Chereads / Raissa / Chapter 37 - Keputusan Raissa

Chapter 37 - Keputusan Raissa

Pagi itu Raissa memikirkan apa yang Asya dan Peni katakan. Keputusan berada ditangannya, apakah ia akan tetap maju atau mundur. Raissa memikirkan Liza, kalau saja Liza berpikir jernih, pasti ia akan menyuruh Raissa untuk maju, karena bila Raissa memilih mundur, mereka berdua tampak seperti dua orang pecundang paling menyedihkan yang menyukai pria yang sama. Yang satu jelas-jelas tidak dilirik, yang satu dilirik tapi menolak padahal sebenarnya balas melirik juga. Menyedihkan! "Hah! lebih baik fokus kerja dulu hari ini!" kata Raissa sambil menatap dirinya di cermin ketika bersiap-siap hendak bekerja. Karena berangkat berdua bersama Peni, mereka patungan naik taksi online. Lumayan, jadi tidak kepanasan di jalan. Sesampainya di klinik kak Mira menyambut mereka dengan sumringah, "Kalian sudah datang! Syukurlah, kita agak kekurangan staff pagi ini. Kak Ara barusan keseleo kakinya karena tidak melihat papan peringatan lantai basah, ia tergelincir dan kakinya keseleo. Raissa, gantikan kak Ara di dr. Vita hari ini ya, aku akan menggantikanmu di poli anak. Peni back up UGD sekalian poli jantung ya? dr. Faisal harusnya hanya ada 3 pasien siang ini. setelah itu kamu ke UGD saja." kata kak Mira. "Siap kak" jawab keduanya. Tidak masalah buat Raissa ditempatkan dimana saja. Memang poli Obgyn bukan favoritnya, karena pasien dr. Vita banyak sekali, pernah Raissa tidak sempat makan dan minum karena panjangnya antrian pasien. Sesudah selesai pandangan Raissa berkunang-kunang dan kepalanya pusing karena ia terus terusan bolak balik kesana kemari membantu dr. Vita dan pasiennya. Untungnya Raissa tidak apa-apa, dan mulai saat itu Raissa selalu menyempatkan minum dan makan sebelum dr. Vita mulai praktek. Seperti saat ini, Raissa langsung buru-buru makan dan minum. Lalu ia segera menyiapkan ruangan praktek dr. Vita, semua peralatan yang akan di gunakan Raissa cek dua kali. Terakhir Raissa mengambilkan air minum dan sepotong kue yang memang sudah disiapkan untuk setiap dokter yang praktek. Tak lupa ia juga mengisi botol untuk air minumnya sendiri nanti. Seperti biasa, dr. Vita selalu terlambat. Pasien sudah mulai berdatangan. Untungnya hari ini dr. Vita hanya terlambat 15 menit. Pasien jadi tidak terlalu menumpuk. "Halo Raissa, siappp?" tanya dr. Vita begitu masuk ruang prakteknya. "Siap dok! mau nyemil dulu atau langsung panggil pasien pertama?" tanya Raissa. dr. Vita hanya meminum airnya lalu menjawab, "panggil aja Sa, aku masih kenyang, baru selesai makan."

Raissa pun keluar dan memanggil pasien pertama. Seorang eksekutif muda yang kurang memperhatikan higienitas alat kelaminnya hingga terkena kandidiasis atau jamur. Katanya sih karena sering memakai pembersih yang beraroma macam-macam. Sesudah diobati dan diresepkan obat minum, pasien itupun selesai. Pasien kedua adalah ibu hamil muda yang muntah-muntah berlebihan, untungnya sehabis muntah ibu ini selalu berusaha memasukan makanan atau minuman kembali ke dalam tubuhnya sehingga ia belum dehidrasi. Tetapi dokter meresepkan obat anti muntah untuknya dan berpesan agar segera menghubunginya bila masih terus muntah. Beberapa pasien ada yang hanya cek kehamilan, beberapa lagi konsultasi agar bisa cepat mengandung. Beberapa hanya ingin periksa PAP SMEAR, tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 5 sore, sudah 40 pasien dilayani dan saat ini pasien terakhir, seorang ibu muda yang sebentar lagi akan melahirkan. "Wah, ibu sudah bukaan satu ini, sudah terasa kontraksi belum?" tanya dr. Vita. "Belum dok, kenapa ya dok? waktu anak pertama di usia segini sudah terasa kontraksinya, yang ini sepertinya betah didalam dok." kata Sang ibu. "Coba ibu perbanyak lagi jalannya ya, naik turun tangga dengan menyamping. Senammya masih?" tanya dr. Vita sambil memberikan nasehat-nasehat agar si jabang bayi bisa segera terlahir kedunia. Raissa melihat lampu telepon meja dokter berkedip-kedip, sengaja suara dimatikan supaya tidak mengganggu. Raissa mengangkat teleponnya yang ternyata dari bagian resepsionis. "Sa!! duh syukur diangkat!! satu pasien lagi boleh tidak, go show nih! kasihan.." kata Hetty bagian resepsionis. "Dok, ada satu lagi sudah datang, go show, masih bisa dok?" tanya Raissa. "Satu saja ya Sa, aku harus pulang cepat, anakku besok ujian. Terakhir dia remedial coba! duh dilema ibu pekerja." kata dr. Vita curhat colongan dengan pasiennya. "Boleh, satu saja ya.. sehabis itu dokter harus pulang." kata Raissa pada Hetty. "Siaap, sudah tutup kok pendaftaran, ini karena anaknya memelas saja. Makasih ya Sa!!" kata Hetty. Anak? "eh Het, kok anak.." baru Raissa mau bertanya, Hetty sudah keburu menutup telepon. Raissa mengembalikan fokusnya pada pasien di depannya. Baru setelah pasien itu selesai Raissa keluar untuk mengambil rekam medis pasien berikutnya sementara dr. Vita memakan kue jatahnya hari itu sambil menunggu pasien terakhir. Di ruang tunggu terlihat seorang ibu yang sepertinya bukan orang biasa terlihat dari pakaiannya yang mahal, sepatu dan tasnya yang bermerk. Disamping ibu itu, seorang anak perempuan yang masih mengenakan seragam SMP duduk dengan muka tertunduk dan memakai jaket parasut yang besarnya dua kali lipat badannya. Peni menyambut Raissa dan memberikan rekam medis pasien baru. "Sudah ku ukur berat badan dan tekanan darahnya. Pasiennya yang anak-anak ya, bukan yang ibu-ibu." bisik Peni. Raissa terkejut. Sekilas ya dilirik tanggal lahir anak tersebut, baru berusia 14 tahun. Ia kembali ke ruang tunggu dan menghampiri ibu dan anak itu. Sang ibu yang melihat kedatangan Raissa langsung berdiri. "Dokternya masih ada kan mbak?" tanyanya. "Ada, tunggu sebentar ya, dokter istirahat 5 menit dulu, biasanya ke toilet. Dari tadi belum istirahat padahal sudah 40 pasien loh Bu." kata Raissa menenangkan si ibu. "Oh iya, maaf kami datang tanpa janji. Terimakasih mau menerima kami." kata si Ibu sopan. Si anak diam saja. Dalam hati Raissa menghembuskan nafas, biasanya kalau berhubungan dengan ibu-ibu manajer kayak begini, maunya menuntut terus. Mungkin ibu ini termasuk ibu-ibu bos besar. Entah kenapa biasanya kalau sudah bos besar lebih rendah hati daripada setingkat manajer yang jelas-jelas pangkatnya masih jauh dibawah. Raissa hanya tersenyum pada si ibu dan anak, lalu pamit masuk ke ruang praktek dr. Vita yang masih asyik mengunyah. "Kumpulkan tenaga dok, sepertinya pasien terakhir bakalan drama Kumbara nih dok!" kata Raissa sambil menyerahkan rekam medis pasien terakhir. "Hah, 14 tahun? haduuhh..anak zaman sekarang.. ckckckckc.."kata dr. Vita sambil geleng-geleng. "Aku ke toilet sebentar kalau begitu, bakalan lama ini." katanya lagi lalu cepat-cepat pergi ke toilet. Tak lama kemudian dr. Vita kembali dan meminta Raissa untuk memanggilkan pasiennya. Sang Ibu langsung berdiri dan berjalan cepat menuju ruang dr. Vita begitu dipanggil, sedangkan anaknya mengikuti dengan langkah yang lebih pelan. "Ayo cepat nak!" hardik si ibu pelan. Sia anak mempercepat langkahnya. Lalu mereka berdua duduk dihadapan dr. Vita, Raissa menutup pintu ruangan dan berdiri di sebelah dokter.

"Halo, saya dr. Vita, ada yang bisa saya bantu?" kata dr. Vita. "Ya dok, saya bicara mewakili anak saya, Tiara. Jadi begini dok, saya akui saya ibu yang super sibuk dan jarang di rumah. Anak saya kebanyakan bersama dengan asisten rumah tangga saya di rumah. Jadi dua minggu lalu asisten saya bilang kalau Tiara sakit, karena sering muntah. Saya kira salah makan tetapi seminggu berlalu tetap tidak ada perubahan dan saya menjadi curiga. Ketika saya tanya anak saya apakah sudah pernah pacaran, anak saya tidak mau menjawab. Tetapi ketika saya tanya asisten rumah tangga saya, katanya Tiara pernah mengajak seorang anak lelaki menginap dan tidur di kamarnya sebulan yang lalu. Ketika saya tanya anak saya, baru anak saya mengaku kalau mereka berhubungan seks malam itu. Saya curiga anak saya hamil dok. Apa boleh dikonfirmasi?" tanya si Ibu. "Baiklah, mari kita lihat ya.. Tiara, kita akan melakukan USG ya? karena kemungkinan usia kandungannya masih kecil maka USG yang dilakukan harus yang dengan memasukan alat USGnya ke alat kelaminmu atau transvaginal. Kalau dari perut belum tentu terlihat. Tidak sakit, hanya agak tidak nyaman saja, alatnya kecil kok. " kata dr. Vita menenangkan Tiara yang terlihat ketakutan. Raissa.memyiapkan alat USG yang dimaksud. Lalu setelah Raissa membantu Tiara memposisikan dirinya di kursi obgyn yang ada di sebelah alat USG, dr. Vita pun mulai memeriksa Tiara. "Hmmm,.. ya benar, Tiara.. kamu saat ini sedang mengandung, sesudah saya ukur, usia kehamilanku kurang lebih sudah 8 Minggu. Sebentar, coba kita dengarkan apa sudah ada detak jantungnya atau belum." kata dr. Vita tenang tetapi diikuti dengan pekikan tertahan si ibu dan tangisan si anak yang pecah berderai namun tanpa suara. Raissa memberikan tissue pada Tiara. Dr. Vita menekan dan memutar tombol tombol USG, tak lama kemudian terdengar suara detak jantung janin yang berdetak kencang, stabil dan mantap. Suara yang sangat dinantikan pasangan yang sudah menikah lama tapi belum dikaruniai keturunan, tetapi belum tentu dengan pasangan ibu anak yang ada di depan Raissa sekarang, entah apa yang ada dalam pikiran ibu dan anak ini ketika mendengarnya, tetapi si ibu menitikkan air mata. Sedangkan si anak tampak terpesona mendengar detak jantung bayinya. "Boleh saya rekam dok?" tanya Tiara yang baru pertama kali itu mengeluarkan suara sejak kedatangan mereka. "Untuk apa Tiara! jangan menyakiti dirimu sendiri!" kata si ibu ketus. "Sudah saya rekam, nanti bisa dikirim via bluetooth, Raissa bisa membantumu" kata dr. Vita. "Tidak usah aneh-aneh Tiara, begini dok, sebenarnya.. menurut saya usia Tiara terlalu muda untuk mengandung, apakah bisa di aborsi?" kata si ibu tanpa malu-malu. "Tidak Mama, aku akan mempertahankannya! Brian bilang akan bertanggung jawab, kami akan menikah!" kata Tiara. dr. Vita membereskan alat-alatnya, Raissa membantu Tiara berdiri. "Yakkk... drama dimulai!" kata Raissa dalam hati. "Kamu itu masih 14 tahun Tiara, Brian juga paling umur berapa? 14? 15? Mama tahu orang tua Brian berkecukupan, tapi tidak sekaya kita, siapa yang tahu apa motifnya? tahu apa kalian soal komitmen, pernikahan? heh?" ucap si ibu mulai emosi. "Brian mencintai Tiara Ma! Bahkan dia sudah berusaha menemui Mama untuk meminta Tiara menikah dengannya. Brian bukan Papa Ma!" seru Tiara. " Jangan bawa-bawa laki-laki biadab itu saat ini Tiara, tidak ada hubungannya!" seru si ibu. "Mama selalu memandang semua laki-laki sejahat Papa. Padahal Brian baik Ma!" seru Tiara. "Baik darimana? kalau baik, dia tidak akan menghamili kamu!" bentak ibunya. "Waktu itu kami khilaf ma, cuma sekali doang kok!" kata Tiara membela diri. "Sekali juga akibatnya jadi begini Tiara! Lagipula kalian masih dibawah umur? bagaimana mau menikah? lalu mengurus anak? kalian sama-sama sekolah, yang cari uang siapa?" jerit Ibunya. "kami bisa jadi vlogger! kami akan memperjuangkan cinta kami dan tetap akan mempertahankan anak kami!" kata Tiara tidak mau kalah, "Ma, mama kan selalu mengajarkan kalau membunuh itu dosa, lalu mengapa mama mau membunuh anak Tiara?" sambung Tiara. "Maksud mama bukan seperti itu Tiara!!" kata Ibunya sambil tertunduk dan memijati pelipisnya yang saat ini pusing tujuh keliling. "Dokter! menurut dokter bagaimana? bisakah Tiara menjalani kehamilannya?" tiba-tiba sang ibu bertanya pada dr. Vita. dr. Vita yang sedari tadi seperti sedang menonton sinetron tersadar. "Oh, kehamilan di usia remaja biasa akan beresiko kelahiran bayi yang prematur, lalu berat badan bayi saat lahir rendah, perdarahan saat persalinan bahkan kematian bagi ibu dan bayi. Tapi kalau tetap berniat untuk mempertahankan janin ini, harus selalu dipantau dan diamati oleh dokter. " kata dr. Vita. "Tuh dengar resikonya Tiara!" seru ibu Tiara. "Ya kita harus berjuang Ma! Brian juga bilang akan berusaha sekuat tenaga." kata Tiara. "Mama tidak mau kehilangan kamu Nak!" seru si Ibu yang kini sudah mulai mencucurkan air mata. "Mama tidak akan kehilangan Tiara, bahkan Mama akan mendapatkan anggota keluarga tambahan! Biran dan anak kami nanti!" seru Tiara ceria. Dr. Vita dan Raissa hanya terdiam, takjub karena anak ini optimis sekali, padahal belum tentu saat menjalani nanti kehidupannya akan seindah yang dipikirkannya. "Sepertinya saya tidak dapat mengubah pikiran anak saya dok, kapan Tiara harus datang lagi? bisakah diperiksa seminggu sekali? saya tidak ingin kehilangan anak saya dok."kata Ibu Tiara. "Kita lihat perkembangannya ya Bu, untuk awalnya kita periksa dua Minggu sekali." kata dr. Vita lalu menjelaskan apa saja langkah-langkah yang harus dipersiapkan oleh ibu hamil. Setelah selesai akhirnya keduanya keluar. Keduanya berjalan dengan lebih ringan. Mungkin karena sudah saling mengeluarkan unek-unek mereka di dalam tadi. dr. Vita langsung pamit pulang duluan. Raissa membereskan peralatan yang dipakai oleh seluruh pasien dr. Vita sambil merenungi kisah Tiara dan Brian, juga ibunya. Ceritanya akan sangat berbeda kalau Tiara punya ibu yang tidak pengertian. Atau kalau ternyata Brian adalah anak yang brengsek. Tiara kagum akan sifat optimis Tiara. Tiara saja mau berjuang demi cintanya dan anaknya. "Masak kamu kalah sih sama anak SMP Sa? masalahmu juga tidak sepelik masalah Tiara. Tiara saja masih bisa optimis akan masa depannya, masak seorang Raissa tidak bisa?" pikir Raissa sambil memandang cermin di dalam ruang praktek dr. Vita. Raissa juga teringat pesan Mamahnya, "kamu tuh harus berjuang kalau mau bahagia!"

Raissa mengangguk, baiklah! Aku akan mencobanya! "Ma..Mmmma..Mmmmaaasss! ih kok aneh ya?" kata Raissa mencoba mengucapkan nama Aditya dengan sebutan Mas masih di depan kaca. Ia mencoba lagi sambil memonyongkan bibirnya. "Mmmmaaaaaasssssshhhh...potato!! hadduuuuhhhh!!! ih geli deh jadinya!" kata Raissa sambil tersenyum sendiri. "Mmmmasss Adityaaaa!!" seru Raissa lalu cekikikan sendiri kegelian. Untungnya tidak ada orang di ruangan itu. Raissa cepat-cepat mengambil bawaannya keluar dan menuju ruang cuci alat-alat kesehatan. Peni menghampirinya dan membantunya. "Ayo, sini kubantu, sudah pukul 6.30, sebentar lagi kita harus pulang." kata Peni. "Baiklah, untung kita pulang bersama." kata Raissa lega. "Iya, kita pesan taksi lagi saja ya Sa?" kata Peni. "Boleh Pen, kita panggil dibawah saja." balas Raissa sambil mengerjakan tugas terakhir mereka sebelum pulang.

Pukul 7.15 mereka berdua sudah didepan pos satpam. Niatnya mau memanggil taksi, tapi melihat kondisi jalanan yang macet parah, keduanya mengurungkan niat naik taksi. "Macet sekali, bisa dapat taksi jam berapa kita? Naik busway saja yuk Pen?" ajak Raissa. Peni terlihat ragu tetapi akhirnya mengangguk. Keduanya berjalan bersama. Malam itu, karena jalanan macet luar biasa, pejalan kaki di trotoar lumayan banyak dan antrian busway sudah sampai ke jembatan. "Setidaknya kita aman ditengah keramaian seperti ini." ujar Peni. "Iya, kalau waras si topi biru harusnya tidak keluar malam ini." kata Raissa. "Masalahnya dia belum tentu waras Sa!" kata Peni dan keduanya tertawa menertawakan si topi biru. Tanpa mereka sadari si topi biru sebenarnya berdiri di dekat mereka. Tangannya mengepal menahan amarah karena ditertawakan. "Beraninya kalian menertawakan, tunggu saja akibatnya!" kata si topi biru lalu pergi menjauh, menghilang di tengah kerumunan para karyawan kantor yang baru pulang kerja.