Chereads / Takdirku Terjerat Cintamu / Chapter 20 - Hidup Bersama

Chapter 20 - Hidup Bersama

[Ini terdengar aneh.]

Glen menelengkan kepala mendengar perkataan Chelsea yang janggal. Dia suka dengan komitmen wanita itu untuk membuatnya bahagia. Namun, Glen merasa jika wanita di sampingnya ini tengah menyembunyikan sesuatu.

"Kamu baik-baik saja, Chels?" Pria itu tak urung menyuarakan keheranannya.

"Baik-baik saja. Kenapa?" Ganti Chelsea yang melontarkan pertanyaan.

Mulut Glen terbuka hendak bicara. Namun, pria itu mengurungkan niat. Dia menelan kembali rasa penasarannya dan mengalihkan pandangan ke depan.

Pohon semak di halaman samping kafe Chelsea terlihat rapi. Diam-diam pria itu kagum dengan tangan dingin mantan kekasihnya yang selalu berhasil membuat sesuatu jadi terlihat indah.

Mulai dari kue, rumah, koleksi tanaman, dan juga hatinya. Glen meringis dalam hati, sedikit merasa bersalah karena telah memutuskan wanita itu secara sepihak.

"Glen?"

Pria itu menggeleng. "Tidak apa-apa. Lupakan."

Mereka kembali berada dalam keheningan. Baik Chelsea maupun Glen sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kesunyian itu makin terasa pekat dengan fakta suara kendaraan sudah tidak terdengar lagi. Bahkan bunyi serangga malam juga menghilang.

Alam seolah berkomplot untuk menjebak pasangan itu dalam kebisuan yang mencekam. Glen masih terus memutar cangkir kopi di tangan, meski benda itu hanya menawarkan rasa dingin. Sementara lantai adalah tempat pelarian Chelsea dari berbagai pikiran akan Glen.

"Aku rasa, kesalah pahaman di antara kita sudah terselesaikan."

Kebisuan di antara mereka berdua dipecahkan oleh suara Glen. Wanita di sampingnya mendoangakkan pandangan.

"Sepertinya begitu," timpal Chelsea dengan nada yakin.

"Kenapa?"

Wanita itu menggeleng. Dia bangkit dari duduknya. "Tidak apa-apa. Aku harus masuk. Istirahat. Besok kerja lagi."

"Chels." Suara Glen kembali terdengar. Kali ini disertai dengan cekalan pria itu di pergelangan tangan si wanita.

Chelsea menundukkan pandangan. Tangan kecokelatan dengan urat-urat yang menonjol itu jelas terlalu seksi untuk ditampik oleh Chelsea. Namun, sebagai pihak yang paling keras berusaha menjaga kewarasan di sini, Chelsea mau tidak mau harus menjaga jarak dari Glen.

Jadi, itulah yang dilakukan Chelsea. Perlahan dia membuat jarak. Dimulai dengan melepas cekalan Glen lalu beranjak menepi ke dekat pintu. Pandangan Chelsea terpaku ke sosok pria jangkung yang terlihat bingung di kursinya.

"Ya, Glen?"

Pria itu mengusap tengkuk. Dia sedikit mengalihkan pandangan, kemudian kembali menatap Chelsea.

"Bolehkah … bolehkah aku tinggal di sini?"

Alis Chelsea terangkat tinggi.

Itu pertanyaan yang sederhana. Sebagai tamu, Chelsea akan dengan senang hati mempersilakan Glen menginap.

Namun, dia tidak tahu posisi Glen saat ini. Apakah itu hanyalah sebuah permintaan sederhana tinggal temporer sampai pria itu mendapat apartemen. Ataukah permohonan untuk hidup bersama Chelsea seperti dulu.

"Di mana posisi kita, Glen?" Wanita itu kembali melontarkan pertanyaan.

Glen tertegun.

"Katakan padaku," pinta Chelsea terus terang. "Agar aku tidak salah menyuguhkan minuman. Kamu ingin kopi, atau ingin air putih dua puluh empat jam tujuh hari seminggu?"

Glen menelan ludah. Jakunnya bergerak naik turun dengan cepat. Pandangan pria itu nanar tertuju pada Chelsea yang masih berdiri tegak di samping pintu.

Suasana malam yang hening sama sekali tidak membantu pria itu. Justru jantungnya berdebar makin kencang seiring detik yang terus bergulir.

"Kamu bahkan tak mampu menjawab." Suara Chelsea terdengar kecewa.

Wanita itu berbalik. Namun, sekonyong-konyong langkahnya terhenti. Punggungnya sekaku papan dengan telinga yang terbuka lebar setelah mendengar perkataan Glen.

"Air putih. Tolong, beri aku air putih, Chels. Aku haus."

**

Sikat gigi baru, pencukur, dan krim cukur kemasan bepergian.

Chelsea menyiapkan peralatan itu untuk Glen. Dia meletakkan semuanya di kamar mandi yang menyatu dengan kamar tamu rumah Chelsea.

Lalu Chelsea meletakkan handuk kering di pinggiran wastafel. Dia memastikan semuanya sudah tertata rapi sebelum bergerak ke luar kamar.

Dan wanita itu menelan ludah. Dia berdiri terpaku di ambang pintu, mata memelotot ke arah sosok yang berjalan hilir mudik di ruang duduknya, dan hampir saja lupa menarik napas.

"Glen!" teriaknya keras.

Yang dipanggil menoleh. Seringai pria itu tercetak di wajah khas melayu-nya.

Glen melangkah santai mendekati Chelsea. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda dia berniat melapisi kembali tubuh bagian atasnya yang terbuka lebar.

"Ya, Chels?"

"Pakai lagi bajumu!" Chelsea membentak.

Glen terkekeh. Dia malah bergerak semakin mendekat, sengaja menggoda wanita itu dengan keseksian tubuhnya.

"Padahal kita sudah sama-sama melihat satu sama lain."

"Glen Defan Aditya Sumitro," desis Chelsea dengan nada kesal.

"Yes, Chelsea Halderman?" Glen menelengkan kepala. Seringai licik pria itu masih terpasang di wajah tampannya. "Kenapa dengan nama lengkapku? Aku punya firasat jika kamu bakal sering memanggilku dengan barisan nama lengkap sesuai paspor itu."

Chelsea mendelik kesal. Dia mengentakkan kaki lalu mendorong Glen menjauh.

"Loh, Chels? Kok, pergi?" Terdengar suara tawa membahana Glen.

Chelsea menghela napas berat. Kaki panjangnya bergerak cepat menuju kamarnya sendiri. Wanita itu bahkan membanting pintu demi menegaskan kekesalannya yang memuncak.

"Astaga, kenapa aku jadi selemah ini kalau sudah berurusan dengan Glen?" Wanita itu membanting diri ke atas tempat tidur.

Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar. Rumah yang dibelinya dengan penuh perjuangan ini awalnya terasa damai dan menyenangkan. Akan tetapi, Chelsea tahu jika setelah ini dirinya tidak akan pernah bisa sedamai seperti kemarin lagi.

Glen adalah badai. Pria itu menarik banyak hal dalam hidup Chelsea. Wanita itu sempat terhenyak karena menyadari Glen membawa kedamaian sekaligus perang dalam kehidupannya.

"Sekarang kami sudah memutuskan tinggal serumah." Wanita itu kembali bergumam. "Seharusnya ini jadi perkembangan yang bagus. Aku harusnya senang. Tapi kenapa aku masih merasa tidak tenang?"

Chelsea berguling. Diraihnya bantal dan menyandarkan wajah di sana. Kali ini pandangan Chelsea tertuju ke pin kue stroberi yang tergeletak di atas nakas.

"Mita …." Mulutnya merapal satu nama.

"Glen bilang, kalian sudah selesai. Dirimu juga pernah mengatakan hal itu. Tapi kenapa perasaanku terus tidak tenang?"

Ingatan Chelsea kembali pada peristiwa kemarin malam. Saat para pengawal pribadi Glen mencari keberadaan pria itu hingga memasuki halaman Cacaote.

"Ada sesuatu yang kamu sembunyikan, Glen." Wanita itu kembali bermonolog. "Jika kamu memang benar-benar sudah putus dengan Mita, seharusnya centeng-centeng ayahmu tidak berada di sini."

Helaan napas Chelsea terdengar berat. Wanita itu terpekur sejenak. Sekali lagi ingatannya berkelana jauh ke masa lalu. Namun, kali ini kepingan memori Chelsea tidak menampilkan tentang Glen, melainkan satu peristiwa besar yang terjadi dalam hidupnya empat tahun silam.

"Aku bisa hidup lagi karena dirimu, Glen." Suara Chelsea sangat lirih. "Aku sudah berjanji pada Tuhan untuk membuatmu bahagia."

Dua kecelakaan di dua waktu yang berbeda.

Chelsea tanpa sadar menggigil. Matanya terpejam rapat, tidak mau mengingat peristiwa traumatis yang sampai detik ini masih membuatnya terguncang.

Pertama kali hidupnya diselamatkan oleh Glen saat pria itu lewat di depan rumahnya. Saat itu Chelsea yang berusaha kabur dari kejaran John tidak sengaja tertabrak kendaraan yang melaju kencang di depan rumah.

Glen-lah yang membawanya ke rumah sakit. Glen juga yang akhirnya melindungi Chelsea dari John Smith, sang ayah tiri.

Mereka akhirnya berkencan. Glen dan Chelsea sempat mencecap nikmatnya percintaan sampai kisah romansa mereka harus putus karena Glen yang pulang ke Indonesia.

Chelsea mengejar Glen di bandara. Semuanya karena keegoisan Chelsea yang marah karena Glen harus kembali ke negaranya. Mereka bertengkar hebat beberapa hari sebelum penerbangan Glen. Dan Chelsea menolak bertemu.

Itu penyesalan terbesarnya. Glen dan Chelsea berpisah tanpa saling mengucap kata. Saat dia menyusul Glen ke bandara, wanita itu harus mengalami nasib nahas tertabrak kendaraan lagi untuk kedua kalinya.

"Chels? Chelsea?"

Wanita itu tersentak kaget. Lamunannya buyar seketika. Buru-buru dia bangkit dan berjalan ke arah pintu.

"Ya, Glen? Ada ap—pa …."

Mata Chelsea terbelalak. Mulutnya terbuka lebar. Suaranya berseru keras. "Ya Tuhan, Glen!"