Semua ini di luar batas pemikiran Liona. Seorang William Morgan yang begitu mencintainya mampu menikah dengan perempuan lain. Tentu saja Liona jadi penasaran sosok mana yang sanggup menggantikan dirinya, sementara Liona termasuk dalam kategori wanita sempurna.
Dia menyisir surat undangan tersebut dan setelah mengetahui hari serta gedungnya, maka benda itu dicampakkan oleh Liona. Buru-buru dia menemui sang kekasih yang sedang berada di apartement.
Liona masuk dengan sembarang. Jody sang pacar sempat terkejut, karena sebelumnya Liona tidak memberi kabar.
"Sayang. Apa yang membuatmu datang ke sini tanpa memberitahu terlebih dahulu? Dan, kenapa mukamu muram begitu?"
Jody meletakkan ponselnya di meja, lalu mencengkram sepasang bahu Liona. Dia mampu mencium bau-bau tidak sedap atas diri gadis itu. Pasti sudah terjadi sesuatu padanya.
"Aku baru saja bertemu dengan Meera Morgan." Liona mengadu.
"Ibu dari William mantanmu itu? Kenapa bisa?"
"Awalnya Meera menghubungiku setelah sekian lama, lalu mengajak bertemu. Kupikir ia akan memohon supaya aku kembali pada putra bodohnya itu."
"Lalu?"
"Ternyata dia mengirimkan sebuah surat undangan. William akan menikah dengan perempuan bernama Naera Rose. Hah, menyebalkan!"
Liona mengutuk mantan kekasihnya dalam hati. Ada perasaan sakit, ketika tahu bahwa pria itu hendak menikahi gadis selain dirinya.
"Wow! Meera tidak mendustai perkataannya, Sayang. Kau ingat dengan pertemuan kita di restoran beberapa waktu lalu?"
Liona masih ingat betul tentang peristiwa ia merendahkan nama William di khalayak publik. Sekarang Liona jaadi termakan ucapannya sendiri.
"Iya. Kupikir si tua bangka itu hanya mengarang."
Jody mendapati kekesalan yang tiada tara dari ekspresi Liona. Seakan perempuan itu telah menaruh rasa pada William dan tidak menyukai jika ia menikah dengan wanita selain dirinya.
"Kau cemburu?" tanya Jody.
"Hah, siapa yang cemburu? Aku tidak peduli dengan si bodoh itu."
"Tapi wajahmu mengisyaratkan sebuah amarah, Liona Vinch."
Jody berdiri dan mengelilingi tubuh kekasihnya. Ia menyorot tajam setiap lekuk tubuh Liona. Lelaki itu memiliki insting yang kuat, jadi dia dapat dengan mudah menebak bahwa Liona tengah menyimpan kesal.
"Aku memang kesal, karena Meera berlagak sombong terhadapku. Dia seakan berada di atas awan. Aku ingin balas dendam, tapi tidak tahu bagaimana caranya."
Tadinya Liona sempat ketar-ketir, karena takut ketahuan tentang perasaan yang sebenarnya belum bisa ia tebak itu. Namun, dia menumbalkan Meera sebagai biang kekesalannya.
"Jika kau tidak mencintai William, maka biarlah lelaki itu bahagia dengan pilihannya sendiri. Kau masih memiliki aku bukan? Lagipula, kau menjalin hubungan dengan William hanya untuk mendapatkan hartanya."
Jody hanya tak ingin kekasihnya itu menjilat ludahnya sendiri. Dulu, Liona kerap mengatakan bahwa ia bosan dengan William dan ingin segera pergi dari hidupnya. Setelah keadaan itu menjadi nyata, ia malah kelihatan tidak ikhlas begitu. Jangan sampai Liona mencintai William secara sungguhan, karena Jody pasti akan cemburu.
"Iya. Aku tahu."
Terpaksa Liona mengalah supaya Jody tidak marah. Yang ada dipikiran Liona adalah Naera yang akan menikmati harta lelaki koonglomerat itu. Dia pun mulai mengandai-andai tentang pernikahannya yang batal. Andai saja kemarin ia jadi menikah dengan William, pasti sekarang hidupnya sudah penuh dengan kemewahan.
Jody bukanlah pria miskin, tapi jika dibandingkan dengan William maka hidupnya antara 1:10. Jody juga CEO sebuah perusahaan. Sayangnya, kantor yang ia pimpin itu tidak terlalu berkembang seperti milik William.
Rasa penasaran Liona akan sosok Naera Rose kian membuncah. Bagaimanapun caranya dia harus mencari keberadaan perempuan itu dan membuat perhitungan dengannya. Kalau bisa, Naera harus membatalkan pernikahannya dengan William dan meminta lelaki itu untuk kembali pada Liona.
***
CRANG! CRANG!
Niola membanting semua piring yang hendak dicucinya. Ia tahu kalau Naera belum bangun dan dirinya sengaja melakukan hal itu, supaya Naera merasa terganggu. Sejak tadi ia membatin dalam hati dan mengumpat. Adam masih di rumah dan belum bekerja, sehingga Niola sungkan menghardik anak tirinya itu, karena masih tidur pada jam tujuh pagi.
"Ini bekalnya," kata Niola memberikan sebuah box bewarna coklat pada sang suami.
"Terimakasih, Niola. Ke mana Naera?"
"Ah, jangan ditanya. Anak itu masih tidur, barangkali dia sedang lelah," titah Niola sok peduli terhadap keadaan Naera.
"Ya, sudah. Kalau begitu aku kerja dulu, ya."
"Iya, Sayang."
Niola mencium punggung tangan Adam dan melepas kepergian pria itu dengan senyuman. Syukurnya setelah ditindaklanjuti oleh dokter, penyakitnya perlahan menghilang, sehingga Adam dapat beraktivitas tanpa hambatan seperti masa muda dulu.
"Saatnya aku membuat perhitungan pada gadis malas satu itu!"
Setelah memastikan bahwa Adam benar-benar sudah pergi, Niola langsung berjalan ke arah kamar Naera. Dia dengan emosi menggebu-gebu, menggedor pintu bilik wanita itu sampai membuatnya terkejut di tempat.
DOR! DOR! DOR!
Bahkan, Niola sampai menendang pintu kamar saking geramnya. Sedari pukul lima dia sudah pontang-panting di rumah tersebut. Selama ini dia melakukan semuanya juga sendirian, tapi karena sekarang sudah ada Naera, maka Niola merasa dicurangi apabila wanita itu tidak turut bekerja membersihkan rumah.
Keinginan Niola menjadi nyata, karena di dalam sana Naera terlonjak kaget, bahkan ia spontan terbangun dari tidurnya. Naera terduduk sambil memegang dadanya yang terasa mendidih. Ia sudah tahu siapa pelaku di balik itu semua.
"Ck! Masih mencari masalah denganku saja rupanya perempuan tua itu," keluh Naera.
Ia pun segera bangkit dan membuka pintu. Penampakan yang pertama kali ia lihat adalah paras Niola yang bak api neraka tersebut. Dia memang selalu memarahi Naera, apabila Adam tidak berada di rumah. Namun, Naera tak pernah mengadukan hal itu pada Ayahnya, karena takut kalau Adam akan bertengkar dengan istrinya sendiri dan berujung membuat pikirannya semakin berat.
"Kau memang manusia yang tidak memiliki sopan santun, Niola!" desis Naera, lalu menguap di hadapan istri Ayahnya.
"Apa kau tidak salah berbicara, gadis pemalas? Lihatlah! Sudah jam berapa ini dan kau masih saja tidur. Kau membiarkan aku bekerja seorang diri, sementara kau juga tinggal di rumah ini."
"Hah, lagi-lagi masalah pekerjaan."
Naera berjalan malas ke arah sofa. Sesungguhnya biang perdebatan mereka selama ini kebanyakan berasal dari urusan rumah. Niola tipe orang yang tak sabaran dan ia mau rumah bersih sebelum pendar mentari muncul. Sementara Naera lebih mementingkan kenyamanannya. Ia bisa membersihkan rumah kapan saja.
"Kau memang tak pernah berubah, Naera! Sebentar lagi kau akan jadi seorang istri, bahkan ibu. Suami mana yang sudi memiliki pasangan pemalas? Hahaha. Bisa-bisa kau langsung dicerai oleh William," ledek Niola
"Silahkan saja, siapa takut! Lagipula aku dan William hanya melakukan kawin kon-"
Ups!
Detik itu juga Naera menutup mulutnya.
"Apa? Apa katamu?"
Niola meminta Naera untuk melanjutkan kata-katanya, sedangkan perempuan itu tak sengaja keceplosan.
***
Bersambung