Benson dan Brianna duduk di sebuah kafe untuk makan malam, banyak gadis mencuri pandang pada kekasih yang pemain basket dan tampan. Benson tidak ambil peduli, dia tetap hanya terfokus pada Brianna. Justru Brianna yang rendah diri tiap keluar dengan Benson, seperti kali ini … Brianna sudah tidak nyaman.
"Sebaiknya aku pulang duluan," ujarnya dengan mata sedih.
"Kau belum menghabiskan makananmu, Babe."
"Tidak, aku sudah kenyang," tegas Brianna.
"Kalau begitu aku antarkan pulang, ini sudah malam."
"Ini belum terlalu larut, masih ada banyak taksi."
Benson mencoba mengejar Brianna yang berjalan keluar dan menyetop taksi di pinggir jalan. Brianna hanya menatapnya dengan mata nanar hampir ingin menangis, Benson memegangi kepalanya sendiri karena merasa pusing dengan tingkah pacarnya.
"Babe! Kau ini kenapa sebenarnya?" Benson tidak tahan.
"Kau juga malu, kan, keluar denganku? Aku sudah tidak secantik dulu dan gendut, semua orang memandangku sebelah mata, kau sengaja membawaku ke kafe itu untuk dipermalukan, kan?!"
Benson memegangi bahu Brianna, menatap matanya dalam-dalam untuk menenangkannya.
"Tenanglah sebentar, untuk apa aku melakukan itu? Kafe itu tempat kita sering pacaran dulu saat masih kuliah bersama. Aku hanya merindukannya lalu mengajakmu ke sini," tegas Benson.
"Tapi aku jelek, tidak pantas jika dekat-dekat denganmu," isaknya sambil berusaha melepaskan tangan Benson darinya.
"Makanya, aku sudah menyarankanmu untuk diet dan ikut aku olah raga, tapi kau selalu beralasan sibuk dan lelah. Salah sendiri, kan? Kau saja yang pemalas," ucapan Benson spontan.
Brianna dengan kekuatan amarahnya langsung meloloskan dirinya dari Benson, matanya memerah memandang Benson. Kebetulan taksi datang, ia langsung masuk ke dalam kursi penumpang. Benson mencoba menahannya jangan masuk tapi kalah kuat karena Brianna menjatuhkan dirinya dengan berat badannya.
"Jalan, Pak!" Brianna sudah kehilangan akal sehatnya.
Benson mencoba mengejarnya tetapi tidak membuahkan hasil sama sekali. Dari kaca spion taksi Brianna melihat Benson yang sosoknya semakin menjauh. Brianna menangis sesenggukan, ia mengeluarkan tisu dari dalam tasnya.
Pengemudi taksi meliriknya dengan bingung, mungkin hanya pertengkaran antar pacar. Namanya juga anak muda.
***
Benson terengah-engah menatap kepergian taksi, ia kembali ke kafe untuk mengambil dompetnya. Saat membuka pintu ia langsung menjadi pusat perhatian, mengingat tingginya di atas rata-rata, Brianna yang 173 sentimeter saja kelihatan mungil di dekat Benson. Sekilas pandang semua orang bisa tahu Benson adalah atlet basket.
Seorang gadis dengan jaket hitam dan gadis bergaun bunga-bunga mendekatinya, mereka tersenyum ceria dan menyorongkan buku dan selembar kertas. Benson melihat mereka dengan ramah.
"Kau Benson Alley dari South White wolves? Boleh aku minta tanda tanganmu?" tanya gadis jaket hitam.
Benson mengangkat alisnya, tersenyum dan mengambil buku gadis tersebut untuk ditanda tangani.
"Aku suka saat kau berhasil mencetak angka di pertandingan terakhirmu, kau kelihatan sangat keren, Ben!" kata yang satunya.
"Siapa namamu?" Benson menuliskan pesan untuknya di buku tersebut.
"Annie …."
"Kalau kau?" Kini Benson beralih ke kertas si gaun bunga-bunga.
"Reene."
Sebagai ace tim basket kampus dan sudah diincar club ternama membuat Benson sedikit besar kepala, kemana saja ia pergi pasti ada setidaknya dua orang yang mengenalinya dan meminta tanda tangan. Beberapa menit kemudian Benson sudah dikerubungi oleh para gadis-gadis dari berbagai kampus dan latar belakang lainnya. Menjadi jumpa fans dadakan, ia cukup kewalahan untuk meladeninya.
Benson berhasil mengambil kunci mobil dan dompetnya setelah para fansnya berhenti meminta tanda tangan. Benson melambaikan tangan kepada mereka sebelum pergi, disambut teriakan dan siulan.
Menuju ke tempat parkir, ia terkejut melihat seorang gadis dengan blouse bunga-bunga dan rok pendek duduk di kursi sebelah pengemudi.
"Apa yang kau lakukan di sini, Callie?" tanya Benson seraya memasuki mobil.
"Ini mobilku, jadi terserah aku mau apa juga, kau hanya memegang kunci cadangannya," balasnya dengan nada manja.
Benson menyeringai dan mengangguk-angguk, Callie langsung menarik wajah Benson untuk menciumnya. Benson menahannya, ia celingukan ke kanan dan kiri.
"Jangan di sini, karirku yang bahkan belum dimulai bisa hancur," sergah Benson sembari berusaha mengenakan sabuk pengamannya.
"Ayahku sudah mengeluarkan uang banyak untukmu, jangan khawatir, Ben …."
***
Brianna tidak bisa menghentikan tangisannya, ia merasa sangat kesal. Tiba-tiba taksi yang ditumpanginya berhenti mendadak.
"Maafkan aku, akan aku cek sebentar," kata si sopir taksi.
Brianna mengelap ingus dan air matanya, melongok ke luar melihat pria paruh baya tersebut menggaruk-garuk kepalanya dan tampak frustasi. Ban mobil bocor, Brianna turun untuk ikut melihatnya.
"Kalau begitu aku bayar sampai di sini saja, Pak."
"Baik, aku harus menelepon bosku."
Pria itu mengecek argometer dan biaya yang tertera, Brianna mengeluarkan uangnya untuk membayar. Ia lalu berjalan meninggalkan taksi, berusaha membuat suasana hatinya menjadi lebih baik lagi.
Brianna berjalan dengan sepatu tanpa heels, kakinya akan sakit kalau ia mengenakan sepatu berhak tinggi seperti perempuan pada umumnya. Ia mendesah sebal, penampilannya saja seperti petugas asuransi.
"Aku sudah mencoba …, aku sudah melakukan apa saja, aku juga lelah, lelah sekali!" pekiknya sendiri.
Perutnya keroncongan, ia memegangi gumpalan lemak tersebut lalu mencari di dekat sini apa yang sebaiknya dia makan. Ia turun di daerah yang memiliki banyak sekali kedai atau restoran keluarga yang nyaman. Sayangnya mengingat sisa uang di dompetnya sekarang, membuat Brianna harus mengurungkan niatnya membeli makanan lengkap.
"Kurasa burger dan soda sudah cukup," gumamnya pada dirinya sendiri.
Ia berjalan dengan mantap mendekati retoran cepat saji yang pelayannya sangat ramah, dalam hati Brianna penasaran apakah mereka ini betulan manusia atau sebenarnya robot yang memakan kostum manusia?
Ini belum terlalu malam, tanpa sengaja ia menyenggol seseorang misterius bertopi, membuat wajahnya tidak mudah untuk dikenali, Brianna terkejut melihat kaos putih pria yang ia tabrak sekarang kotor karena terkena tumpahan kopi dingin.
"Oh, maafkan aku, Sir …," sesal Brianna tulus.
Pria itu menyingkirkan remah-remah es batu yang menempel pada baju putihnya, ia tidak tampak marah tetapi hanya kaget sesaat. Jake hanya menyunggingkan senyuman dan menolak permintaan maaf wanita gemuk di hadapannya tersebut. Ia sambil mengangkat kantong makanannya.
"Aku tidak apa-apa, lanjutkan saja perjalananmu," ucap Jake ingin segera mengakhiri ini.
"Maafkan aku, aku bisa menggantikan biayanya ke penatu, hubungi saja aku di sini," pinta Brianna dengan menyodorkan kartu namanya kepada Jake.
"Oke, aku akan menghubungimu nanti." Jake terpaksa menerimanya agar wanita asing ini berhenti merasa menyesal.
Jake lantas berjalan dengan cepat meninggalkan Brianna. Brianna sendiri masih merasa tidak enak hati, ia mengikutinya sampai di belokan. Ia melihat pria itu meremas kartu namanya sambil berjalan lalu membuangnya ke tong sampah yang ia lewati.
Hati Brianna mencelos menyaksikannya, ia menghela napas, menarik dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tertawa sendiri, lalu mendongak ke langit.
"Semua orang sama saja," katanya getir.