Chereads / Takdirku Terjerat Cintamu / Chapter 10 - Rencana Pulang Kampung

Chapter 10 - Rencana Pulang Kampung

Saat Tomi kembali ke kamar hotel Chelsea, dia dikagetkan dengan aktivitas gadis itu yang tengah sibuk mengemas pakaian ke dalam koper.

"Kamu beneran jadi pulang?"

"Ya, besok pagi. Aku tak bisa mendapatkan tiket hari ini." Chelsea menggulung kaus dan menyelipkannya ke rongga kosong di tepian koper.

"Enggak bisa dibujuk buat tinggal?" Tomi duduk di sofa tunggal dekat jendela. Situasi saat ini memaksanya untuk membuat jarak dengan gadis itu.

"Tidak. Masa liburanku sudah usai."

Di benak Chelsea sudah tersusun rapi agenda yang akan dilakukannya di Negeri Kanguru akibat perubahan jadwal dadakan.

Beberapa di antaranya adalah mengurus perpindahan dari Melbourne ke Queensland, mencari ruko untuk ditinggali, dan mendekorasi toko. Waktunya akan sangat sibuk setelah pulang ke Australia.

"Kau tak sedang mencoba kabur, kan?"

Aktivitas Chelsea terhenti. Matanya menyipit tak suka. "Maaf? Kabur dari siapa?"

"Mita udah cerita semuanya ke aku." Tomi menangkupkan tangan di depan mulut. Mata gelapnya mengamati Chelsea.

"Jujur aja, aku enggak nyangka kalau kamu adalah mantan Glen. Dia emang tangkapan bagus, sih. Tapi kalau trikmu seperti ini, bakalan sulit kamu dapetin restu ortu cowok itu."

"Kamu bicara apa, sih?" Chelsea tak sadar menjejalkan segulung kaus kaki di antara deretan kaus. Saat tersadar kecerobohannya, buru-buru dia mengembalikan kaus kaki ke tempat seharusnya.

"Mita itu punya bibit, bebet, bobot yang bagus. Sulit ditandingi bahkan oleh kami, orang asli Solo sendiri.

Dia masih keluarga sama Kasunanan Surakarta. Bapaknya darah biru, politikus terkenal pula. Pantes aja ortu Glen mati-matian ngejar Mita buat jadi calon mantu." Tomi menjelaskan tanpa diminta.

"Apa hubungannya denganku?" Chelsea sewot. "Aku tak ada niatan menikah dengan Glen."

"Yakin?" Alis Tomi terangkat dalam gestur menggoda. Seringai lelaki itu muncul.

"Kok, kelihatannya kamu lebih mirip pacar yang cemburu dan patah hati, sih? Terus buru-buru pulang kampung karena enggak kuat lihat mantan nikah sama cewek lain."

Chelsea melotot garang. Dilemparnya bantal yang ditangkap Tomi dengan tangkas.

"Bisa jaga mulut? Aku tak punya rencana menikah dalam waktu dekat. Aku juga tak memiliki keinginan untuk menjalin komitmen dengan siapa pun."

"Ah, kalau yang terakhir itu, aku percaya." Tomi bangkit.

Dia berjalan lambat-lambat menghampiri Chelsea. Mata gelapnya menghunjam tajam ke gadis yang sudah membuat hatinya kacau beberapa hari ke belakang. Disentuhnya pergelangan ramping yang tengah sibuk memasukkan baju dalam koper.

"Aku bahkan tak bisa membuatmu mengubah pikiran. Komitmen sepertinya jadi hal sulit buatmu," Tomi berkata pelan.

"Sudah kubilang, aku ke Indonesia untuk berlibur. Bukan untuk menjalin hubungan asmara." Chelsea menepis halus sentuhan Tomi.

"Ya, aku bisa lihat itu," angguk Tomi. Embusan napasnya keras dan berat. Dia kembali duduk di sofa dan memperhatikan kesibukan Chelsea.

"Besok jam berapa berangkat?"

"Pukul empat sore." Chelsea menghela napas. Mendadak dia diserang rasa lelah luar biasa. Gadis itu menghempaskan diri ke tempat tidur. Pandangannya nyalang menatap pemandangan di luar jendela hotel.

"Susah mencari tiket dadakan di musim liburan seperti sekarang. Aku harus berganti tiga pesawat agar bisa pulang ke negaraku."

Tomi mengangkat alis bingung. "Maksudnya?"

Telunjuk Chelsea terangkat. "Besok dari bandara Solo, aku harus pergi ke Jakarta dulu lalu ke Haneda, Tokyo. Dari sana aku baru dapat terbang ke Sidney dan bersambung ke Melbourne."

"Woah!" Tomi terbelalak. "Berapa estimasi waktumu?"

"Empat puluh dua jam." Chelsea mengeluh keras.

"Bayangkan saja. Besok aku masih harus menunggu empat belas jam di Jakarta sebelum pesawat terbang ke Tokyo. Benar-benar hari yang melelahkan dan sangat panjang."

"Lama transit di Jakarta, ya?" Ujung jemari Tomi mengetuk sandaran sofa. "Besok kuantar ke bandara. Enggak boleh nolak. Hitung-hitung sebagai salam perpisahan dan ucapan terima kasih karena udah kasih waktu indah sejak dari Bali."

Ujung-ujung bibir Chelsea tertarik ke belakang membentuk senyum lebar. "Tentu. Kalau begitu, apa aku juga perlu memberikan percintaan terakhir?"

"Jika kamu enggak keberatan," seringai Tomi.

~O~

"Aku enggak tahu ngapain jadi terlibat urusan mereka."

Mita mendesah sangat keras. Dirapikannya rok selutut dan kemeja pas badan yang dikenakannya. Kaki berlapis sepatu kets putih itu memasuki lift yang akan membawanya ke lantai sembilan belas gedung kondotel.

"Aku kan, masih tunangannya. Terus ngapain aku malah ngikut instruksi Mas Tomi, coba?" Gadis itu menggerutu panjang pendek.

Diliriknya arloji. Masih cukup banyak waktu untuk melaju ke bandara Adi Soemarmo.

Saat pintu baja bergerak membuka, Mita tertegun. Hanya ada empat unit kondotel di lantai ini. Yang langsung menarik perhatian gadis itu adalah fakta terdapat tiga orang berpostur tinggi, besar, dan gempal berdiri siaga di depan salah satu pintu.

Salah satu pintu yang notabene merupakan unit hunian Glen.

"Sialan, Mas Tomi enggak ngasih tahu ada gangguan macam ini." Mita menelan ludah.

Langkahnya mantap dan tegas menuju ke arah pengawal pribadi itu. Otak cerdasnya berhasil mengolah informasi dengan sangat cepat. Kehadiran centeng-centeng elite itu pasti ada hubungannya dengan aksi kabur Glen di malam pertunangan mereka.

Jantung gadis itu berdebar kencang. Ragu-ragu apakah rencananya kali ini akan berhasil atau tidak.

"Apa aku bisa bertemu Glen?" tanya Mita dingin. Kehadiran sosok-sosok mengintimidasi itu membuatnya enggan bersikap sopan.

"Maaf, Nona. Tuan Glen sedang tidak bisa ditemui."

Mita mengernyitkan dahi. "Kalian enggak tahu siapa aku?"

Tiga orang itu masih bergeming. Mita menghela napas kesal.

"Aku tunangan Glen. Paramita Anggun Dipokusumo. Minggir, kalian! Aku perlu ketemu tunanganku." Mita merangsek maju.

Namun, tubuh rata-ratanya segera ditahan oleh salah satu pengawal. Sangat mudah pria itu mendorongnya mundur hingga Mita terhuyung dan nyaris jatuh.

Gadis itu membelalak. Suaranya mendesis marah dengan perlakuan si centeng.

"Kalian benar-benar kelewatan." Telunjuknya menuding si centeng. "Berani sekali menahan putri Dipokusumo? Akan kulaporkan ke Om Johan dan kalian bakal dipecat!"

"Maaf, Nona. Perintah langsung kami dari Tuan Sumitro untuk melarang Tuan Glen bertemu siapa pun."

"Karena apa?" tanya Mita gusar. "Bahkan bertemu tunangannya sendiri juga tak bisa?" Gadis itu meradang.

"Anda bisa menelepon langsung Tuan Sumitro untuk meminta izin bertemu Tuan Glen."

Mita melotot galak. Dengan cepat dikeluarkannya ponsel dari saku rok. Setengah ganas dia mengusap layar gawai dan menelepon calon ayah mertuanya.

Sampai nada panggil berhenti, teleponnya tak juga diangkat. Mita mengulangi lagi proses itu untuk kedua kali dan masih nihil. Johan Sumitro masih menolak panggilannya.

"Kalian benar-benar akan dipecat dari pekerjaan ini," gerutu Mita.

Dia mengentakkan kaki gusar. Tanpa permisi, Mita berlalu pergi meninggalkan unit kondotel Glen. Langkahnya panjang-panjang ke arah lift. Dia masih menyempatkan melihat arloji dan tersentak kaget.

Gadis itu merasa tak terlalu lama menghabiskan waktu bersama pengawal-pengawal Glen. Namun, ternyata jam bergulir sangat cepat. Sudah hampir mendekati jadwal keberangkatan Tomi dan Chelsea ke bandara.

Merasa kesal karena penundaan waktu yang tak penting, gadis itu buru-buru menelepon Glen. Sinyal yang sedikit terganggu dalam lift memantik kejengkelan Mita. Begitu berada di lobi, dia segera melakukan panggilan ulang dan terperangah kaget.

Nomor ponsel Glen tidak aktif.

"Yang benar saja? Masak Om Johan juga mutus akses komunikasi Glen, sih?" Gadis itu geleng-geleng kepala.

Kali ini, sambil berjalan ke parkiran, Mita melakukan panggilan ke nomor Tomi. Hanya butuh beberapa detik hingga lelaki itu mengangkat teleponnya. Tanpa basa-basi, Mita mengeluh pada Tomi.

"Mas, darurat, nih. Glen dikurung di kondotelnya. Dia enggak bisa ke bandara. Gimana, dong?"

~O~