Chereads / Takdirku Terjerat Cintamu / Chapter 19 - Tugasku Membuatmu Bahagia

Chapter 19 - Tugasku Membuatmu Bahagia

"Sialan! Jelas bukan!" Chelsea menggeleng-gelengkan kepala kesal. "Tidak ada kencan semalam antara aku dan Glen."

"Loh, berarti …." Diane tidak melanjutkan bicara.

Dua wanita itu sama-sama terdiam. Obrolan mereka terjeda kedatangan Glen. Pria itu masih tetap tampan, meski raut mukanya mulai kuyu dan letih.

"Gila, kafe milikmu memang luar biasa." Glen membanting diri ke kursi di samping Chelsea.

"Usahamu luar biasa, Chels. Aku senang akhirnya kamu bisa bekerja sesuai passion."

Diane melirik Chelsea. Matanya menyorot penuh isyarat dan rasa penasaran yang tidak ditutup-tutupi. Pasalnya Glen bicara dalam bahasa Indonesia yang tidak dipahami oleh pegawai Cacaote itu.

"Tidak penting." Chelsea bicara pada Diane. Wanita itu melirik jam di mesin kasir. "Sebentar lagi tutup. Kita bisa mulai beres-beres."

Itu perintah tidak terbantahkan sekaligus isyarat jika Chelsea tidak ingin memperpanjang topik pembicaraan tentang kehidupan pribadinya. Diane mengerti dan segera pergi dari sisi Chelsea.

"Kamu kejam juga pada pegawai," komentar Glen setelah rekannya pergi.

"Tidak juga. Ini memang sudah tugas dia untuk beres-beres." Chelsea membuka kotak uang dan mulai menghitung penghasilan hari itu.

Wajah semringah ditambah mata berbinar-binar yang memancar dari wajah Chelsea membuat pria di sebelahnya terpana. Glen sampai tidak berkedip memandangi wanita yang masih sibuk menghitung uang.

"Penghasilan hari ini luar biasa. Astaga. Keuntungan hari ini sama dengan keuntungan di akhir pekan, padahal sekarang masih awal minggu."

Chelsea merapikan tumpukan uangnya. Dia menyimpan baik-baik seluruh uang dalam kotak besi berkunci. Saat menoleh ke arah Glen, wanita itu tertegun.

"Kenapa? Ada yang aneh di wajahku?"

Glen menggeleng-gelengkan kepala. Senyum pria itu tersungging lebar.

"Aku ingin menciummu," ucap Glen terus terang.

Wajah Chelsea langsung memerah. Dia spontan meloncat dari kursi dan mundur selangkah. Ekspresi wajah Chelsea memperingatkan Glen agar tidak melakukan keinginan konyolnya itu.

"Jangan coba-coba." Chelsea mendesis. "Ada Diane dan Henry di sini."

"Berarti, kalau tidak ada mereka aku boleh menciummu?"

Chelsea melotot galak. Dia segera mendorong Glen agar menjauh darinya. Chelsea sedikit kaget saat melihat Glen terhuyung hampir jatuh. Namun, wanita itu segera mengingatkan diri sendiri jika Glen cukup kuat untuk menahan serangan darinya.

"Jaga bicaramu, Glen," desis wanita itu lagi. "Aku tak mau orang salah paham pada kita."

"Kenapa kamu takut orang salah paham?" Glen mengangkat alis.

Dia berani bicara cukup lama dengan Chelsea. Suasana kafe sudah lumayan sepi. Pekerjaannya tidak lagi banyak. Hanya ada tiga pengunjung yang menghuni dua meja di samping jendela.

Mereka tidak saling kenal. Namun, dua orang itu sudah berada cukup lama di Cacaote. Menurut taksiran Glen, bisa jadi kedua orang itu akan segera pergi karena jam tutup kafe juga sebentar lagi tiba.

"Karena kamu bukan milikku," jawab Chelsea dalam bahasa Indonesia.

Glen termangu. "Begitukah? Setelah aku berada di sini, kamu masih tak percaya jika aku adalah milikmu?"

"Glen …."

"Kita bicara nanti." Glen tiba-tiba berdiri dari kursi.

Chelsea tersentak kaget oleh aksi Glen yang menyela ucapannya. Pandangan wanita itu mengikuti langkah Glen yang terarah ke satu meja di dekat jendela.

Pengunjung Cacaote yang beberapa detik lalu berada di sana sudah pergi. Glen dengan sigap membereskan meja. Cangkir kotor bekas kopi dan piring yang masih menyisakan sepotong kecil kue keju segera dibawa Glen ke dapur.

Sementara Chelsea termenung di balik meja kasir. Dia masih memandangi Glen yang hilir mudik dari dapur, kembali ke meja pengunjung, dan pergi lagi ke arah belakang.

"Aku bukannya tidak ingin menerima dirimu, Glen." Wanita itu berkata lirih pada diri sendiri.

"Tapi kamu sudah menjadi milik orang lain. Aku tak bisa menahan kebahagiaanmu, apalagi jika diriku adalah pembuat konflik dalam keluargamu."

Chelsea menghela napas berat. Dia berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Namun, sikap Glen yang tiba-tiba menutup diri membuat wanita itu merasa resah.

Malamnya setelah Diane dan Henry pulang, dan Chelsea hanya berdua dengan Glen di Cacaote, wanita itu baru berani bicara lagi. Dia mendekati Glen yang tengah menikmati secangkir kopi pahit di patio samping.

"Hei," sapa Chelsea lirih seraya duduk di samping Glen.

Pria itu tidak bergeser. Paha mereka berdempetan. Ada rasa hangat mengaliri tungkai Chelsea, sedikit menghalau hawa dingin bulan Maret Brisbane.

"Aku akan segera pergi dari sini," ucap Glen sekonyong-konyong.

Chelsea tertegun. "Apa … apa maksudmu?"

"Yah, kamu sepertinya tak nyaman dengan kehadiranku di sini." Glen menyesap seteguk kecil kopi pahitnya.

Chelsea bergeming. Pandangannya masih nanar menatap ke arah pria yang terlihat murung di sampingnya.

"Kamu salah sangka," timpal Chelsea sangat cepat.

Glen menoleh. "Salah sangka bagaimana? Kamu sudah jelas tak mengharapkan aku ada di sini."

"Oh, demi Tuhan. Bukan begitu maksudku, Glen." Wanita itu gemas sendiri. "Aku bukannya tak nyaman dengan keberadaanmu. Hanya saja …."

Chelsea menggantung kalimat. Di sampingnya Glen menunggu dengan tidak sabar.

"Hanya saja apa?" desak pria itu.

Chelsea menghela napas panjang. Dia menunduk. Pandangannya terpaku ke lantai patio yang terlihat gelap, meski sudah ada lampu yang menerangi.

"Hanya saja …." Wanita itu tampak ragu.

"Chels, bisa apa nggak kalau kamu pensiun dulu jadi orang gagap?" Glen menggerutu.

Senyum Chelsea tak urung tersungging. Dia suka dengan selera humor pria ini. Glen tidak pernah gagal membuatnya senang dengan celetukan-celetukan segar yang sering menjadi ice breaking di antara mereka.

"Hanya saja kamu itu bukan milik aku." Akhirnya Chelsea berhasil menyelesaikan kalimat yang terpotong.

Glen menelengkan kepala. Pada akhirnya pria itu menggeleng-geleng dengan tatapan tidak percaya yang kentara jelas.

"Kamu itu chef pastri yang luar biasa. Kamu berhasil mendirikan Cacaote yang penjualannya sangat menakjubkan. Otakmu juga sangat encer. Harusnya. Tapi kamu malah bodoh sekali soal perasaan orang."

Chelsea memberengut. "Mohon maaf jika aku mengecewakan penilaianmu."

Wanita itu mendengar helaan berat napas Glen. Dia tidak berani menoleh, bahkan melirik pun Chelsea enggan. Wanita itu terus memaku pandangan ke lantai patio.

"Aku sudah berada di sini. Apa itu belum jadi bukti yang cukup bagimu?"

Chelsea masih mengerucutkan bibir. Namun, suara wanita itu akhirnya terdengar lirih.

"Empat tahun lalu kamu pergi meninggalkan aku. Selama itu pula kamu tidak pernah memberikan kabar sedikit pun padaku."

"Aku memang ganti nomor, tapi media sosialku masih aktif." Glen mengernyitkan dahi. "Justru kamu yang seperti hilang dari peradaban. Kamu tak pernah menghubungiku. Kupikir kamu memang tak ingin bertemu denganku lagi."

Chelsea tertegun. "Apa seperti itu aku terlihat di matamu?"

Glen mengangguk tanpa ragu. Tangan pria itu memutar-mutar cangkir kopi di tangannya.

Meski Brisbane menyediakan puluhan jenis anggur, bir, dan wiski, tetapi kecintaan Glen pada minuman berkafein itu tidak bisa terkalahkan oleh stok minuman beralkohol yang tumpah ruah di sini.

Dan kopi membuat Glen merasa mampu berpikir jernih. Setidaknya saat dia harus menghadapi wanita yang pernah dicintainya ini.

Ya, pernah dicintai.

Glen menatap murung ke arah tanaman di halaman kafe Chelsea. Dia tidak pernah mengerti apa yang dirasakannya saat ini pada wanita itu. Hubungan mereka terjalin atas ketertarikan fisik yang kuat.

Seharusnya ketertarikan fisik itu tidak menjadi alasan Glen sampai kabur dari rumahnya yang nyaman di Solo. Namun, itulah yang dilakukan Glen.

Mengatakan cinta saat ini terlalu dini setelah empat tahun mereka berpisah. Namun, hati Glen juga tersengat nyeri saat wanita itu memperlihatkan gelagat pengusiran.

"Aku tak ingin menghalangi kebahagiaanmu, Glen," ucap Chelsea lirih. "Karena itulah aku kembali ke dunia ini. Aku harus membuatmu bahagia."