Chereads / Takdirku Terjerat Cintamu / Chapter 17 - Lamaran di Antara Krim Kocok

Chapter 17 - Lamaran di Antara Krim Kocok

Chelsea bengong. Ini pasti akan jadi ekspresi terburuknya sepanjang minggu ke depan.

"Maaf? Siapa?" Chelsea ingin membersihkan telinga dan berharap pendengarannya salah besar.

"Pegawai baru kita. Kau sudah memasrahkan proses rekrutmen padaku dan Henry. Jadi, ...."

Diane mengedikkan dagu ke arah Glen yang tengah menyeringai lebar ke arahnya.

"Itu pegawai baru kita."

Diane yang mengulang pernyataannya membuat telinga Chelsea langsung gatal. Tabir mimpi buruk secara tiba-tiba terbentang turun. Dengan mata terbeliak ngeri, Chelsea menoleh ke arah Glen.

"Kenapa kau tidak mengatakan apa pun padaku?" tuntut Chelsea garang. Matanya berapi-api menatap Glen. "Seharusnya kau jujur padaku jika melamar lowongan kerja di sini."

"Nggak mau." Glen membalas dalam bahasa Indonesia. "Nanti pasti kamu tolak aku."

"Tentu saja!" Chelsea menjawab beringas.

"Nah, benar, kan?" Glen menoleh ke arah Diane. Sorot mata pria itu melembut. "Dia selalu bersikap seperti ini padaku." Kali ini Glen bicara dalam bahasa Inggris fasih.

"Kalian sudah saling kenal rupanya." Diane tersenyum penuh arti.

Chelsea membelalakkan mata. Tatapannya menyiratkan peringatan pada salah satu pegawainya itu. Namun, Chelsea hanya mendapat cekikikan dari Diane dan melihat wanita itu berjalan pergi keluar dapur.

Samar-samar terdengar suara Diane memberi ucapan selamat pada Glen sebelum hilang ditelan kesunyian. Chelsea butuh pengendalian diri ekstra besar agar tidak histeris dan mengusir Glen pergi.

"Jadi, apa kita baik-baik saja?"

Chelsea melempar lirikan tajam membunuh pada pria di hadapannya. Melengos kesal, wanita itu berderap pergi meninggalkan area dapur.

"Chels, mau ke mana?" Glen mengejar.

"Mandi." Wanita itu menaiki tangga ke lantai dua. Dia sengaja mengabaikan Glen yang masih membuntuti dirinya.

"Aku temani," putus pria itu seenaknya.

Langkah Chelsea langsung terhenti. Dia bersedekap, berbalik cepat, dan memelototi Glen.

"Jangan coba-coba melakukannya," desis Chelsea setengah merutuki rencana pria itu. "Aku tak mau terlibat apa pun denganmu."

"Sayangnya kamu sudah terlibat." Glen menggerak-gerakkan alis dengan ekspresi jahil.

"Glen." Helaan napas berat Chelsea terdengar. "Tolong, mengertilah kali ini saja. Aku tak ingin ada skandal di tempat kerjaku. Aku sedang ingin memulai hidup baru dan kau tak ada di dalamnya."

Jika Glen terluka dengan pernyataan lugas wanita itu, dia mampu menyembunyikannya dengan sangat baik. Senyum Glen tipis. Raut mukanya masih tenang. Namun, sudut-sudut bibir yang berkerut menandakan dia tidak baik-baik saja dengan keputusan mantan pacarnya.

"Aku pikir, kamu sudah terlambat merencanakan hal itu."

Chelsea terperangah. Benaknya bertanya-tanya apa tindakan hukum yang bakal diterimanya jika mencekik seorang warga negara asing sampai tewas kehabisan oksigen.

Sepertinya itu bakal membuatnya membusuk di penjara dalam waktu yang sangat lama. Chelsea tidak berencana menjadikan dirinya sukarelawan penghuni penjara hanya karena keusilan Glen.

Jadi, tindakan paling beradab yang mampu dilakukannya adalah mendengkus keras, balik badan, dan bergegas pergi ke kamar mandi. Seperti rencananya semula.

Namun, Chelsea melupakan fakta jika Glen seorang yang punya tekad sekuat baja. Ditambah kebiasaannya beberapa tahun ke belakang karena sudah merasa aman, wanita itu jadi teledor dengan tidak mengunci pintu kamar mandi. Kombinasi kecerobohan ditambah kenekatan Glen menghasilkan keduanya kembali terjebak dalam suasana super intim di dalam bilik kamar mandi.

"Glen!" Suara pekikan kaget terdengar saat Chelsea merasakan kehadiran pria itu di belakangnya.

"Sstt ..., jangan keras-keras. Kamu tak mau dua pegawai di bawah melihat kita sedang bercumbu, kan?"

Chelsea mendelik kesal. "Siapa yang bercumbu? Pergi! Aku ingin mandi. Kau gunakan saja kamar mandi di lantai bawah."

Chelsea mendorong pria itu pergi. Sayangnya kekuatan wanita itu kalah besar dibanding Glen. Sosok jangkung si pria bergeming di bawah guyuran air hangat pancuran.

"Glen," desis Chelsea mulai dihinggapi kepanikan alih-alih kekesalan.

"Kenapa?"

Dengan berani pria itu merapatkan tubuh ke arah Chelsea. Glen bisa merasakan kehangatan kulit selembut satin. Meski tersiram air, halusnya Chelsea terasa kuat di jari-jari tangannya.

"Jangan coba-coba." Chelsea tercekik saat merasakan sapuan hangat di tempat yang familier.

"Tapi kamu suka."

"Glen, please." Kali ini Chelsea memohon sungguh-sungguh. "Aku tak ingin merusak jadwalku. Hidupku sudah teratur. Aku ... aku ingin melupakanmu."

Bahkan saat mengucapkan kalimat itu, Chelsea tahu tengah melakukan satu dusta besar. Sampai kapan pun dia tidak akan pernah bisa melupakan Glen.

Pria itu sudah berjasa sangat besar padanya. Glen telah menyelamatkan nyawanya. Glen pula alasan Chelsea masih bertahan di dunia ini alih-alih terus terbang ke alam fana.

"Kamu bohong."

Chelsea tertegun. Perlahan dia mendongakkan kepala. Glen sudah mematikan pancuran. Tidak ada titik-titik air yang memukul-mukul wajah dan kepala mereka berdua.

"Aku tahu, kok. Kamu tak bakal bisa lupakan aku." Ujung ibu jari dan telunjuk Glen menjepit dagu Chelsea, dengan lembit memaksa wanita itu menatap terus ke arahnya.

"Aku tahu dirimu, Chels. Tahu luar dalam dirimu."

"Perayu gombal." Wanita itu mulai kewalahan dengan kedekatan mereka.

"Nggak juga." Satu tangan Glen dengan cepat mengusap dan memberi tekanan pada bagian belakang tubuh wanitanya. "Lihat? Kamu bereaksi seperti yang aku harapkan. Karena aku tahu bagian-bagian sensitif dirimu."

"Glen, menjauhlah." Chelsea berusaha mendorong tubuh pria jangkung itu pergi.

"Nggak mau." Glen bersikeras.

"Kau sudah milik Mita. Pergilah." Chelsea terus mendorong.

"Sudah aku bilang, Mita nggak ada hubungan lagi sama aku. Sekarang aku bebas, Chels."

"Bilang seperti itu di hadapan orang tuamu," sentak Chelsea keras.

Terjadi jeda lama di antara mereka. Kebisuan yang memekakkan membuat batin dua orang itu berkecamuk. Glen masih memegang Chelsea. Namun, wanita itu sudah menyerah mengusir prianya pergi.

"Aku nggak bakal kehilangan kamu lagi." Suara bernada berat dan dalam akhirnya memecah keheningan di antara mereka.

"Aku tak mau terlibat dalam perseteruan antara dirimu dan ayahmu," tolak Chelsea ketus.

"Harus." Glen masih keras kepala. "Kamu satu-satunya senjataku untuk keluar dari masalah pelik ini."

Chelsea memutar bola mata. Tangannya memutar keran pancuran. Air hangat kembali mengaliri tubuh dua orang itu.

Kali ini Chelsea memutuskan menganggap Glen tidak ada. Dia butuh secepatnya pergi ke dapur. Glen bisa ditunda, tetapi pekerjaan tidak bisa menunggu.

Selama sesi mandi kilat berdurasi lima menit itu, Chelsea harus berjibaku dengan berbagai sentuhan seduktif Glen. Dia tahu persis tujuan pria itu apa. Namun, Chelsea sudah bertekad. Sekeras Glen mencoba, sekuat itu pula Chelsea akan bertahan.

Saat akhirnya bisa turun ke kafe, Chelsea masih harus merelakan diri jadi santapan rasa penasaran Diane dan Henry. Dua pegawainya itu seolah tengah mengulitinya hidup-hidup dengan tatapan mereka.

Dan di bawah pandangan ingin tahu Diane dan Henry, sang pemilik Cacaote menyibukkan diri dengan menghias pavlova yang sudah disiapkannya di lemari pendingin. Chelsea mengabaikan dua pegawainya. Sepertinya wanita itu berhak diganjar piala penghargaan untuk kemampuannya dalam bersikap cuek.

Tangan Chelsea dengan cekatan mengoleskan krim kocok buatan sendiri di atas meringue bersalju. Cekatan Chelsea membentuk krim putih itu menyerupai kelopak bunga yang tengah menguncup. Satu sentuhan akhir diberikannya dengan meletakkan potongan buah beri kalengan di puncak kue dan menyimpannya kembali dalam lemari pendingin.

Masih ada sebelas pavlova lagi yang harus digarap. Chelsea mengembuskan napas panjang. Dia meraih mangkok krim kocok dan mulai memainkan spatula oles. Namun, pergelangan tangan yang dipegang dengan lembut membuat Chelsea harus menghentikan pekerjaannya.

"Apa lagi?" tanya Chelsea dingin.

Glen menatap wajah bos barunya lekat-lekat. Suara pria itu bersungguh-sungguh.

"Aku serius dengan perkataanku tadi, Chels."

Chelsea mengibaskan lembut cekalan Glen. Dia kembali berkonsentrasi pada hidangan pencuci mulut khas Australia itu.

"Bantu aku, Chels."

Wanita itu masih bergeming.

"Tolong, jadilah istriku."