"Tameng bagaimana maksudnya?"
Di luar hujan deras masih memukul-mukul atap kendaraan. Chelsea mendesah dalam hati. Akan sulit bicara di kondisi menakutkan seperti ini. Bayangan muncul petir dan kilat membuat duduknya jadi tak nyaman. Lehernya terjulur mengamati pemandangan di depan. Jangkauan pandangannya tidak jauh, akan sulit melaju cepat di kondisi jalan licin dan hujan deras seperti sekarang.
"Apa kamu keberatan kalau kita bicara di tempatku?"
Chelsea menoleh. Dia tidak tahu kapan Glen menaikkan sandaran joknya. Namun, posisi kursi lelaki itu sudah kembali tegak.
"Kamu enggak bakalan konsen kalau ngobrol di cuaca macam gini. Penyuka hujan, tapi pembenci petir. Itu kamu."
Chelsea manyun. Kebiasaan gadis itu yang sudah dihafal Glen hanya dalam durasi setahun hubungan mereka.
"Oke, kita pergi ke tempatmu." Chelsea mulai memutar kunci mobil.
Glen bengong. "Hei, jangan asal terima tawaran orang asing. Enggak takut diapa-apain?"
"Pertama, kau bukan orang asing." Chelsea menoleh ke lelaki di sampingnya. "Aku sudah mengenalmu cukup lama meski tidak yakin dalam empat tahun ke belakang, kau masih tetap sama atau sudah berubah."
"Lalu yang kedua?" Glen penasaran.
"Kau tak akan berani berbuat macam-macam padaku."
Glen tertegun. Perkataan Chelsea menohok hati lelaki itu. Tak ada yang salah dengan pernyataan Chelsea, tetapi itu hanya berlaku beberapa tahun lalu.
Sekarang, setelah bertemu kembali dengan gadis itu, gejolak Glen terbangkitkan. Banyak yang ingin dia lakukan pada Chelsea. Banyak yang ingin Glen perkenalkan ke kehidupan sangat normal yang dimiliki mantan pacarnya. Lelaki itu merenung, berpikir panjang apakah keinginannya ini memang karena faktor cinta yang masih ada atau euforia terhadap kenangan masa lalu.
"Pindah sini," ujar Glen setelah terdiam beberapa saat.
"Aku saja yang menyetir. Di luar sedang hujan. Aku bisa basah kuyup kalau keluar mobil," tolak Chelsea.
Glen mendesis. Dia melepas sabuk pengaman dan melakukan hal yang sama ke sabuk pengaman Chelsea. Saat gadis itu mengamati dengan bola mata membesar, Glen menyelipkan tangan ke pinggang ramping milik Chelsea lalu mengangkatnya tanpa kesulitan. Telinga bertindik lelaki itu menangkap kesiap kaget yang lolos dari bibir ranum Chelsea.
"Glen!" Gadis itu terbelalak saat sang mantan meletakkannya di pangkuan.
"Repot bicara sama kamu," kata Glen santai. "Kita oper posisi dari dalam mobil. Lagian males juga aku ujan-ujanan keluar."
Chelsea bergerak-gerak gelisah di pangkuan Glen. Sorot matanya mulai panik. Berkali-kali dia membuang muka ke arah luar, tetapi kembali lagi ke wajah berkulit sawo matang yang berjarak sangat dekat dengannya.
"Glen?" Chelsea berbisik. Wajahnya merona merasakan sesuatu yang keras di bawah sana, mendesak tubuh gadis itu dalam kondisi sangat intim.
"Kamu ngerasain?" Suara Glen serak. "Dia masih bereaksi padamu."
"Glen, kau sudah memiliki tunangan." Napas Chelsea tersengal.
Dia mulai kewalahan menahan pesona lelaki itu. Jemarinya sudah gatal ingin merapikan rambut yang berantakan menutupi mata gelap Glen. Namun, bayangan gadis berkebaya yang berdiri di pintu masuk hotel mendistraksi pikiran Chelsea. Situasi di antara mereka sudah berubah sekarang.
"Lalu kenapa?" Jemari ramping lelaki itu menyusup ke balik pakaian Chelsea. Jakun Glen bergerak naik-turun saat merasakan kehangatan kulit si gadis.
"Setidaknya hormati komitmen kalian," tegur Chelsea.
"Itu komitmen orang tua kami. Aku dan Mita hanya bidak catur yang dijalankan untuk memuluskan keinginan para orang tua." Nada suara Glen sedingin es.
Perlahan tangan lelaki itu hinggap di tengkuk Chelsea. Pandang mereka bertemu. Chelsea menelan ludah. Dentuman jantungnya sudah serasa seperti bom meletus. Dia masih mencintai lelaki ini. Perpisahan mereka bukan keputusan yang mudah.
Apa salahnya aku mengambil kesempatan ini?
Chelsea menaikkan alis. Ujung-ujung bibirnya berkedut. Kemudian, sepasang tangan ramping itu melingkari leher Glen.
"Kau yang memulai. Aku hanya mengambil tawaranmu saja," bisik Chelsea.
"Tentu." Glen mengangguk. Cekatan dia menarik tungkai Chelsea agar melingkari pinggangnya. Kini, posisi mereka saling berhadapan. Glen mendongak dan mendesiskan kalimat paling syahdu di antara mereka berdua.
"Aku merindukanmu."
Dan bibir itu berpagut. Saling menari bersama. Mengisi satu sama lain. Lupa akan keberadaan sekitar.
Di luar hujan deras masih memukul-mukul mobil. Seolah memberi kesempatan dua insan itu untuk saling meluapkan cita yang lama tertahan.
Hampir satu jam kemudian, mobil Glen baru bergerak meninggalkan parkiran taman Tirtonadi. Kali ini lelaki itu yang menyetir. Chelsea duduk nyaman di kursi dengan wajah merona terpuaskan. Dirapikannya rambut yang berantakan akibat ulah tangan jahil Glen. Kemudian, pandangannya menyapu jalanan di luar.
Hujan sudah berhenti. Roda mobil menggilas aspal basah. Waktu hampir menunjukkan tengah malam. Pedestrian sepi kendaraan. Jalan raya lebar dan luas berganti menyempit saat Glen memasuki Arumdalu.
Kanan-kiri jalan yang dibatasi bangunan ruko dan rumah-rumah penduduk membuat Chelsea sangat sadar di mana lokasinya berada sekarang. Wilayah yang sangat jauh berbeda dibanding Melbourne.
Lelaki itu terus melajukan mobil, kembali berbelok ke kanan dan bertemu dengan fasad gedung tinggi warna krem dan cokelat tua. Glen memasuki gerbang bergaya tradisional dengan papan nama batu bertuliskan salah satu unit hunian mewah di kota Solo.
"Kukira kau akan membawaku ke rumahmu." Chelsea mengamati halaman parkir yang dihiasi tanaman-tanaman perdu terpangkas rapi.
"Aku tak punya rumah permanen di kota ini." Glen memarkir mobil di lokasi paling sudut. Tersembunyi oleh pagar tanaman setinggi dua meter yang membatasi pengguna jalan luar untuk melihat ke area parkir.
"Lalu ini?" Chelsea melambaikan tangan ke gedung bertingkat di hadapannya.
"Kondotel," jawab Glen datar. "Aku menginvestasikan uangku di properti seperti ini. Lebih menguntungkan dan sangat cepat berkembang. Generasi milenial sangat menyukai tinggal di tempat-tempat seperti ini."
"Termasuk dirimu?"
Glen menjawab dengan anggukan. Dia menggamit Chelsea agar mengikutinya turun. Mereka berjalan beriringan menuju teras gedung yang dihiasi kanopi dengan atap bermodel limasan modern. Kemudian, keduanya memasuki lobi yang bertabur cahaya kuning lembut.
Lelaki itu tidak menghentikan langkah di meja resepsionis. Seolah memberi pernyataan pada orang-orang yang masih berada di lobi, Glen menautkan jari-jemarinya ke jari-jemari Chelsea, menggandeng dalam gestur protektif ke arah lift, dan membawa gadis itu naik ke lantai sembilan belas tempat huniannya berada.
"Masuk saja." Glen membuka pintu kondotel.
"Kau sering membawa dia ke sini, ya?"
Pertanyaan itu terlambat muncul setelah apa yang mereka lakukan di mobil. Namun, Chelsea tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Empat tahun perpisahan seolah tak berbekas setelah pertemuan mereka malam ini.
Ada kecanggungan sangat kuat yang mendadak muncul. Glen sempat membeku beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Chelsea.
"Tidak, aku enggak pernah melakukannya." Glen menarik gadis itu masuk. "Baru kamu yang datang ke sini."
"Aku tidak percaya."
Glen terkekeh, "Percayalah."
"Kenapa?"
"Karena aku merindukanmu?"
Chelsea tergelak mendengar nada tanya di kalimat Glen. Dia menghempaskan badan ke sofa berlapis kain kanvas warna cokelat tua. Pandangannya terfokus ke lelaki yang tengah menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur kering, membuka kulkas, lalu mengambil dua kaleng minuman dingin.
"Kamu kedengeran enggak percaya sama aku," senyum Glen. Dia mengulurkan sekaleng soda yang diterima Chelsea penuh sukacita.
"Jelas tidak. Jika kau merindukanku, empat tahun ke belakang tentu ada upaya komunikasi darimu. Faktanya?"
Gadis itu mengedikkan bahu. Tak terlihat tanda-tanda sakit hati. Senyum Glen masih belum lepas dari wajah.
"Kamu emang enggak pernah basa-basi."
"Kuanggap itu pujian." Chelsea melirik lelaki yang duduk di sebelahnya. "Jadi, apa yang sedang kau rencanakan?"
"Aku akan membujukmu untuk membantuku lari dari perjodohan dengan Mita."
Alis Chelsea naik tinggi. "Dengan memintaku jadi pacar pura-puramu?"
Glen mengangguk mantap. "Bener banget. Cerdas kamu, Chel."
Gadis itu menandaskan isi minuman dan meremukkan kaleng. Mata hijau Chelsea menghunjam tajam ke arah Glen. Satu ujung bibir gadis itu tertarik ke belakang membentuk seringai mencemooh.
"Maaf saja. Aku menolak. Silakan kau cari perempuan lain yang bisa kau korbankan."
~O~