi di sampingnya.
"Kau memang selalu cocok menggantikan Jimmy Frost, dengan wajahnya dan kemampuanmu," mendesis kegirangan. Sedangkan Jake meminum minumannya dan memperhatikan rekaman.
"Hari ini sudah selesai? Kalau begitu aku akan pergi," kata Jake dingin.
"Oke, oke …, nikmati akomodasi hotel yang kru berikan padamu dan tim stuntman-mu. Istirahatlah yang banyak, masih ada yang harus kau kerjakan nanti."
Jake menepuk punggung sutradara lalu berjalan pergi meninggalkan lokasi syuting.