Plakkk
Satu tamparan mendarat di pipi Reyhan.
"Brengsek! Aku gak butuh uang kamu!" Wanita itu merobek selembar kertas, lalu melemparnya ke hadapan Reyhan. "Suatu hari, kamu pasti akan merasakan apa yang aku rasakan!" Wanita yang memakai terusan berwarna cream dan blazer hitam itu berjalan keluar cafe dengan emosi yang membara, sesekali dia menyeka air mata yang sudah tidak bisa di bendung.
Reyhan masih berada di tempatnya, tangannya mengusap pipi yang terasa kebas. Mengeratkan gigi, marah. Baru kali ini dia ditampar seorang wanita, dan itu dimuka umum. Selama ini tidak ada wanita yang berani melakukan itu padanya, yang mereka pikirkan hanya uang, dan akan pergi dengan senang hati setelah mendapatkan apa yang mereka mau.
Mengedarkan pandangan ke sekitar, Beberapa pengunjung cafe bicara dengan berbisik, sesekali mereka menoleh ke arah Reyhan. Pasti membicarakan adegan yang baru saja mereka saksikan.
Perempuan sialan! Beraninya dia mempermalukan Rey di depan umum.
Siapa yang tidak mengenal Reyhan Aldebaran. Pengusaha muda yang tengah naik daun. Kerajaan bisnisnya tersebar di beberapa kota.
Namun sayang. Sifatnya yang arogan dan terkenal 'Playboy' membuat dia masih sendiri di usianya yang memasuki kepala tiga. Dia tidak pernah betah menjalin hubungan dengan satu wanita, paling lama 1 bulan, setelah itu dia campakan begitu saja. Namun anehnya, wanita-wanita itu masih saja berusaha mendekatinya.
Di sudut, dekat pintu bertuliskan ruangan staf. Dua pramusaji juga terlihat tengah membicarakan sesuatu. Dari tempatnya berada, Rey bisa melihat mereka berdua.
"Ra, kamu liat gak kejadian barusan? Kasian banget tuh cewek. Dia di tawarin sejumlah uang sama cowok itu."
Gadis yang di panggil Ra, itu mendelik. Keningnya berkerut, Naura Anastasya namanya. "Dari mana kamu tau?"
"Aku ada di sana tadi. Mungkin wanita itu hamil dan minta pertanggung jawaban, tapi cowoknya gak mau tanggung jawab, lalu ngasih sejumlah uang buat gugurin kandungannya."
Hahaha
Sontak, Naura tertawa. Membuat beberapa karyawan dan pengunjung menatap ke arahnya. Seketika Naura menutup mulut dengan kedua telapak tangannya, lalu tersenyum kikuk sambil menunduk. Memohon maaf.
"Kamu terlalu banyak nonton sinetron, makanya kamu ga bisa bedain, mana nyata, mana khayalan," ucap Naura sambil tersenyum geli. Dia masuk keruangan staf diikuti temannya dari belakang.
"Aku serius, Naura!"
***
Malam ini sepertinya langit kurang bersahabat, sejak siang mendung dan sekarang hujan. Karna sift siang, jam 10 malam Naura baru selesai kerja.
Teman Naura baru saja dijemput pacarnya, sementara dia masih berada di pinggir cafe. Niatnya nunggu hujan reda, tapi malah semakin deras.
Mengulurkan tangan, membiarkan air hujan membasahi telapak tangannya, dingin. Jarak dari cafe ke halte lumayan jauh, kalau dia memaksakan berjalan ke sana, bajunya sudah pasti basah kuyup.
Lima belas menit menunggu, selama itu dia memikirkan apa yang harus di lakukan. Berlari menuju halte, atau menunggu taksi atau ojeg yang lewat.
waktu semakin merangkak naik, jalanan pun sudah mulai sepi. Akhirnya Naura memutuskan berlari menuju halte bus. Seandainya saja dia punya kendaraan sendiri, mungkin dia tidak akan kebingungan kalau menghadapi situasi seperti ini.
Jarak dari tempat kerja ke kos_an cukup jauh, butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai, itupun kalau jalanan lancar. Terkadang kalau semakin larut, bus atau angkot yang menuju tempat tinggalnya sudah jarang ada yang beroprasi.
Naura duduk di bangku, menunggu bus, badannya mulai menggigil dibalik hodie merah yang nampak kebesaran, sesekali dia melihat jam, dan membuka hp ketika mendengar ada notifikasi pesan masuk.
"Naura!"
Seorang lelaki memanggilnya dari dalam mobil yang entah sejak kapan berhenti di sana. Naura tidak menyadarinya karna terlalu asik membalas chat seseorang di WhatsApp.
Lelaki itu menawari tumpangan. Awalnya Naura menolak, tidak ingin merepotkan, tapi lelaki itu memaksa.
"Ayo, Ra. Ini udah malam, baju kamu juga basah. Nanti kamu sakit," ajak Bima.
"Hmm." Naura masih berpikir. Dia melirik lelaki yang ada di sebelah Bima. Lelaki itu asik memainkan ponselnya, seolah tidak terusik dengan keberadaan mereka.
Naura ingin menolak, sepertinya lelaki itu tidak suka jika dia ikut menumpang, tapi Bima benar, Naura sudah kedinginan sejak tadi, Dia ingin secepatnya mandi air hangat, minum segelas susu coklat dan mie kuah pedas sepertinya enak. Kalau tetap di sini, dia tidak tahu kapan bus nya akan datang.
Mobil melaju membelah jalanan yang basah.
Untuk beberapa saat, tidak ada yang buka suara. Hanya bunyi hujan dan petir yang sesekali membuat Naura kaget.
Naura memilih melihat ke jendela. Bima fokus menyetir, sementara lelaki disebelahnya masih asik dengan ponselnya. Di depan sebuah toko, Naura melihat anak perempuan yang usianya sekitar 12 tahun, memayungi seorang laki-laki paruh baya, dia mengikuti lelaki itu menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari sana. Melihat anak itu, Naura seolah melihat gambaran dirinya di masa lalu. Naura pernah ada di posisi itu. Diam-diam pergi dari panti untuk mencari pekerjaan. Menjual tisu di jalanan, sampai ojeg payung seperti yang dilakukan anak itu.
"Ra, gimana cafe hari ini?" Naura mengerjap, suara Bima membuyarkan lamunannya "Rame?"
Sesaat Naura diam, mengingat pertanyaan Bima barusan. "Rame ... Rame banget malahan." Naura jadi teringat kejadian beberapa jam lalu.
"Kamu ngelamun, ya? Ah, pasti ngelamunin pacar," canda Bima.
"Nggak, kok!" Naura gelagapan. "Tau gak, Mas, tadi di cafe ada kejadian lucu banget." terang Naura mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau jika Bima bertanya tentang masalalunya.
Bukannya Naura tidak suka, dia hanya tidak ingin dikasihani hanya gara-gara dia anak panti asuhan. Mungkin sebagian orang akan beranggapan dia anak yang tidak diinginkan walau sebenarnya Naura tidak pernah mau perduli, dia juga tidak pernah berniat untuk mencari orang yang sudah menghadirkannya kedunia.
"Oh, ya. Kejadian apa?" tanya Bima penasaran.
Lelaki yang ada di sebelah Bima menghentikan jarinya yang tengah mensroll layar hp, memasang pendengaran baik-baik. ikut penasaran dengan apa yang akan diceritakan gadis itu, tapi kenapa perasaan dia mulai tidak enak.
"Jadi, tadi ada cowok yang ditampar ceweknya. Terus si cewek marah-marah dan nangis."
Bima mengernyit, Bingung. "Kok, lucu? Dimana lucunya?"
Dari kaca spion yang ada di tengah, lelaki yang ada di sebelah Bima bisa melihat Naura yang masih menceritakan kejadian yang menurutnya lucu itu.
"Yang di robek itu, kertas apa? Tagihan hutang?"
"Ih, Mas Bima! Aku belum selesai, makanya jangan di potong dulu!" Naura memukul pelan bahu Bima. "Kejadiannya itu udah kaya adegan di sinetron yang si ceweknya hamil, dan cowoknya gak mau tanggung jawab. Terus si ceweknya dikasih uang buat gugurin kandungannya. Aku yakin, pasti satu atau dua hari lagi, akan ada berita. 'Seorang wanita ditemukan mati karna dibunuh!"
Bima tergelak. "Kamu terlalu banyak nonton sinetron, Ra."
Sejak tadi, lelaki yang ada disebelah Bima mengeratkan gigi. tangannya mengepal.
Dia berusaha menahan mulutnya untuk tidak mengeluarkan suara. Sampai akhirnya dia berkata, "Seandainya kamu salah satu karyawanku, kamu akan saya pecat detik ini juga."
Seketika Naura dan Bima terdiam. Bima memalingkan wajah ke temannya, dan Naura, memajukan badannya, untuk melihat sumber suara. Sejenak dia tertegun, sepertinya wajahnya itu tidak asing, tapi siapa?
"Kenapa?" tanya Bima.
"Karna gue butuh pekerja, bukan penggosip."
Naura menjerit saat teringat sesuatu. "Kamu! Kamu cowok yang ada di cafe!"