Naura berdiri di depan sebuah bangunan yang tinggi menjulang. Jadi ini kantornya Bima? Kenapa dia baru tahu sekarang! Lokasi kantornya dekat dengan cafe tempat dia bekerja dulu, pantes, Reyhan sering kesana.
Naura meringis ketika melihat beberapa orang yang keluar masuk kantor itu. Mereka nampak sibuk. Ada yang berbicara di telpon sambil berjalan, ada juga yang berjalan cepat dengan membawa beberapa berkas di tangan. Berbeda dengan dirinya yang saat ini berstatus 'Pengangguran' Miris.
Seandainya dia bisa jadi pekerja kantoran. Sesaat membayangkan jika dia ada diantara mereka. Memakai rok span dan kemeja putih. dia berjalan cepat dengan beberapa map di tangan, mengikuti langkah seorang lelaki yang ada di depannya. "Berjalanlah lebih cepat! Ingat, waktu adalah uang!"
"Iya, Pak." Ketika Naura sedikit berlari untuk mengejar lelaki itu, seseorang menyenggolnya membuat dia terjatuh dan mengaduh.
"Sory. Gue buru-buru!" Setelah meminta maaf, orang yang menyenggol Naura pergi begitu saja, membiarkan Naura yang masih terduduk di jalanan.
Dibangunkan dengan kenyataan. Sadar, itu hanya mimpi. Naura bukan siapa-siapa. Itulah kenapa dia harus bersikap keras, setidaknya untuk menjaga dirinya sendiri.
Memperhatikan gaya berpakaian mereka yang rapih dan terlihat berkelas, seketika Naura merasa insecure. Selain merasa salah kostum dia juga merasa tidak pantas masuk kesana.
Naura hanya ingin bertemu Reyhan. Bos pemilik perusahaan mungkin tidak akan marah jika ia menggangu Reyhan sebentar. Pikirnya. Dia hanya ingin mengembalikan ponsel itu dan pergi secepatnya dari sana.
Naura tidak tahu jika Reyhan pemilik perusahaan, yang dia tahu Reyhan adalah atasannya Bima.
Setelah bergulat dengan pikirannya, akhirnya Naura memutuskan untuk masuk.
Dengan menjinjiing tas berwarna coklat, dia berjalan memasuki gedung. Menghampiri meja resepsionis. "Mba, saya mau bertemu Pak Reyhan. Dimana ruangannya?"
Resepsionis yang sibuk dengan keyboardnya itu mengangkat wajah, memperhatikan Naura dengan kritis. Kaos putih dibalut jaket jeans, tas slempang lusuh dan celana jeans panjang, membuat penampilannya nampak seperti anak jalanan. menurutnya. Keningnya berkerut, heran. Dari mana bosnya mengenal perempuan ini?
Memang, selama dia bekerja di sana, Ini bukan pertama kalinya ada wanita yang menanyakan dan ingin menemui Reyhan. dan Naura sepertinya bukan tipe wanita yang di sukai bosnya. Kebanyakan dari mereka berpenampilan feminim, bahkan tidak jarang pakaianya sedikit terbuka. Sangat jauh berbeda dari Naura.
Mungkin dia mau minta sumbangan, pikir resepsionis itu.
"Apa kamu sudah buat janji sebelumnya?" tanya Resepsionis itu.
Naura menggeleng. "Belum, Mba," jawab Naura. "Sebentar aja, Mba. Saya ada urusan penting sama dia."
"Maaf, saya tidak bisa bantu," jawab resepsionis itu ketus. Dia kembali menatap layar komputer. Mengabaikan Naura yang masih berdiri di depan mejanya.
beberapa kali Naura memanggil resepsionis yang bernama Dita itu.
"Mba Dita! Ayolah, sebentar aja! Pliss."
Dita berdiri, sudah merasa terganggu dengan keberadaan Naura. "Dari mana kamu tau namaku?"
Naura menunjuk nametag yang terpasang di dada Dita. " Sebentar aja. Kan Mba tinggal telpon dia, bilang, ada yang ingin bertemu!"
"Pak Reyhan sibuk! dia tidak ada waktu bertemu orang yang gak penting kaya kamu. Mendingan sekarang kamu pergi dari sini, atau saya suruh satpam buat nyeret kamu!"
Terjadi kegaduhan di sana, Naura tetap tidak mau pergi sebelum betemu Reyhan. Dan Dita terus mengusirnya. Seketika pertengkaran mereka menjadi pusat perhatian orang yang lalu lalang di sana.
Seorang security datang, dia mencengkram lengan Naura, menariknya menuju pintu keluar.
"Mba sudah membuat keributan di sini! Terpaksa saya harus berbuat kasar sama Mba!"
"Aku mau bertemu Pak Reyhan! Sebentar aja!"
Naura berusaha melepaskan diri dari security itu.
"Ada apa ini? Lepaskan dia!"
**
Sementara, di ruangannya. Reyhan tengah di sibukan dengan beberapa berkas di atas meja. Beberapa projeknya masih berkendala. Menekan tombol di telpon yang ada di atas meja. Dia memanggil Bima untuk masuk keruangannya.
Beberapa menit menunggu, tapi Bima masih belum datang. Sembari menunggu, Rey menyandarkan punggung ke kursi, menutup mata. Rileks. Seketika bayangan Naura yang tersenyum muncul.
Ada debar yang tak biasa. Reyhan senang ketika melihat Naura tersenyum. Gigi gingsulnya membuat senyum itu semakin manis. Ada apa dengan dirinya? Tidak mungkin dia tertarik dengan gadis kecil itu.
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
Itu pasti Bima. Apa yang dia kerjakan, ngurus satu projek aja gak becus!
Bim! Lu gimana, sih! Projek kita yang di_"
Seketika Reyhan terpaku, Melihat siapa yang berdiri di depan pintu.
"Boleh saya masuk?" cicit Naura. Kini dia merasa segan. Sebelumnya dia pikir Reyhan sama seperti Bima. Pegawai kantoran yang setingkat di atas Bima. Dia tidak pernah membayangkan sebelumnya jika Reyhan adalah orang penting, khusunya di kantor ini.
Ketika Bima membawanya ke lantai paling atas dan menunjukan satu pintu besar berwarna coklat bertuliskan Ruang CEO. Naura baru sadar, akan status Reyhan. Kini dia sadar siapa dia, dan siapa Reyhan. Mengingat sikapnya beberapa hari kebelakang membuat perutnya sakit.
Naura berjalan mendekat. Berdiri di sebrang Reyhan. Untuk beberapa saat tidak ada suara. Reyhan menatapnya, lalu berpaling ke bungkusan coklat yang Naura pegang.
"Saya kesini mau mengembalikan ini." Naura menaruh bungkusan hp di atas meja.
"Kenapa?" Reyhan menyilangkan tangan di dada.
"Terimakasih atas kebaikan anda, tapi saya tidak pantas menerima ini."
"Bukankah kamu membutuhkan itu?" Reyhan berjalan mendekati Naura. "Anggap saja itu buat mengganti hp kamu yang saya buang. Lagian ponsel itu sudah ketinggalan jaman."
"Mungkin menurut anda itu cuma sampah, tapi dimata saya ponsel itu sangat berharga."
Ucapan Reyhan membuat Naura merasa tertohok. Dia harus menyisihkan uang hasil kerjanya selama berbulan-bulan untuk bisa membeli hp itu. Dan dengan mudahnya Reyhan membuang hp itu ke jalanan layaknya sampah.
"Ah, saya tahu. Barang ini tidak terlalu mahal untukmu, atau kurang bagus? Bilang saja kamu mau apa. Saya akan kasih apapun yang kamu."
"Jaga ucapan anda!" Naura meninggikan suaranya. "Anda pikir saya sama seperti wanita-wanita yang haus akan harta! Tidak, anda salah besar! Tidak semua wanita seperti itu!"
"Kenyataannya memang seperti itu. kamu gak usah munafik! Kalian para wanita suka memanfaatkan ketulusan seseorang untuk kepentingan pribadi."
"Terserah anda mau bilang apa! Asal anda tau, uang bukan segalanya. Tidak semua hal bisa dibeli dengan uang!"
Reyhan mengambil bungkusan berisi hp itu. "Kamu tidak mau ini?" katanya. "Pantang bagi saya mengambil barang yang sudah saya berikan!" Reyhan menaikan suaranya. Sambil membanting bungkusan itu ke tembok. Seketika bungkusan itu berserakan di lantai.
Kaget dengan aksi Reyhan. Naura berseru, "Apa yang kamu lakukan? Kamu gak waras!" Naura tidak suka dengan sikap Reyhan. Dia tidak ingin ponsel mahal itu, tapi tidak seharusnya Reyhan menghancurkannya.
"Sesekali kamu harus lihat ke bawah, biar kamu bisa belajar _"
Seketika Reyhan menarik pinggang Naura untuk lebih dekat, menempelkan bibirnya dengan bibir ranum itu. Menurutnya Naura sudah terlalu banyak bicara.
Untuk beberapa saat Naura tidak berkutik, tubuhnya seketika lemas. Sadar atas apa yang dilakukan Reyhan, Naura berusaha melepaskan diri, tapi tangan kekar itu mengungkungnya. Wangi aroma permen membuat dia ingin terus menghirupnya, dan bibir itu ... sangat manis.
Sekuat tenaga, Naura mendorong Reyhan, lalu menamparnya. Matanya sudah berkaca-kaca. Dadanya merasa sakit. Baru kali ini dia merasa sangat direndahkan. Dia benci Reyhan.
Naura berlari ke pintu. keluar dari ruangan itu dengan sangat kacau. Bahkan dia mengabaikan Bima yang menegurnya. Membuat Bima bingung.