Chelsea tidak menyangka sama sekali Henry dan Diane akan datang dengan sebuah kejutan. Sudah dua hari berlalu sejak dia mengabarkan tentang rencana pernikahannya bersama Glen. Selama dua hari itu pula dua pegawainya itu bersikap normal seolah tidak sedang menyembunyikan sesuatu.
Namun, di hari ketiga tiba-tiba Diane datang dan menyeretnya ke atas. Wanita itu bahkan menutup mata Chelsea sembari membimbing bosnya agar tak tersandung di tangga.
"Apa yang mau kau tunjukkan, sih?" Chelsea menggerutu. "Aku tak suka gelap-gelapan seperti ini."
"Tapi kamu suka kejutan." Diane terkikik. "Dan aku jamin, kali ini kau pasti amat sangat suka kejutannya."
Terdengar dengkusan keras Chelsea. Kali ini dia memasrahkan diri sepenuhnya pada Diane. Setapak demi setapak mereka berjalan pelan menuju lantai atas. Lalu Diane menurunkan tangannya yang semula menutup mata Chelsea.
Detik itu juga udara seolah berhenti mengaliri ruang atas ruko Chelsea. Mata wanita itu membulat. Mulutnya terbuka lebar. Aura syahdu menggantung kuat di sekitar mereka, membuat Chelsea menggigil. Sejejak air mata mulai mengumpul di pelupuk matanya yang memaksa wanita itu untuk menahan tangis.
"Ini … tidak mungkin." Suara wanita itu tercekat.
Senyum Diane merekah. Dia merangkul bahu Chelsea. "Ini mungkin dan nyata, Chels. Kau benar-benar akan menikah."
Langkah Chelsea perlahan terarah menuju sofa. Ada satu helai pakaian tersampir di sana. Chelsea langsung menggeleng-geleng.
Tidak. Tidak. Ini bukan sekadar pakaian biasa. Ini gaun pernikahan.
Jarinya menyentuh bahan kain yang sangat lembut dan halus. Potongannya sederhana. Modelnya juga minimalis. Tidak ada aura megah. Namun, nuansa elegan terpancar sangat kuat dari gaun berwarna putih tersebut.
"Vera Wang," ucap Diane sebelum ditanya.
Chelsea menoleh. Matanya mengerjap-ngerjap mendengar nama desainer papan atas dunia itu disebut. Diane membalas dengan senyum merekah.
"Calon suamimu ternyata punya banyak saldo di rekeningnya. Dia memberi kami kartu miliknya untuk digunakan mempersiapkan pernikahan kalian."
Chelsea langsung memelotot. "Glen memberi kalian uang?"
"Benar." Diane mengangguk. Saat melihat perubahan ekspresi di wajah bosnya, wanita itu buru-buru menjelaskan. "Tapi tenang saja. Tidak ada kemubaziran. Glen menginginkan pernikahan yang kecil dan intim. Sepertinya itu juga cocok untukmu mengingat …."
Diane menggantung kalimatnya. Dia tidak berani melanjutkan. Namun, Chelsea sudah paham apa yang dimaksud oleh sahabatnya itu.
Masih ada John di luar. Mantan ayah tirinya itu pasti akan mengendus keberadaan dirinya. Pernikahan yang digelar besar-besaran rawan mendatangkan perhatian John.
Lagi pula ini bukan pernikahan sungguhan. Chelsea membatin. Ini hanya pernikahan kontrak antara dirinya dan Glen. Dalam hati Chelsea sudah menyayangkan harga gaun yang mahal tidak setimpal dengan pernikahan palsu yang akan dijalaninya.
"Henry juga sudah mempersiapkan tempat pernikahan. Kami mati-matian meminta Glen tidak berada di ruko ini." Diane menjelaskan.
Chelsea mengangguk-angguk. Pantas saja dua hari ini dia tidak melihat sosok Glen di mana pun. Bahkan pria itu juga absen bekerja tanpa alasan.
Sejujurnya Chelsea sempat khawatir Glen menghilang. Calon suami palsunya itu sudah menceritakan tentang bodyguard yang dikirim oleh ayahnya. Praduga Chelsea adalah Glen tertangkap oleh pengawal pribadi keluarganya. Namun, setelah mendengar penjelasan Diane hati wanita itu menjadi lega.
"Nah, sekarang cobalah, Chels."
Diane mengangkat gaun yang teronggok di sofa. Saat itu baru terlihat jelas detail gaun yang ternyata tidak sesederhana seperti perkiraan Chelsea sebelumnya.
Pesona vintage terlihat dari gaun beraksen korset tersebut. Berbahan organza dengan detail lengan panjang transparan membuat gaun itu cukup nyaman dikenakan di penghujung musim gugur yang mulai dingin.
Dan saat mengenakan gaun tersebut, Chelsea merasa seperti seorang putri dari negeri dongeng. Rambut panjangnya terurai indah, menyatu dengan ruffles kecil yang menghiasi salah satu bagian bahu. Warna gaun sangat cocok dengan kulitnya. Bahkan tanpa riasan pun, Chelsea sudah secantik bidadari.
"Yes, ini sempurna." Terdengar suara Diane memuji dari belakang.
Chelsea memandangi pantulan dirinya di cermin. Dia memang menawan. Dirinya sendiri mulai terserang kenarsisan setelah melihat gaun itu seolah tercipta hanya untuknya. Chelsea bahkan sampai menahan napas karena takut karbon dioksida hasil ekskresi paru-parunya merusak keindahan gaun.
"Lebih baik aku cepat lepas gaun ini." Chelsea memutuskan.
"Benar. Kau perlu melepasnya. Setelah ini kita akan uji coba make up." Diane membantu sahabatnya melepas gaun. "Setelah itu kita perlu mendiskusikan tentang berapa tamu yang ingin kau undang. Sejujurnya sampai detik ini daftar tamu undangan hanya aku dan Henry."
Chelsea langsung mengangkat satu tangan, isyarat agar Diane menghentikan ocehannya. Wanita itu buru-buru berkata. "Sudah cukup. Kalian berdua sudah cukup jadi tamu di pernikahanku."
"Eh, kau yakin?"
Chelsea mengangguk kuat-kuat. "Yakin. Sangat yakin. Sekarang bisakah kita kembali ke toko? Aku lebih tenang membuat kue daripada membicarakan pernikahanku."
**
Pernikahannya berlangsung lebih cepat dibanding yang Chelsea perkirakan.
Akhir pekan itu Cacaote ditutup, meski lonjakan pengunjung ke Brisbane sedang tinggi. Diane mengantar Chelsea pergi ke salah satu gereja di Ann Street, di mana Henry dan Glen sudah menunggu bersama seorang pendeta di sana.
Pernikahan intim dan tertutup diselenggarakan di gereja kecil tersebut. Chelsea dan Glen benar-benar tidak keberatan saat tamu undangan mereka hanya terdiri dari Diane dan Henry. Sementara dua pegawai Cacaote itu juga cukup bijaksana untuk menutup mulut dan tidak mempertanyakan mengapa keluarga Glen tidak ada yang datang ke pernikahan putra mereka sendiri.
Hanya berdurasi setengah jam, status lajang Chelsea telah berubah sepenuhnya. Wanita itu kini resmi menyandang titel nyonya setelah pendeta mengesahkan pernikahannya di hadapan Tuhan. Jantung Chelsea berdebar kencang. Fakta jika pernikahan ini sebenarnya hanya sebuah kontrak tidak mengurangi kekhidmatan wanita itu akan prosesi pengucapan janji suci pernikahan.
"Nah, Tuan dan Nyonya Glen. Apa sekarang kita bisa mulai masuk ke acara resepsinya?" Diane mengedipkan sebelah mata.
Glen memandangi istrinya yang sangat menawan. Segala yang ada di diri Chelsea saat ini terbilang sederhana. Hanya gaun yang melekat di tubuh wanita itu. Satu-satunya perhiasan adalah cincin kawin yang tersemat di jari manis. Rambut dan riasan Chelsea juga sangat minimalis.
Namun, justru kesederhanaan itu memancarkan aura kecantikan Chelsea. Bahkan orang-orang yang tengah berjalan di trotoar pun sampai menghentikan langkah sekadar mengagumi kecantikan sang mempelai wanita.
"Boleh," jawab Glen tanpa melihat ke arah Diane.
Terdengar tawa keras. Diane dan Henry paham pada makna tatapan Glen. Mereka berjalan kaki lima belas menit menuju ke satu restoran mewah. Henry telah melakukan reservasi satu meja di balkon restoran untuk acara makan siang pasca pernikahan.
"Jadi, apa rencana kalian setelah ini?" tanya Henry. Tangannya menusuk sepotong scallop dalam mangkuk saladnya yang estetik.
"Pergi ke Indonesia," jawab Glen tanpa ragu.
Diane dan Henry kompak menyemburkan makanan pembuka mereka. Buru-buru keduanya menyambar serbet dan menutup mulut seraya melirik kanan kiri. Untung saja posisi mereka berada di balkon. Selain meja di sebelah yang untungnya kosong, tidak ada siapa pun yang menyadari aksi menjijikkan mereka.
"Indonesia?" desis Diane. Pandangan wanita itu meluncur tajam ke arah Glen, kemudian terhunjam lurus pada Chelsea. Tatapan penuh tuduhan dari Diane sudah membuat sang pengantin wanita duduk blingsatan di kursinya.
"Chels, kau tak membicarakan apa pun soal ini dengan kami." Diane mendesak.
"Denganku juga." Henry sepakat. Terdengar nada kecewa di suara pria itu. "Jika kalian pergi ke Indonesia, bagaimana dengan Cacaote?"
Glen melirik istrinya. Wanita itu masih mengenakan mantel tipis yang menutupi gaun pengantinnya. Chelsea tampak murung alih-alih bahagia. Dalam hati Glen dihantam rasa bersalah karena membuat istrinya harus berada di posisi sulit.
Hening yang cukup lama terjadi di meja itu. Tidak ada yang tertarik menghabiskan hidangan pembuka. Dua pasang mata tertuju pada Chelsea yang masih bungkam.
"Chels?" Diane mendesak.
Wanita itu mendongakkan pandangan. Ada sorot pedih di mata indah itu. Diane mengangkat alis. Instingnya sebagai seorang wanita mulai mengendus sesuatu yang aneh.
Namun, belum juga mengutarakan kecurigaannya, suara Glen sudah memecah jeda yang terjadi di antara mereka.
"Kami sudah membuat keputusan." Pria itu berkata lembut. "Kami jelas tidak mungkin mengurus Cacaote."
Henry dan Diane saling bertukar pandang.
"Jadi, Cacaote akan menjadi milik kalian." Glen berkata tegas. "Dan maaf, kami tidak menerima penolakan."