"Siapa?" Chelsea bertanya penasaran pada lelaki yang terlihat sibuk dengan ponselnya.
Tomi menggelengkan kepala. Dia menyimpan lagi ponsel ke saku. Satu tangannya menggeret koper, sementara tangan yang lain menggandeng Chelsea dalam posisi jari-jemari saling bertaut.
"Bukan siapa-siapa," jawab Tomi pendek.
Mereka sudah tiba di pintu keberangkatan domestik bandara Adi Soemarmo. Tomi dengan enggan melepas genggamannya di tangan hangat Chelsea. Lelaki itu menatap serius raut wajah cantik yang terpoles riasan tipis.
"Kamu beneran enggak bisa tinggal di sini lebih lama lagi?" Tomi masih berusaha membujuk.
Chelsea terkekeh sambil menggeleng. Diraihnya koper dari tangan Tomi.
"Tidak bisa. Aku sudah menjadwalkan kedatanganku di Australia. Temanku akan menjemput di Melbourne sesuai kesepakatan."
"Tapi kamu mempercepat liburanmu di sini." Tomi terlihat seperti anak kecil perajuk. Mulut lelaki itu mengerucut dengan gestur tubuh yang terlihat jelas tak mau berpisah dengan Chelsea.
"Karena aku sudah ingin pulang," kata Chelsea datar.
Dia tidak menjelaskan alasan kepulangannya yang sangat mendadak pada Tomi. Meski gadis itu curiga Tomi sudah meraba permasalahan yang terjadi, Chelsea memilih bungkam.
Dia bahkan tidak mencoba menghubungi Glen padahal mantan pacarnya itu beberapa kali mengirim pesan instan pasca dirinya kembali ke hotel.
Hanya setelah dirinya kembali ke hotel.
Chelsea tersenyum getir dalam hati. Sejak kemarin, Glen tidak memberi kabar apa pun. Lelaki itu seolah lenyap ditelan bumi. Sama seperti dulu. Trauma itu kembali muncul saat mengingat raibnya Glen yang begitu tiba-tiba.
Suara pemberitahuan untuk melakukan pelaporan penumpang terdengar lantang. Tomi dan Chelsea sama-sama menoleh ke sumber suara. Gadis itu tersenyum tipis.
"Nah, aku sudah harus berangkat. Sampai berjumpa di lain kesempatan, Tomi. Terima kasih sudah menemaniku selama di Indonesia." Gadis itu memberi pelukan erat ke lelaki jangkung di hadapannya.
"Jika waktu liburku tiba, aku akan berkunjung ke Melbourne," janji Tomi.
"Oh, jangan ke sana. Aku berencana pindah ke Queensland meski belum tahu daerah mana yang akan kutuju. Akan kukirim alamatnya nanti."
"Pekerjaanmu?" Tomi terlihat bingung.
"Aku akan membuka toko kueku sendiri." Chelsea memamerkan ekspresi bahagia. "Itu impianku selama beberapa tahun ini. Kebetulan tabunganku sudah cukup. Jadi, yah, apa lagi yang kutunggu?"
"Woah, selamat! Kenapa enggak bilang dari awal?" Tomi memeluk erat si bule yang sempat mengacaukan hatinya. "Jadi, liburan ke Indonesia ini adalah untuk perayaan masa transisi dari pegawai ke bos?"
Tawa renyah Chelsea terdengar. Gadis itu manggut-manggut mendengar perumpaan Tomi yang menarik. "Bisa dibilang seperti itu."
"Jaga diri baik-baik." Tomi mengusap lembut bahu Chelsea. "Aku akan berkunjung ke tokomu secepatnya. Mungkin saat low season."
Chelsea menggeleng-geleng geli. "Jangan terlalu memaksakan diri. Tapi aku akan menerima kehadiranmu dengan tangan terbuka."
"Dengan baju terbuka juga?" goda Tomi.
Gadis itu melayangkan cubitan kecil lengan Tomi yang dibalas gelak tawa maskulin.
"Oke, aku tak suka mengucapkan selamat tinggal. Tapi sepertinya ini adalah pertemuan terakhir kita sebagai partner in romance."
Chelsea menaikkan alis. "Oh, kau sudah rindu komitmen rupanya. Baiklah, ini terakhir kita. Selamat tinggal, Tomi."
Lelaki itu menatap kepergian Chelsea dengan perasaan masygul. Hingga bayangan sang gadis menghilang di balik portal besi dan dinding kaca, baru Tomi beranjak pergi.
Namun, tujuannya tidak pulang ke rumah. Lelaki itu melajukan kendaraan menuju kondotel tempat Mita sudah menunggu.
Menggeber gas kencang, Tomi melajukan SUV putihnya hingga mencapai kecepatan seratus kilometer per jam. Baru setelah keluar dari jalan Adi Sucipto, lelaki itu sedikit menurunkan kecepatan.
Halaman parkir kondotel relatif sepi. Tomi beruntung bisa memarkir mobil tepat di samping kendaraan Mita. Gadis itu bergegas menghampirinya begitu Tomi menjejakkan kaki di paving block.
"Mas, gimana, nih?" Wajah Mita terlihat kusut. "Chelsea udah berangkat?"
Tomi mengangguk. Desahan kecewa lolos dari bibir mungil Mita.
"Yah, kita terlambat, dong?"
"Dia transit empat belas jam di Jakarta sebelumganti pesawat ke Jepang. Tapi udah enggak ada penerbangan ke Jakarta hari ini. Pesawat Chelsea adalah jadwal terakhir. Enggak keburu kalau ngejar dia sekarang." Tomi menatap bangunan tinggi yang menjulang di hadapannya.
Dia berdiri di bawah salah satu gedung bertingkat tiga puluh enam yang merupakan unit hunian mewah dan prestisius di kota Surakarta. Harga sewa per unitnya termasuk tinggi dan sering jadi langganan investasi kaum menengah atas. Setelah mendengar cerita Mita tentang sosok tunangannya, Tomi sedikit banyak paham kualitas seorang Glen Sumitro.
"Jadi, dia dikurung di kondotelnya sendiri?" Tomi memvalidasi informasi yang diberikan Mita beberapa waktu lalu.
Gadis itu mengangguk. "Sepertinya Om Johan sangat mengharapkan pernikahan Glen denganku. Padahal aku sudah memberi tahu Bapak dan Ibuk kalau aku menolak pertunangan ini."
"Orang tuamu menerima?" Tomi penasaran.
"Awalnya tidak, tapi mereka akhirnya luluh setelah aku beri penjelasan. Usiaku masih muda, Mas. Aku masih ingin sekolah dan tak mau terkekang dalam rumah tangga.
Apalagi keluarga Sumitro termasuk keluarga yang otoriter. Bapak yang bilang sendiri. Jadi, yah, mereka legowo dengan keputusanku."
"Keluarga otoriter, ya?" Tomi menggamit lengan Mita agar mengikutinya berjalan masuk gedung.
"Iya. Nih, buktinya nyata sekarang. Glen dikurung dalam rumah, kan? Apa itu namanya kalau enggak arogan dan otoriter?"
Tomi tak merespons. Dia menggenggam tangan Mita dan berjalan mesra layaknya pasangan kekasih. "Lantai berapa tempat Glen ditahan?"
"Sembilan belas." Gadis itu menjawab gugup.
Pandangannya tak lepas dari tangan besar Tomi yang menangkup tangannya. Kehangatan menjalari hati Mita. Napas gadis itu sampai tersentak tajam saat merasakan tarikan kuat Tomi saat masuk lift.
"Tadi berapa orang katamu yang berjaga depan pintu?"
"Tiga." Konsentrasi Mita mulai pecah.
Jaraknya dengan Tomi sangat dekat. Mendadak Mita merasa kewalahan dan diterjang rasa gerah yang membuat pipi dan tubuhnya panas.
"Cuma tiga, ya? Bagus. Kita kalahkan mereka dan bawa Glen keluar."
Kesadaran Mita kembali dengan cepat. Dia mendongak dengan mulut terbuka lebar. "Mak--maksud Mas Tomi apa?"
"Kita serang mereka pake tinju." Lelaki itu berkata tegas. "Kita udah buat rencana untuk Glen dan Chelsea. Jangan sampai cuma gara-gara halangan tiga preman doang, rencana kita gagal."
Mita terbelalak. "Cuma? Mas bilang cuma? Aduh, Mas perlu lihat bodi mereka, deh. Gempal-gempal kayak diisi gas. Sedang Mas Tomi, kan …."
Gadis itu tak melanjutkan bicara. Sebagai gantinya, dia mengamati Tomi dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Yang diamati mendeceh kesal. "Jangan lihat orang dari penampilannya. Gini-gini juga aku pemegang sabuk hitam karate."
"Yang benar?" Mita mencemooh, jelas tak percaya dengan perkataan Tomi yang lebih mirip bualan ketimbang kenyataan.
"Nih, anak, dibilangin suka enggak percayaan," dengkus lelaki itu.
Saat pintu lift bergeser terbuka, Tomi menoleh ke arah gadis di sampingnya. Suaranya sangat serius.
"Kalau aku berhasil kalahkan mereka bertiga dan bawa Glen kabur, kamu mau kencan sama aku, enggak?"
~O~