Chereads / Takdirku Terjerat Cintamu / Chapter 7 - Bertepuk Sebelah Tangan

Chapter 7 - Bertepuk Sebelah Tangan

Glen melongo. "Cepet bener jawabnya?"

Chelsea berdiri. Dia meregangkan badan. Sensasi nyaman saat tubuh ditarik lembut membuat gadis itu gembira. Pandangannya lantas terarah ke televisi berteknologi OLED[1] empat puluh inci yang tertanam di tembok ruang duduk.

"Aku justru berpikir satu hal menarik." Chelsea masih menyeringai. Dia menikmati bagaimana dahi Glen berkerut dalam. Saat lelaki itu tak terlihat menampakkan tanda-tanda bicara, Chelsea meneruskan ucapan.

"Bagaimana jika aku berada di pihak tunanganmu?"

"Apa?" Glen bertanya dalam nada tak suka.

Chelsea mengedikkan bahu. Matanya berbinar-binar, lengkap dengan senyum lebar tercetak di wajah.

"Yah, aku akan pergi ke tempat tunanganmu. Siapa tadi namanya? Mita? Yah, itu dia. Kemudian, aku akan memberikan dukungan penuhku padanya agar kalian bisa menjadi suami dan istri yang—"

"Jangan coba-coba kamu lakuin itu." Glen berdiri sangat cepat dan tak mampu diprediksi Chelsea. Tangannya membungkam mulut manis yang tengah melontarkan ide konyol. "Sudah kubilang, aku enggak mau dan enggak bakal nikah sama Mita."

Chelsea melepas bekapan tangan Glen. Suaranya lembut tanpa nada menuduh sama sekali. "Apa itu karena kau masih cinta dia?"

~O~

Chelsea tidak menunggu Glen. Dia langsung kembali ke hotel saat lelaki itu terus membisu tanpa menjawab. Diantar petugas kondotel, gadis itu bermobil melewati pedestrian Surakarta di jam dua dini hari.

Food Factory, Griya Rempah, Soto Rempah Solo telah dilaju dalam kecepatan normal. Mobil MPV warna perak keluaran pabrikan asal Jepang itu mulai berbelok ke kiri memasuki Jalan Slamet Riyadi, lantas berbelok ke kiri lagi dan berhenti di depan lobi hotel legendaris Surakarta.

"Terima kasih." Chelsea menyempatkan berucap salam sebelum turun mobil.

Tubuhnya penat. Pikirannya pun lelah. Bahkan aroma segar dini hari yang baru tersiram hujan tidak mampu menenangkan kegelisahan Chelsea. Satu-satunya hal yang diinginkan gadis itu hanya segera menyusup ke balik selimut tebal dan meringkuk nyaman seperti bayi.

Namun, harapannya jauh panggang dari api. Begitu memasuki lift, sosok berkulit kuning bersih dengan postur tinggi mengejarnya sangat cepat. Tomi terengah-engah setelah berhasil menangkap Chelsea dalam lift.

"Ke mana saja kamu?" tanya Tomi tak sabar.

Chelsea menaikkan alis. "Jalan-jalan," jawabnya pendek. Dia enggan menceritakan pertemuannya dengan sang mantan kekasih yang sangat menguras emosi.

"Aku menunggumu." Tomi meraih pinggang Chelsea.

Gadis itu sedikit tersentak kaget. Apalagi saat Tomi mengistirahatkan kepala di lekukan leher dan bahu Chelsea.

"Aku lelah sekali," gumam Tomi. "Hari ini terjadi drama di hotel. Acara pertunangan tamu penting kacau balau."

Chelsea membeku. Jantungnya serasa berhenti berdenyut. Harap-harap cemas dia menunggu pintu lift segera terbuka.

"Kacau ... kacau bagaimana?" tanya Chelsea lirih.

"Tunangan prianya kabur." Tomi mengangkat kepala. "Katanya kabur dengan kekasihnya. Gila, itu orang berani sekali? Dia sudah punya pacar, tapi bertunangan dengan wanita lain."

Chelsea menelan ludah. Lidahnya menjilat bibir yang terasa kering. "Apa orang-orang tahu siapa pacar si tunangan pria itu?"

Tomi mengangkat bahu. "Aku tidak terlalu mendengarkan gosip. Front office yang lebih tahu. Saat gosip itu sampai di dapur, kami sudah kelelahan parah mengerjakan makanan hingga tak sempat menggunjing lebih jauh."

Yang ditunggu-tunggu Chelsea tiba juga. Pintu baja itu akhirnya bergerak terbuka. Buru-buru dia melangkah keluar, tetapi Tomi yang mendadak membopongnya tak urung membuat gadis itu terpekik.

"Tomi, turunkan aku." Chelsea merangkul leher kukuh lelaki itu erat-erat.

"Tak ada yang lihat. Biarkan seperti ini sebentar saja." Lelaki itu menghidu puncak kepala Chelsea. "Wangimu enak."

"Aku keramas sore tadi," kata Chelsea. "Bisa kau turunkan aku? Aku harus buka pintu kamar."

"Buka saja dari sini."

Chelsea menghela napas keras. Dirogohnya saku celana dan mengeluarkan dompet lipat. Gerakannya sedikit sulit karena berada di bopongan Tomi. Diam-diam gadis itu memuji kekuatan fisik lelaki ini. Mengeluh kelelahan karena sibuk memasak di dapur hotel, tetapi masih mampu mengangkatnya tanpa terlihat lelah.

Saat berhasil membuka pintu kamar, Tomi berderap cepat masuk. Kakinya menendang daun pintu hingga berdebam menutup. Kemudian, membawa Chelsea ke tempat tidur. Tanpa kesulitan berarti, lelaki itu berhasil melucuti atasan si gadis dan menyisakan celana panjang saja.

Namun, pergerakannya yang hendak mencumbu Chelsea terhenti. Dia membungkuk dalam gestur aneh setelah mendengar pengumuman kecil yang diucapkan gadis itu.

"Besok aku akan pulang ke Australia."

Tomi mengerjap bingung. "Maaf?"

Perlahan Chelsea mendorong tubuh berotot Tomi, menyingkirkan lelaki itu dari atasnya. Tanpa rikuh dia duduk dengan bagian atas tubuh terekspos bebas. Sepasang dada berisinya tergantung menggoda. Tatapan berkabut Tomi tidak luput dari perhatian gadis itu, tetapi ada hal lebih penting lain yang harus dikatakannya.

"Aku mempercepat liburanku di Indonesia." Chelsea berkata lambat-lambat. "Seharusnya setelah Surakarta, aku ingin berkeliling Pulau Jawa beberapa lama. Tapi ada komplikasi pada rencanaku."

Tomi beringsut tidak nyaman di tepi tempat tidur. Seprai putih sedikit terseret karena pergerakannya. Dia lelah dan yang diinginkannya hanya tidur bersama Chelsea.

"Komplikasi apa?" Lelaki itu bertanya setengah melamun. Fokusnya terpecah ke dua hal dengan separuh lebih konsentrasi tertuju ke tubuh molek Chelsea yang berjarak semeter darinya.

"Aku tak bisa menjelaskan."

"Apa?" Tomi kembali kebingungan.

"Aku tak bisa memberitahumu komplikasi macam apa yang kualami." Chelsea mengulang penjelasan. "Yang jelas, besok aku ingin segera kembali ke Australia. Kuharap ada tiket tersisa untukku. Ini memang sangat mendadak."

"Ya, ini sangat mendadak." Tomi mengangguk setuju. "Bagaimana ... bagaimana dengan kita?" Lelaki itu melontarkan pertanyaan.

"Kita?" Alis Chelsea terangkat tinggi. "Ada apa dengan kita?"

Kesadaran menghantam kepala Tomi. Mata lelaki itu terbeliak lebar. "Tidak pernah ada kita?"

Lagi-lagi sepasang alis melengkung sempurna bak bulan sabit itu terangkat tinggi. Kali ini ekspresi kebingungan beralih ke pemilik wajah putih itu. "Kau tak menganggap hubungan kita beberapa hari ini sebagai sesuatu yang serius, kan?"

Tomi tersentak. Tangannya mengusap-usap tengkuk. Kikuk. Sekali lagi kesadaran meliputi diri. Perkenalan mereka masih sangat singkat untuk mengikat sebuah komitmen. Menilik sikap acuh tak acuh yang diberikan Chelsea, lelaki itu yakin dirinya hanya berfungsi sebagai teman tidur gadis bule itu saja. Tidak lebih tidak kurang.

Tenggorokan Tomi tersekat. Untuk alasan yang asing dan aneh, dia merasa tidak senang dengan ketidak sepemahaman Chelsea akan interaksi mereka beberapa hari ini. Namun, lelaki itu tidak berkata apa pun. Dia hanya mendekati Chelsea lagi dan berbisik lembut di telinga gadis itu.

Sebuah rayuan kuno yang disenangi tiap kaum hawa. Tomi sangat paham hal tersebut. Bisikan demi bisikan terlontar membujuk pertahanan Chelsea. Perlahan-lahan senyum di wajah gadis itu terbit. Hingga, dia terbuai dan bersedia bergabung dengan Tomi dalam gerakan paling primitif sedunia.

Hingga matahari benar-benar memamerkan sinarnya ke penjuru kota Surakarta, baru Chelsea terbangun. Proses perenungannya setelah berdiam diri di kamar mandi menghasilkan satu pemikiran menjengkelkan, setidaknya bagi gadis berdarah Australia itu.

Membuat rencana adalah hal paling mudah dilakukan dibanding mengeksekusi. Itu diakui Chelsea yang sering bersinggungan dengan berbagai ide dan program. Bekas pekerjaannya dulu sebagai seorang chef pastri membutuhkan tingkat kedisiplinan tinggi dalam menjalankan satu rencana. Tetap saja ada beberapa variabel pengganggu yang tak bisa ditolak dan mengancam kegagalan agenda.

Seperti pagi itu misalnya. Gadis dengan kecantikan khas kaukasoid itu baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya berbalut kimono handuk. Rambut Chelsea masih basah dengan beberapa air menetes. Ekor matanya melirik Tomi yang masih pulas di ranjang. Tubuh ramping berotot itu telanjang hingga batas pinggang.

Chelsea tersenyum tipis mengingat percintaan panas mereka semalam. Sayang, benak gadis itu terdistraksi dengan membandingkan kehebatan antara Tomi dan Glen.

"Astaga, sadarlah, Chelsea!" Gadis itu menampar lembut pipi sendiri.

Meski begitu, rona merah muncul di pipi. Dia sudah mendapat jawaban untuk perbandingan itu dan jadi tersipu.

Lamunan Chelsea buyar saat mendengar ketukan keras di pintu kamar hotel. Refleks matanya mengerling jam dinding. Sembilan pagi.

Dalam langkah panjang, tetapi santai, Chelsea berjalan membuka pintu. Tak ada ekspektasi apa pun tentang identitas tamunya meski sebersit rasa penasaran muncul akan siapa yang datang sepagi ini.

Saat itulah Chelsea tahu, variabel yang berpotensi merusak rencananya telah muncul. Bola matanya melebar setelah daun pintu bercat putih bersih itu terkuak. Kepalanya meneleng, terheran-heran dengan sosok yang berdiri tepat di hadapannya. Nada suaranya terdengar bingung saat melontarkan pertanyaan.

"Kenapa kau di sini?"

~O~

[1] OLED (Organic Light Emitting Diode) adalah jenis televisi yang memiliki kelebihan mampu memberikan tampilan warna dan cahaya yang lebih nyaman untuk mata. Teknologi yang dimiliki juga memungkinkan konsumsi daya listrik menjadi lebih ringan.