Chereads / Raissa / Chapter 67 - Jebakan Maut

Chapter 67 - Jebakan Maut

Briptu Agus dan Bripda Anton keluar dari mobil didepan sebuah rumah dipinggir sebuah kebun rambutan yang luas dan tidak terurus. "Mungkin rumah ini diperuntukan untuk penjaga kebunnya tetapi akhirnya disewakan pada orang lain? suasananya kondusif sih buat buronan." ucap Bripda Anton sambil melihat sekeliling. "Masa rumah penjaga kebun sampai dua tingkat. Rumah ini seperti sudah lama tidak terurus. Kebunnya juga!" kata Briptu Agus. "Menurutmu si topi biru bakalan punya waktu mengurus kebun dan rumah? kerjaannya sibuk mengintai para korbannya." kata Bripda Anton berusaha bercanda. "Tapi ini jauh sekali dari wilayahnya menyerang korban. Kita berada di daerah Banten sekarang Ton. Apa dia kabur kemari? tapi tidak ada laporan serangan di daerah ini." kata Briptu Agus sambil memimpin Bripda Anton mendekati pagar rumah tersebut. "Mungkin juga bukan si topi biru, tapi kita harus menyelidikinya." jawab Bripda Anton. "Tentu saja, pintu pagarnya di gembok, berikan kuncinya!" kata Briptu Agus, Bripda Anton segera menyerahkannya. Briptu Agus segera membuka kuncinya dan memasuki pekarangan yang lumayan luas. Pintu depan yang terkunci juga berhasil dibukanya setelah mencoba beberapa kali dari rentengan kunci yang dipegangnya. Mereka memasuki sebuah ruangan yang agak gelap karena semua jendelanya tertutup, Briptu Agus mencoba menyalakan lampu, tetapi ternyata listriknya tidak ada, akhirnya ia membuka tirai jendela agar bisa melihat dengan lebih jelas. "Rumah ini cukup bersih didalamnya. ayo kita periksa, kau mau lantai bawah atau atas?" tanya Briptu Agus. "Aku ke atas saja." kata Bripda Anton lalu berjalan ke arah tangga. "Baik, hati-hati!" kata Briptu Agus sambil melihat ke sekeliling. Ruangan ini panjang dan berfungsi sebagai ruang tamu dan ruang makan di sebelah kirinya ada dua kamar tidur,sedangkan sebelah kanan ada tangga, toilet yang diketahui Briptu Agus dari stiker yang bertuliskan WC di pintunya dan sebuah ruangan tak berpintu yang sepertinya berfungsi sebagai dapur. Briptu Agus memutuskan untuk memeriksa kamar yang dibelakang dahulu. Benar saja, begitu ia masuk, terpampang sebuah peta besar yang ditempelkan di sebuah papan tulis berwarna hitam, dan foto Raissa tersebar di beberapa titik. Dibawah papan tersebut terdapat tas yang berisi senjata dan amunisinya. Tak terlihat satupun pisau yang biasanya menjadi senjata yang sering di gunakan si topi biru, Briptu Agus mengerutkan kening. Ia meneruskan melihat -lihat, Hoodie hitam tergantung di belakang pintu, beserta sebuah topi biru. Tetapi topi ini modelnya seperti topi pemancing, bukan topi baseball yang biasa dipakai si topi biru. "Rumah siapakah ini? mengapa banyak foto Raissa terpampang di papan? jangan-jangan ini adalah..." gumam Briptu Agus sambil memperhatikan peta yang dipenuhi dengan gambar Raissa. Belum sempat Briptu Agus menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Bripda Anton berteriak dari lantai dua, ia terdengar berlari ke arah tangga tetapi Briptu Anton tidak jelas apa yang diteriakkan Bripda Anton. "BOMMMM!!!! LARIIIII!!" teriak Bripda Anton kedua kalinya, dan belum sempat Bripda Anton mencapai tangga, belum sempat Briptu Agus memahami apa yang didengarnya, Bom yang ternyata dipasang dengan pengendali waktu itu meledak.

"DHUAAAARRRRRRRRRRR!!!!!!!"

Bripda Anton terlempar dari tangga lantai dua ke lantai satu, Briptu Agus melihat rekannya jatuh tetapi tidak dapat menghampiri karena saat itu langit-langit diatasnya runtuh dan langsung menimpa tubuhnya. Briptu Agus segera kehilangan kesadarannya.

Sementara itu, Shinta sedang berada di ruang praktik dokter kandungan, sang dokter sedang asyik menggerakkan alat USG di perut bawah Briptu Shinta. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. "Wah, dari kantor sepertinya." kata Briptu Shinta. "Silahkan boleh diangkat, saya sudah selesai kok, sebentar saya print dulu ya.. suster tolong bantu Ibu Shinta berpakaian, setelah itu kirim videonya ke ponsel Bu Shinta ya ." kata dokter tersebut. Perawat yang bertugas langsung membantu Briptu Shinta dan mengerjakan apa yang ditugaskan dokter. Telepon terus berdering. Setelah berpakaian, Briptu Shinta menjawab ponselnya. "Ya, ya.. saya baru selesai USG, ada apa ya?" tanya Briptu Shinta. Diseberang sana Agustine bertanya dengan gusar. "Briptu Agus? eh kami sedang tidak bersama karena saya harus ke dokter,.. ia saat ini bersama Bripda Anton menyelidiki petunjuk kasus.. Apaaa?!?!?! baiklah..baiklah.. tenang dulu!! Akan segera kucari tahu!!" lalu Briptu Shinta menutup ponselnya. "Wah maaf dok, saya harus segera pergi. Terimakasih atas bantuannya ya.. Oya anak saya laki-laki atau perempuan dok?" tanya Briptu Shinta dan setelah mendapat jawabannya ia pun langsung pergi dari ruangan itu dengan ponsel menempel di telinganya. Ia berusaha menelpon Briptu Agus maupun Bripda Anton, tetapi kedua ponsel mereka tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Briptu Shinta menekan-nekan ponsel dengan frustasi berusaha melakukan panggilan pada rekan kerjanya itu. Sudah lama Briptu Shinta belajar mempercayai intuisi Agustine. Jadi ketika Agustine berkata Briptu Agus dalam bahaya, ia seratus persen yakin telah terjadi sesuatu. Briptu Shinta menelepon petugas piket pengaduan masyarakat. " Cari tahu alamat yang diberikan seorang ibu kepada Bripda Anton!! kirim polisi terdekat ke lokasi!! cepatt!! telah terjadi sesuatu disana!!" kata Briptu Shinta. Briptu Shinta kembali mencoba menghubungi rekannya dengan sia-sia. Lima menit kemudian ponsel Briptu Shinta berdering kembali. Briptu Shinta langsung mengangkatnya. "Bagaimana?" tanyanya singkat. "Ada laporan ledakan yang berasal dari alamat yang diberikan pada Bripda Anton, saat ini rumah dalam keadaan rubuh dan sebagian terbakar. Polisi terdekat dan petugas damkar sedang mengarah kesana." Lapor seorang petugas polisi. "Apa? Bagaimana kondisi Briptu Agus dan Bripda Anton?Berikan alamatnya padaku" tanya Briptu Shinta. "Belum diketahui, didepan rumah terparkir mobil Briptu Agus, tetapi dalam keadaan kosong. Alamat sudah saya kirimkan ke ponsel Briptu Shinta." kata polisi tersebut. "Mereka pasti ada di dalam rumah! Selamatkan mereka!!" perintah Briptu Shinta. "Siap, laksanakan." lalu sambungan telepon terputus. Briptu Shinta segera memasuki mobilnya dan melaju ke arah alamat yang diberikan petugas polisi tersebut. Ketika sampai di lampu merah, Ia mengirimkan pesan ke ponsel Soni, untuk mengabari Agustine. Briptu Shinta juga bersikeras agar mereka menunggu kabar selanjutnya dari dirinya dan jangan sekali-kali mengikutinya ke alamat yang dituju. Tunggu sampai Briptu Shinta mengabarkan dibawa ke RS mana Briptu Agus. Setelah itu Briptu Shinta berkonsentrasi dengan jalanan. Hari sudah sore dan sudah jam pulang kantor, tetapi Briptu Shinta memakai mobil dinas polisi yang memiliki sirine, dengan menggunakan sirine kemacetan Jakarta seolah tidak berarti baginya. Tak lama kemudian ia sampai di alamat rumah kontrakan tersebut. Api sudah berhasil dipadamkan, tetapi rumah tersebut runtuh dan saat ini mereka sedang mencari keberadaan Briptu Agus dan Bripda Anton di balik puing puing. Briptu Shinta mendekati kepala Kepolisian yang bertugas, karena mereka sedang di wilayah Banten. Briptu Shinta mengenal kepala Polisi tersebut sehingga ia tidak menemui kesulitan. Mereka sama-sama menunggu hasil pencarian tersebut. Setengah jam kemudian seorang petugas Damkar berteriak, "Ada seseorang disini!" merekapun mendekat dengan berhati-hati. Puing puing diangkat dan disingkirkan. Ternyata yang mereka temukan adalah Bripda Anton. Sayang sekali kondisinya ditemukan tidak bernyawa. Briptu Shinta tercekat menahan tangis. Bripda Anton hanya menggantikan dirinya kemari. Seharusnya ia yang mati. "Disini!! Tolong akan gali disini!!" kata seorang Damkar yang lain. Sementara yang lain mengevakuasi jenazah Bripda Anton, sebagian lain membantu si petugas damkar yang memanggil bantuan tadi. Kali ini Briptu Shinta ikut membantu memindahkan bebatuan. Tak lama kemudian tubuh Briptu Agus ditemukan. Nafasnya tersengal-sengal, lengan dan kakinya dalam posisi yang tidak wajar. Seluruh tubuhnya luka -luka. Ia terus membisikkan sesuatu. Briptu Shinta mendekat untuk mendengarkan lebih jelas. "Bu..kan..to..pi biru..bukan... pe..ringat..kan.. Rai..ssa.. Pe..ring..ngat..kan.." kata Briptu Agus terpatah-patah. "Baik..Baik! istirahatlah, simpan tenagamu!! hiduplah!!" bisik Briptu Shinta. Lalu petugas paramedik membawa Briptu Agus. "Pak, saya harus ikut ke RS, terimakasih atas kerjasamanya!" kata Briptu Shinta pamit pada kepala Polisi Banten. Setelah itu ia langsung mengikuti ambulance ke RS. Dalam perjalanan Briptu Shinta melaporkan pada atasannya, lalu menghubungi Soni, Setelah itu ia menghubungi Aditya. "Perketat keamanan Raissa. Briptu Agus di RS saat ini terkena runtuhan ledakan, seorang anggota kami juga meninggal karena ledakan tersebut. aku belum bisa bicara banyak, saat ini sedang di jalan ke RS." kata Briptu Shinta sambil menyebutkan nama RS yang dituju lalu iapun memutuskan sambungan telepon dan berkonsentrasi menyetir. Ia menekan seluruh perasaan frustasinya agar dapat berpikir dan berfungsi normal. Sedangkan Aditya langsung menelepon Raissa.

"Sedang dimana sayang?" tanyanya. "Di RS dengan Agustine, ia sedang kalut, karena terjadi sesuatu pada Briptu Agus, barusan Briptu Shinta mengabari dan kami akan segera ke RS untuk melihat kondisi Briptu Agus. Parah sekali, bahkan seorang petugas polisi menjadi korban jiwa." seru Raissa. "Tidak, Raissa kamu pulang dengan Soni." perintah Aditya. " Tapi bagaiman dengan Agustine? dia sedang kalut?" kata Raissa. "Turunkan aku saja di RS tempat Agus berada, aku bisa jalan sendiri mencarinya, Raissa kamu harus pulang. Aku merasa Agus sedang ditangani sekarang, dan nyawanya sudah terhindar dari bahaya. Aku sudah tidak kalut lagi." kata Agustine tiba-tiba. "Tapi.." kata Raissa yang bingung bagaimana Agustine dapat mendengar pembicaraannya dengan Aditya padahal dia tidak memakai mode pengeras suara. "Tidak ada tapi-tapian sayang, ikuti apa kata Agustine. Aku akan menelpon Soni dan Marco. Biar aku yang ke RS!" kata Aditya. "Mengapa aku tidak bisa tapi kau bisa? kau curang sekali!" kata Raissa sebal. "Turuti Aditya Sa, nyawamu dalam bahaya!" kata Agustine. Akhirnya Raissa mengangguk. Merekapun berangkat dan seperti permintaan Agustine, mereka menurunkannya di RS tempat Briptu Agus dirawat. Setelah itu Raissa segera dilarikan oleh kedua body guard nya.