Chereads / Takdirku Terjerat Cintamu / Chapter 25 - Kembali ke Indonesia

Chapter 25 - Kembali ke Indonesia

Cacaote resmi berpindah kepemilikan.

Chelsea sekarang hanya bertindak sebagai pemilik sementara pengelolaan kafe dan bakeri sepenuhnya diserahkan pada Diane dan Glen. Seluruh prosedur operasional juga dilaksanakan oleh dua pegawainya.

Win-win solution bagi mereka semua. Setidaknya itulah yang diharapkan oleh Chelsea saat dia akhirnya pergi meninggalkan Cacaote sehari setelah pernikahannya.

"Siap?" tanya Glen seraya menggenggam tangannya.

Chelsea menghela napas berat. Dia memandangi bangunan Cacaote melalui jendela belakang mobil. Dadanya terasa sesak karena diliputi perasaan sedih luar biasa.

"Entahlah," jawab wanita itu mengakui. Pikirannya gamang. Hatinya masih merasakan tidak rela.

"Aku membangun Cacaote dari nol. Sekarang saat semuanya mulai stabil, aku harus meninggalkannya." Wanita itu berkata lagi.

"Kamu tidak meninggalkannya, Chels. Kamu hanya menitipkannya pada Diane dan Glen," ujar suami barunya.

Perkataan Glen disambut kebisuan oleh Chelsea. Dia tidak membalas komentar apa pun. Setelah melewati belokan di ujung blok, baru Chelsea menghadap ke depan. Kini dia benar-benar tidak bisa melihat kafe dan bakerinya lagi.

"Aku akan membuatkanmu toko baru di Indonesia," janji pria di sampingnya.

Chelsea masih membisu. Bukan karena dia sok menolak tawaran pria itu. Namun, meninggalkan Cacaote masih terasa berat untuknya.

Jika ada toko baru di Indonesia nanti, pasti semuanya tidak akan sama dengan Cacaote. Bakeri miliknya tidak akan pernah bisa digantikan dengan seratus toko baru sekalipun, kecuali jika itu adalah cabang dari Cacaote.

Dan wanita itu tersentak kaget. Ide tersebut melintas begitu saja di benaknya. Dia melirik Glen dengan penuh rasa penasaran.

Tidak. Tidak. Aku tak boleh membicarakan hal ini sekarang. Fokus saja pada pertemuan dengan mertua barumu, Chels.

Wanita itu memberi peringatan pada dirinya sendiri. Dia menghela napas panjang dan turut bersandar ke jok kulit keras berbau apak dari taksi yang membawa mereka ke bandara Brisbane.

Menumpang Singapore Airlines, penerbangan selama hampir dua belas jam antara Brisbane menuju Jakarta berjalan dengan lancar. Transit sekali di Singapura dimanfaatkan Glen dan Chelsea untuk mengatur skenario perkenalan mereka sebagai pasangan suami istri baru.

Dari Jakarta, keduanya masih harus menempuh penerbangan lagi menuju Solo. Sudah tengah malam saat mereka akhirnya mendarat di bandara Adi Soemarmo. Tidak ada yang menjemput keduanya. Glen memutuskan untuk menginap di hotel alih-alih pulang ke apartemennya.

"Di sana pasti sudah dijaga bodyguard Bapak. Aku tak mau terjebak lagi bersama mereka," gerutu Glen.

Chelsea menelengkan kepala. Dia memandangi pria di sampingnya dengan kening berkerut.

"Ini aneh sekali. Katamu tadi, selama ini kamu diawasi oleh bodyguard orang tuamu?" tanya wanita itu bingung.

"Benar. Seratus buat istri cantik aku." Glen menggombal.

Sayangnya perkataan pria itu tak berimbas apa pun pada Chelsea. Dia masih lempeng dan berwajah datar. Pertanyaan selanjutnya meluncur mulus dari bibir wanita itu.

"Lalu kenapa selama di Cacaote, kamu tak pernah tertangkap lagi?"

Glen membeku.

"Bukankah bodyguard-bodyguard itu sempat mengejarmu hingga ke bakeriku? Mereka kehilangan dirimu di sana. Seharusnya pengawasan mereka lebih ketat lagi di sekitar Cacaote."

Glen bergeming. Langkahnya yang sedang menuju ke lobi hotel terhenti seketika.

"Ah, aku baru sadar. Kenapa aku tak memikirkan hal itu sampai sejauh ini? Bukankah ini memang aneh? Aku tak menyadari sama sekali soal keberadaan bodyguard di sekitar Cacaote. Aku pikir itu karena mereka sudah putus asa mencarimu di sana."

"Me—memang seperti itu," jawab Glen terbata-bata.

Chelsea menyipitkan mata curiga. Telunjuknya menusuk dada pria di sampingnya.

"Apa yang kamu sembunyikan dariku, Glen?" tuntut Chelsea lembut.

"Ti—tidak ada."

Mata Chelsea menyipit. Kepalanya menggeleng-geleng. "Ting-tong. Kamu salah menjawab. Ini terlalu cepat untuk sebuah jawaban tidak ada, kan?" Wanita itu memberi penekanan pada kalimat terakhirnya.

Glen menelan ludah. Jakunnya bergerak naik turun. Dia menghindari menatap Chelsea. Sebagai gantinya pria itu langsung menarik tangan istrinya pergi ke lobi.

"Eh, Glen? Aduh, jangan diseret akunya. Jalan pelan-pelan sedikitlah."

Namun, pria itu tidak menggubris. Dia langsung memasuki bangunan hotel dengan nuansa etnik Jawa yang sangat kental. Cahaya kuning menyiram ruangan dan memberi nuansa hangat pada pengunjung lobi.

Sayangnya hal itu tidak berlaku pada Glen. Jantungnya berdebar-debar kencang mengantisipasi perkataan apa lagi yang akan muncul dari diri Chelsea. Sebab sejujurnya pria itu menyimpan segudang rahasia yang belum diberitahukannya pada sang istri.

Glen memilih griya tawang sebagai tempat menginap mereka. Pria itu juga meminta status incognito pada resepsionis. Tidak lupa Glen memberikan sejumlah besar uang tip yang langsung membuat dua resepsionis di belakang meja tersenyum lebar.

"Glen, ayolah. Bicara sejujurnya padaku. Apa yang sedang kamu rencanakan?" Chelsea mendesak begitu mereka tiba di kamar inap.

"Tak ada," jawab Glen singkat.

"Bohong."

Pria itu mengembuskan napas panjang. Dia memandangi tempat tidur besar yang mengintip dari balik partisi dengan sorot mata penuh kerinduan.

Tidur di kursi pesawat, meskipun mereka sudah memilih penerbangan nomor satu, tetap tidak bisa memberikan kenyamanan pada punggung Glen. Badannya pegal-pegal tidak karuan. Rasanya ingin sekali dia melemparkan diri ke atas tempat tidur dan segera memejamkan mata.

Namun, istrinya tidak bisa diajak berkompromi. Wanita itu bersedekap. Sepasang dada besarnya membusung indah. Air liur Glen serasa ingin menetes melihat pemandangan menawan dari tubuh sang istri.

"Glen."

Panggilan lembut itu menyadarkan Glen dari lamunan. "Apa lagi, Chels? Aku lelah."

"Jawab dulu pertanyaanku," tuntut Chelsea.

Glen mengembuskan napas panjang. "Aku sudah ceritakan semuanya padamu. Aku memintamu menjalani kawin kontrak ini agar orang tuaku tidak menggerecokiku dengan pernikahan bersama Mita."

Chelsea menggeleng-geleng. "Masih juga bohong."

"Astaga, ini wanita kenapa rewel sekali, sih?" Glen mengomel. "Ke sini. Tunaikan tugasmu sebagai istri sekarang juga."

Alih-alih mematuhi perintah suaminya, Chelsea justru melangkah lambat-lambat mendekati tempat tidur. Dalam gerakan seduktif yang dilakukan sedemikian rupa, wanita itu melepaskan sepatu hak datarnya lalu berlanjut dengan mantel yang sedari tadi sudah terlepas seluruh kancingnya.

"Glen, apa kamu tak mau membantuku melepas blus ini? Tanganku sakit." Chelsea mengulurkan dua tangannya pada Glen. "Atau kamu mau mengikatku saja di tempat tidur ini? Ah, seharusnya kamu pesan kamar dengan tempat tidur bertiang. Kita bisa melakukan banyak manuver dengan tiang-tiang itu."

Glen terbelalak. Dalam dua langkah panjang dia menghampiri istrinya. Direnggutnya tengkuk Chelsea dan membenamkan ciuman kuat-kuat ke bibir wanita itu.

"Mau menggodaku?" desis Glen keras. "Sekarang giliranku, Nyonya. Bersiap-siaplah."

**

"Glen sudah datang ke Indonesia?"

Sesosok pria berbadan kurus dan tinggi menganggukkan kepala. Dia masih terus menunduk tanpa berani menengadahkan pandangan.

Berjarak dua meter di hadapannya, seorang pria lain terlihat duduk tegak. Rahangnya mengencang. Tangan yang terkepal di sandaran kursi butuh waktu untuk terurai. Saat berhasil melakukannya, suara berat pria itu kembali terdengar.

"Dia sudah benar-benar menikah?"

Yang ditanya menganggukkan kepala. "Benar, Pak. Menikah secara resmi di salah satu gereja Brisbane."

"Anak brengsek!"

Teriakan keras pria itu membahana di ruang kerja yang sunyi. Pandangan mata si pria berkilat-kilat.

"Berani-beraninya dia melakukan hal itu. Apa dia sudah bosan hidup?"

Pria itu menggebrak meja. Dia mengabaikan rasa berdenyut-denyut kencang di telapak tangan. Emosi pria itu sudah memuncak dan tidak lagi mampu merasakan sakit.

"Sekarang ke mana dia pergi?"

"Mas Glen dan istrinya menginap di hotel Lorin, Bapak." Pria kurus dan jangkung itu menjawab.

"Kita ke sana." Si pria bangkit dari kursi kulit lembut yang sudah didudukinya selama satu jam terakhir. "Beri tahu orang tua Glen juga. Jika mereka tidak becus mendidik anak, aku yang akan ambil alih."